Peran Sultan HB IX Dalam Pendirian UGM

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Lahirnya UGM tidak terlepas dari peranan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX. Sultan HB IX menjadi salah satu founding father UGM sejak mulai pendirian Balai Perguruan Tinggi UGM pada 17 Februari 1946 sampai pendirian UGM pada 19 Desember 1949 hingga berubah menjadi Universitiet Negeri Gadjah Mada sampai menjadi Universitas Gadjah Mada pada tahun 1954.
Demikian dipaparkan sejarawan UGM, Prof. Djoko Suryo dalam acara peringatan 1 Abad Sri Sultan HB IX yang digelar di Pusat Kebudayaan Koesnadi Harjasoemantri (PKKH) UGM, Selasa (10/4/2012).
Djoko mengatakan saat diresmikannya pembentukan Balai Perguruan Tinggi UGM pada 3 Maret 1946, Sultan HB IX dan Ki Hajar Dewantara menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden Kurator Balai Perguruan Tinggi UGM.
"Pada saat itu aktivitas perkuliahan dilaksanakan di Pagelaran Keraton, tapi sempat berhenti saat terjadi Agresi Militer Belanda. Perkuliahan baru dimulai kembali setelah persetujuan Roem Royen," jelasnya Selain itu, menurut Djoko, Sultan HB IX juga adalah juga penggagas sekaligus pelaksana penggabungan pendidikan tinggi yang tersebar di berbagai wilayah di Klaten, Surakarta, maupun yang ada di Yogyakarta menjadi satu perguruan tinggi yaitu Universitas Gadjah Mada yang berada di bawah Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.
"Tidak dapat diingkari peran sultan HB IX dalam pendirian UGM sangat besar baik secara historis, sosiologis, politik, kultural, idenasional-ideologis, faktual, material-fisikal maupun spasial-lokasional," kata Djoko lebih lanjut.
Secara nyata, lanjut Djoko, Sultan HB IX juga memberikan bantuan dalam penyediaan sarana dan prasarana perkuliahan, di antaranya menyediakan tempat perkuliahan di Sitihinggil dan Pagelaran Kraton serta gedung lainnya di sekitar kraton.
Dan juga menyediakan tanah kraton (sultan ground) untuk mendirikan kampus UGM yang sekarang, di wilayah Bulaksumur dan sekitarnya.
Sementara itu, GBPH Joyokusumo, dalam kesempatan yang sama menceritakan perjalanan hidup ayahandanya Sultan HB IX. Menurutnya, Sejak usia 4 tahun HB IX sudah harus berpisah dengan keluarganya dan belajar di Belanda.
"Kala itu Sultan HB IX ditugsakan belajar di Belanda untuk mengetahui kebiasaan dan perilaku orang Belanda sebagai penjajah. Bagaimana perilaku orang Belanda dalam memperlakukan orang lain saat di negaranya sendiri maupun di negeri orang," kata Joyokusumo.
Lebih lanjut Joyokusumo mengatakan, dalam pidato penobatan Sultan HB IX, beliau menyampaikan bahwa menduduki jabatan sebagai Sultan merupakan tugas yang yang paling berat karena harus menerjemahkan dan mengawinkan antara budaya Barat dan budaya Timur.
"Beliau menjaga agar masing-masing budaya tidak saling mengalahkan, khususnya budaya Timur jangan sampai kehilangan jati dirinya. Hal itu memberi kesan yang sangat mendalam bagi kami putera-puteranya," tuturnya.
Tak lupa dalam kesempatan tersebut Joyokusumo menyampaikan rasa terima kasih kepada masyarakat Jogja khususnya masyarakat ilmuan UGM yang mengapresiasi sepak terjang Sultan HB IX.
"Sebenarnya kami tidak mengharapkan hal ini, karena sesuai prinsip beliau ajarkan,apa yang dilakukan adalah sekedar melaksanakan kewajiban atas komitmen yang telah dibuat. Apakah yang telah dilakukan itu akan dikenang atau tidak, bukan urusan beliau. Yang jadi harapan adalah karya-karyanya bisa menjadi suri tauladan dan untuk memenuhi kewajiban pada bangsa dan negara," pungkasnya.

