SEABAD SRI SULTAN HB IX, Mengabdi Tanpa Pamrih

NAH, ini yang kutunggu-tunggu…,” cetus Sri Sultan Hamengku Buwono IX ketika mendengar Soekarno-Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.
Sehari setelah proklamasi, Sri Sultan mengirim kawat kepada Soekarno-Hatta dan mengucapkan selamat atas terbentuknya negara Republik Indonesia.
Kemudian, sebagai Ketua Badan Kebaktian Rakyat (Hokokai) Yogyakarta, pada 20 Agustus 1945, Sri Sultan kembali mengirim telegram kepada Presiden Soekarno dan Wapres Mohammad Hatta, yang isinya, “Sanggup berdiri di belakang Soekarno-Hatta…
” Pernyataan serupa dan dikirim dengan cara serupa pula oleh Sri Paku Alam VIII.
Beberapa minggu  kemudian, Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta mengeluarkan amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang berisi tiga pokok, yaitu :
Pertama, Ngayogyakarta Hadiningrat berbentuk kerajaan yang merupakan Daerah Istimewa, bagian dari RI.
Kedua, segala urusan dalam negeri dan pemerintahan berada di tangan Hamengku Buwono IX.
Ketiga, hubungan antara Ngayogyakarta Hadiningrat dan pemerintah negara RI bersifat langsung dan Sultan Hamengku Buwono IX bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI.
Presiden Soekarno kemudian mengutus Menteri Negara Mr Sartono dan Mr AA Maramis untuk menyerahkan piagam penetapan kepada Sri Sultan.
Piagam itu berisi :  Sri Paduka Kanjeng Sultan pada kedudukannya akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan daerah Yogyakarta sebagai bagian Republik Indonesia.
Sambutan positif atas lahirnya Negara RI dan sikap tegas bergabung Kraton Yogyakarta dengan RI merupakan keputusan cemerlang Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Apalagi saat itu Republik muda ini masih menghadapi berbagai ancaman dari musuh.
***
Apa yang akan terjadi dengan Republik jika tak ada Sultan Hamengku Buwono IX? Itulah pertanyaan Mohammad Roem dalam tulisannya  di buku Tahta untuk Rakyat.
Bukan dengan maksud melebih-lebihkan tapi memang Sri Sultan selalu hadir dalam setiap proses memerdekakan negeri ini.
Ketika republik dalam keadaan gawat, Sri Sultan berperan besar memperlancar perpindahan pusat pemerintahan Republik dari Jakarta ke Yogyakarta pada Januari 1946. Dengan demikian, perjuangan melawan penjajah tetap berlanjut.
Zaman itu, dari presiden sampai pegawai rendahan, semua menderita.
Tak ada gaji, padahal keluarga harus makan. Tanpa ragu-ragu, Sri Sultan merogoh kantong, dan membagi-bagikannya kepada yang memerlukan.
Bung Hatta pernah menghitung, jumlah yang disumbangkan Sri Sultan untuk Republik sekitar lima juta Gulden.
Angka yang luar biasa besarnya pada masa itu.Kemudian pada masa Clash II, Sri Sultan pula yang menggagas Serangan Oemoem 1 Maret 1949.
Serangan siluman selama enam jam di Yogya itu sekaligus membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI — berarti juga Republik Indonesia — masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan di Dewan Keamanan PBB.
Tidak ada yang meragukan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah negarawan yang berwibawa dan tanpa pamrih.