Sultan HB IX Melarang Namanya untuk Nama Jalan

TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Cerita ringan yang humanis tentang mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono IX terserak banyak. Ia seorang yang tidak menyukai kultus individu. Sebelum wafat, ia berpesan agar namanya tidak dipakai untuk nama jalan, juga tidak ingin ada patung dirinya terpajang.
"Seperti saat masih sehat, beliau pergi ke mana-mana selalu sendiri. Saya menangkap, keputusan tersebut berdasarkan wisik. Ke manapun beliau pergi, meski terkesan tidak ada tujuannya, pasti ada maksud penting di dalamnya," kata Sudomo Sunaryo, mantan penulis pidato Sultan HB IX.
Suatu kali, Sultan HB IX pulang dari Jakarta ke Yogyakarta menyetir sendiri mobilnya. Di jembatan Krasak, Tempel, Sleman, ratusan orang menunggu, menyambut kepulangannya. Namun, Sultan HB IX justru tancap gas karena tidak ingin dielu-elukan masyarakat.
Ketika menjalankan tugas sebagai Gubernur DIY, Sultan HB IX memercayai Sudomo sebagai orang yang menyiapkan teks pidato. Tak banyak yang dituntut Sultan HB IX, selain menyajikan rangkuman sambutan yang mengena dan berbahasa logis serta santun.
"Beliau hampir tidak pernah membaca teks pidato yang saya siapkan. Namun, jika sesekali beliau menemui isi teks kurang sesuai dengan keinginannya, wewenang menyampaikan sambutan dilimpahkan kepada Wakil Gubernur atau Sekretaris Daerah," akunya.
Kisah kecil lain diceritakan wartawati senior, almarhumah Soerastri Karma (SK) Trimurti. Cerita itu tentang pedagang beras di Pasar Kranggan yang menyetop dan minta tumpangan jip yang dikendarai Sri Sultan HB IX. Simbok pedagang itu tak mengenali sopir itu Sultan HB IX .
Begitu turun dari mobil sembari menurunkan dagangan berasnya, simbok itu diberitahu seorang polisi, yang baru saja memberi tumpangan ternyata Sultan HB IX. Simbok bakul beras itu langsung pingdan, dan dikerubungi banyak orang.
"Itu salah satu cerita yang membuat saya sangat terkesan kepada beliau. Betapa ia memiliki hidup sederhana, padahal statusnya adalah orang besar," puji Ketua Sekretariat Bersama Keistimewaan DIY, Widihasto Wasana Putra.
Sebagai generasi muda, ia mengaku tidak menyaksikan secara langsung pernak-pernik kehidupan Sultan HB IX. Tapi, berbagai referensi yang ia dapatkan cukup baginya untuk bersikap hormat setinggi-tingginya kepada sosok Sultan HB IX.
Bahkan, menurutnya, hingga kini tidak ada lagi sosok yang mampu menandingi kiprah Sultan HB IX, baik sebagai pribadi maupun pemimpin.

Pesan Penting Sri Sultan Hamengkubuwono IX

12 April yang lalu adalah peringatan 100 tahun hari lahir Sri Sultan HB IX yang dirayakan oleh (sebagian) warga Jogja, khususnya para abdi dalem dan keluarga dan kerabat Sultan yang sekarang. Banyak acara digelar dari orasi budaya oleh HB X, seminar ilmiah, acara konser musik, hingga ritual jalan kaki mengelilingi kraton yang sering dikenal dengan istilah “mubeng beteng”.
Sri Sultan HB IX, yang masyhur dengan ucapannya “saya memang berpendidikan di Barat, tapi saya tetap lah orang Jawa” ini, memang sosok pemimpin yang dilahirkan Indonesia yang pantas diteladani. (Mohon dicatat, saya bicara tentang HB IX saja, bukan sebelum dan sesudahnya). Asalnya dari Jogja asli, namun terlibat secara penuh dalam rangka perjuangan kemerdekaan RI dari Belanda, sekaligus menjadi tokoh nasional. Pernah menjadi wakil presiden, tapi juga sebagai tokoh dunia karena sering berhasil memimpin perundingan internasional, dan sukses! Pendek kata, HB IX bukanlah tokoh lokal, namun meng-Indonesia sekaligus mendunia.
Bisa dikatakan, HB IX termasuk founding father Negara Kesatuan Republik Indonesia bersama Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan lainnya. Sosok yang semacam ini bisa jadi sudah barang langka kalau melihat stok politisi Indonesia masa kini yang ada di kabinet maupun di parlemen.
Peringatan 1 abad Sri Sultan HB IX ini memang menemukan momen yang pas berkaitan dengan geger soal keistimewaan DIY yang masih dibahas Jakarta. Dalam berbagai acara peringatan di atas tadi, memang banyak hikmah yang disampaikan oleh anaknya, yaitu HB X, soal “jangan mengkultuskan ayah saya” maupun soal keteladanan kepemimpinan yang mengayomi.
Tapi jika ditilik lebih jujur lagi, kaitannya dengan keistimewaan DIY yang sedang ramai dibicarakan, Sri Sultan HB IX pernah dengan tegas mengatakan bahwa sebenarnya jabatan Sultan dengan jabatan Gubernur itu memang harus dipisahkan. Jelas ini sikap dan pendirian yang tegas dari sosok yang paham betul dengan arti NKRI, demokrasi, etika publik, tanpa harus melepaskan tradisi lokal. Beliau berujar sebagai berikut (Majalah TEMPO, 17 Oktober 1987):
“……..”Gelar Sultan Hamengku Buwono akan tetap ada turun-temurun,” ujar Hamengku Buwono IX di Padang, bulan lalu. Hanya saja, menurut ancer-ancer Sultan, fungsinya tidak perlu sebagai kepala daerah, seperti dijamin UU no. 3 tahun 1950 tentang Daerah Istimewa Yogyakarta, melainkan sebatas sebagai kepala keluarga Kasultanan dengan tugas melestarikan keraton dan peran budayanya.”
Jika memang kita, warga Ngayogyakarta Hadiningrat, meneladani HB IX, tentu mestinya jujur dalam bersikap. Bahwa ternyata memang wacana soal penetapan sultan sebagai gubernur itu jelas mengingkari amanat HB IX sendiri.

Selokan Mataram Terlahir Dari Ide HB IX

HARI ini 12 April 2012 , seratus tahun lalu, Bendoro Raden Mas Dorodjatun lahir. Dia putra Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dari istri kelimanya, Raden Ajeng Kustilah atau KRA Adipati Anum Amangku Negara.

Kisah hidupnya begitu cepat. Dua puluh delapan tahun kemudian, Dorodjatun yang telah jadi putra mahkota, naik tahta setelah ayahandanya mangkat. Di usianya yang masih cukup muda, 28 tahun, Dorodjatun harus memimpin Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat.

Bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono IX, mahasiswa yang baru tiba dari Nederland itu memimpin, mengelola, dan membawa rakyat di wilayah kekuasaannya, mengarungi masa-masa sulit di cengkeraman tangan pemerintah kolonial Belanda.

Ketika perang Asia Timur Raya pecah, Sri Sultan HB IX mati-matian membentengi rakyat dan wilayah kerajaannya dari kekejaman balatentara Nippon. Di masa pendudukan Jepang yang cukup singkat, Yogyakarta adalah perkecualian.

Pada waktu Jepang memobilisasi penduduk Hindia Belanda untuk dijadikan romusha di berbagai front perang di Sumatera hingga Burma, Sri Sultan HB IX menyodorkan proposal lain; proyek pembangunan kanal irigasi yang menyambungkan Kali Progo dan Kali Opak.

Ratusan ribu nyawa penduduk Yogyakarta terselamatkan dari petaka maut di tanah seberang. Megaproyek kanal yang dikerjakan dengan sistem rodi itu hingga kini dikenal dengan nama Selokan Mataram.

Kanal itu berhasil menghubungkan air Kali Progo di barat, dan air Kali Opak di timur. Tersambungkannya ke dua aliran sungai besar itu menghadirkan jawaban atas mitos yang berkembang sejak zaman Sunan Kalijaga.

Satu dari sembilan wali penyebar Islam di tanah Jawa itu konon pernah berujar, Yogyakarta akan makin makmur jika Kali Progo dan Sungai Opak bersatu. Di era Sri Sultan HB IX lah penyatuan itu mewujud, bukan secara alamiah, tapi dalam bentuk saluran air sepanjang 30,8 kilometer.

Kanal itu tidak selesai dikerjakan dalam satu masa saja, melainkan dalam beberapa tahap, melewati masa revolusi kemerdekaan 1945, mengarungi periode ganas 1965, dan dituntaskan pada orde pembangunan era Jenderal Soeharto.

Selokan Mataram adalah karya nyata Sang Raja. Kemanfaatannya dirasakan ribuan hektare lahan persawahan, ribuan petani, ratusan ribu warga Yogyakarta, dan jutaan penduduk Indonesia dari produk pangan yang dihasilkan sawah-sawah nan hijau sepanjang musim.

Sri Sultan HB IX adalah satu dari segelintir pemimpin berdarah biru yang sungguh-sungguh pemimpin di saat mudah maupun sulit. Memori kolektif kita mencatat keputusan sangat bersejarah Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat ketika bergabung dengan Republik Indonesia.

Tiga hari setelah Bung Karno dan Bung Hatta mendeklarasikan kemerdekaan RI, Sri Sultan HB mengirimkan surat kawat ke Jakarta. Isinya, Sri Sultan HB IX percaya lahirnya RI adalah solusi paling revolusioner guna mengakhiri kolonialisme/imperialisme.

Sri Sultan HB IX juga menyatakan diri sanggup berdiri di belakang pimpinan NKRI. Pernyataan serupa dikirimkan Sri Paku Alam VIII. Tanggal 5 September 1945, Sri Sultan HB IX mengeluarkan maklumat penting.  Ia menyatakan Ngayogyakarta Hadiningrat yang berbentuk ke rajaan, merupakan bagian Republik Indonesia. Kerajaan yang dipimpinnya memiliki hubungan yang bersifat langsung dengan Pemerintah Pusat RI, serta bertanggung jawah kepada Presiden RI.

Ketika pasukan Belanda yang memboncengi Sekutu kembali mencaplok Indonesia, Republik Indonesia kembali tercerai berai. Bung Karno dan Bung Hatta, Presiden dan Wapres RI berpindah ke Yogyakarta, yang kemudian jadi ibukota Republik Indonesia.

Pada 4 Januari 1946, Sri Sultan HB IX menyambut kedatangan Bung Karno dan rombongan di Stasiun Tugu, saat pemerintahan RI hijrah. Inilah masa-masa paling sulit ketika Sri Sultan HB IX ikut merawat Republik Indonesia yang masih begitu belia.

Perannya begitu nyata. Sejarah dengan baik mencatat, Raja Keraton Yogyakarta itu benar-benar mengorbankan harkat, martabat, dan darah birunya. Ia menyerahkan tubuh serta nyawanya, menjadikan Republik Indonesia tegak hingga kini. Tahtanya untuk Rakyat

Biografi Sri Sultan Hamengku Buwono IX

Sri Sultan Hamengkubuwono IX pahlawan nasional sekaligus tokoh paling berpengaruh terutama di wilayah kesultanan Yogyakarta. Dilahirkan dengan nama Bendoro Raden Mas Dorodjatun. Beliau putra dari Sri Sultan Hamengkubuwana VIII dan Raden Ajeng Kustilah dan lahir pada 12 April 1912 di Sompilan Ngasem, Yogyakarta.

Sebagai keturunan langsung Sultan Yogyakarta tanggal18 Maret 1940 ia dinobatkan sebagai Sultan dengan gelar"Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga. Ia adalah salah seorang Sultan yang pernah memimpin di Kasultanan Yogyakarta (1940-1988) dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama setelah kemerdekaan Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia yang kedua antara tahun 1973-1978. Ia juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia, dan pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.

Ia merupakan sultan yang menentang penjajahan Belanda dan mendorong kemerdekaan Indonesia. Selain itu, dia juga mendorong agar pemerintah RI memberi status khusus bagi Yogyakarta dengan predikat "Istimewa". Sebelum dinobatkan, Sultan yang berusia 28 tahun bernegosiasi secara alot selama 4 bulan dengan diplomat senior Belanda Dr. Lucien Adams mengenai otonomi Yogyakarta. Di masa Jepang, Sultan melarang pengiriman romusha dengan mengadakan proyek lokal saluran irigasi Selokan Mataram. Sultan bersama Paku Alam IX adalah penguasa lokal pertama yang menggabungkan diri ke Republik Indonesia. Sultan pulalah yang mengundang Presiden untuk memimpin dari Yogyakarta setelah Jakarta dikuasai Belanda dalam Agresi Militer Belanda I. Beliau juga tokoh yang sangan berperan dalam peristiwa serangan umum 1 Maret 1949. Sejak 1946 beliau pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet yang dipimpin Presiden Soekarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah ialah Menteri Utama di bidang Ekuin. Pada tahun 1973 beliau diangkat sebagai wakil presiden. Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, beliau menolak untuk dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan hanyut pada KKN.
  
Riwayat Pendidikan 
  • Taman kanak-kanak atau Frobel School asuhan Juffrouw Willer di Bintaran Kidul 
  • Eerste Europese Lagere School (1925)
  • Hogere Burger School (HBS, setingkat SMP dan SMU) di Semarang dan Bandung (1931)
  • Rijkuniversiteit Leiden, jurusan Indologie (ilmu tentang Indonesia) kemudian ekonomi
Karir
  • Kepala dan Gubernur Militer Daerah Istimewa Yogyakarta (1945)
  • Menteri Negara pada Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947)
  • Menteri Negara pada Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II (3 Juli 1947 - 11 November 1947 dan 11 November 1947 - 28 Januari 1948)
  • Menteri Negara pada Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 - 4 Agustus 1949)
  • Menteri Pertahanan/Koordinator Keamanan Dalam Negeri pada Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 - 20 Desember 1949)
  • Menteri Pertahanan pada masa RIS (20 Desember 1949 - 6 September 1950)
  • Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Natsir (6 September 1950 - 27 April 1951)
  • Ketua Dewan Kurator Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1951)
  • Ketua Dewan Pariwisata Indonesia (1956)
  • Ketua Sidang ke 4 ECAFE (Economic Commision for Asia and the Far East) dan Ketua Pertemuan Regional ke 11 Panitia Konsultatif Colombo Plan (1957)
  • Ketua Federasi ASEAN Games (1958)
  • Menteri/Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (5 Juli 1959)
  • Ketua Delegasi Indonesia dalam pertemuan PBB tentang Perjalanan dan Pariwisata (1963)
  • Menteri Koordinator Pembangunan (21 Februari 1966)
  • Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi 11 (Maret 1966)
  • Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (1968)
  • Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia/KONI (1968)
  • Ketua Delegasi Indonesia di Konferensi Pasific Area Travel Association (PATA) di California, Amerika Serikat (1968)
  • Wakil Presiden Indonesia (25 Maret 1973 - 23 Maret 1978)
Hamengkubuwana IX diangkat menjadi pahlawan nasional Indonesia tanggal 8 Juni 2003 oleh presiden Megawati Soekarnoputri.  Sultan Hamengku Buwana IX juga  tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Yogyakarta terlama antara 1940-1988. Pada 2 Oktober 1988, ia wafat di George Washington University Medical Centre, Amerika Serikat dan dimakamkan di pemakaman para sultan Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, Indonesia.

Mengenang 1 Abad Sri Sultan HamengkuBuwono IX

Sultan HB IX adalah pribadi yang sederhana, demokratis, berkarisma, dan dekat dengan rakyat. Ia turut andil bagian dalam kemerdekaan NKRI

"Sri Sultan HB IX itu adalah pribadi yang sederhana, demokratis, berkarisma, dan tanggap terhadap rakyatnya," kata Romo Tirun, salah satu pejabat di Keraton Yogyakarta saat mengenang kembali sosok HB IX, di Yogyakarta, beberapa hari lalu.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah salah satu pahlawan nasional berpengaruh Yogyakarta dan kemerdekaan Indonesia. Beliau putra dari Sri Sultan Hamengkubuwana VIII dan Raden Ajeng Kustilah. Lahir pada 12 April 1912 di Sompilan Ngasem, Yogyakarta dan dari kecil dikenal dengan Gusti Raden Mas Dorodjatun.
Romo Tirun menceritakan, sejak kecil HB IX harus keluar Keraton untuk menempuh pendidikan dengan Belanda. Kehidupan dengan Belanda membentuk pribadinya yang mandiri dan cerdas terhadap pengetahuan budaya barat. Hal yang menarik, lanjut Romo Tirun, adalah saat beliau dinobatkan menjadi Sultan Keraton Yogyakarta pada tanggal 8 Maret 1940 dengan gelar "Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga".
"Dalam pidatonya, Sultan mengatakan bahwa ia akan mempertemukan jiwa Barat dan Timur agar dapat bekerja dalam suasana harmonis. Kata Sultan, meski ia telah mengenyam pendidikan barat, ia tetap orang Jawa," kata Romo Tirun.
Kesederhanaan Sultan HB IX pun sangat nampak ketika ia selalu mengunjungi rakyat-rakyatnya baik yang ada di pasar, desa, atau tempat lainnya. Bahkan ia selalu memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk mengutarakan pendapat di alun-alun.

Dalam perjuangan melawan penjajah, Sultan HB IX adalah sosok nasionalis. Ia selalu menyorakkan kemerdekaan RI seperti keikutsertaan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 membantu Bung Karno dan Bung Hatta. Tak hanya itu, saat masa penjajahan Jepang, Sultan melarang pengiriman romusha dengan mengadakan proyek lokal saluran irigasi Selokan Mataram.
"Sultan yang pernah menjadi wakil presiden NKRI, juga pernah menyumbangkan dana 6 juta gulden kepada Indonesia sebagai modal awal terbentuknya negeri ini," tambah Romo.
GBPH Joyokusumo, anak Sultan HB IX menambahkan, sosok ayahnya yang paling dikenang adalah komitmennya menjaga agar masing-masing budaya tidak saling mengalahkan. Khususnya budaya Timur jangan sampai kehilangan jati dirinya
Sementara itu, dalam bidang pendidikan pun, sejarawan UGM Djoko Suryo menceritakan, Sultan HB IX menjadi salah satu founding father Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Sultan HB IX juga ikut mendukung penggabungan pendidikan tinggi yang tersebar di berbagai wilayah di Klaten, Surakarta, maupun yang ada di Yogyakarta, menjadi satu perguruan tinggi yaitu UGM.
“Peran sultan HB IX terhadap pendirian UGM sangat besar baik secara historis, sosiologis, politik, kultural, idenasional-ideologis, faktual, material-fisikal dan spasial-lokasional,” urainya.
Secara nyata Sultan HB IX juga memberikan bantuan dalam penyediaan sarana dan prasarana. Beberapa di antaranya adalah menyediakan tempat perkuliahan di Sitihinggil dan Pagelaran Kraton serta gedung lainnya di sekitar kraton. Ia pun menyediakan tanah kraton (sultan ground) untuk pendirian kampus UGM yang baru di wilayah Bulaksumur dan sekitarnya.

 

SEABAD SRI SULTAN HB IX, Mengabdi Tanpa Pamrih

NAH, ini yang kutunggu-tunggu…,” cetus Sri Sultan Hamengku Buwono IX ketika mendengar Soekarno-Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.
Sehari setelah proklamasi, Sri Sultan mengirim kawat kepada Soekarno-Hatta dan mengucapkan selamat atas terbentuknya negara Republik Indonesia.
Kemudian, sebagai Ketua Badan Kebaktian Rakyat (Hokokai) Yogyakarta, pada 20 Agustus 1945, Sri Sultan kembali mengirim telegram kepada Presiden Soekarno dan Wapres Mohammad Hatta, yang isinya, “Sanggup berdiri di belakang Soekarno-Hatta…
” Pernyataan serupa dan dikirim dengan cara serupa pula oleh Sri Paku Alam VIII.
Beberapa minggu  kemudian, Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta mengeluarkan amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang berisi tiga pokok, yaitu :
Pertama, Ngayogyakarta Hadiningrat berbentuk kerajaan yang merupakan Daerah Istimewa, bagian dari RI.
Kedua, segala urusan dalam negeri dan pemerintahan berada di tangan Hamengku Buwono IX.
Ketiga, hubungan antara Ngayogyakarta Hadiningrat dan pemerintah negara RI bersifat langsung dan Sultan Hamengku Buwono IX bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI.
Presiden Soekarno kemudian mengutus Menteri Negara Mr Sartono dan Mr AA Maramis untuk menyerahkan piagam penetapan kepada Sri Sultan.
Piagam itu berisi :  Sri Paduka Kanjeng Sultan pada kedudukannya akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan daerah Yogyakarta sebagai bagian Republik Indonesia.
Sambutan positif atas lahirnya Negara RI dan sikap tegas bergabung Kraton Yogyakarta dengan RI merupakan keputusan cemerlang Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Apalagi saat itu Republik muda ini masih menghadapi berbagai ancaman dari musuh.
***
Apa yang akan terjadi dengan Republik jika tak ada Sultan Hamengku Buwono IX? Itulah pertanyaan Mohammad Roem dalam tulisannya  di buku Tahta untuk Rakyat.
Bukan dengan maksud melebih-lebihkan tapi memang Sri Sultan selalu hadir dalam setiap proses memerdekakan negeri ini.
Ketika republik dalam keadaan gawat, Sri Sultan berperan besar memperlancar perpindahan pusat pemerintahan Republik dari Jakarta ke Yogyakarta pada Januari 1946. Dengan demikian, perjuangan melawan penjajah tetap berlanjut.
Zaman itu, dari presiden sampai pegawai rendahan, semua menderita.
Tak ada gaji, padahal keluarga harus makan. Tanpa ragu-ragu, Sri Sultan merogoh kantong, dan membagi-bagikannya kepada yang memerlukan.
Bung Hatta pernah menghitung, jumlah yang disumbangkan Sri Sultan untuk Republik sekitar lima juta Gulden.
Angka yang luar biasa besarnya pada masa itu.Kemudian pada masa Clash II, Sri Sultan pula yang menggagas Serangan Oemoem 1 Maret 1949.
Serangan siluman selama enam jam di Yogya itu sekaligus membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI — berarti juga Republik Indonesia — masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan di Dewan Keamanan PBB.
Tidak ada yang meragukan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah negarawan yang berwibawa dan tanpa pamrih.
Sri Sultan berjuang untuk Republik tanpa memikirkan imbalan, bahkan menolak ketika diminta Presiden Soeharto melanjutkan jabatan wakil presiden untuk periode kedua.
Sungguh mengenaskan melihat keadaan sekarang.
Betapa tidak! RUU Keistimewaan DIY sudah tiga tahun diganjal orang-orang congkak di Jakarta.
Pengganjalan itu sama artinya mengabaikan peran dan pengabdian Sri Sultan Hamengku Buwono IX terhadap Republik ini.
Padahal, apa yang telah diperbuat orang-orang congkak itu untuk Republik ini?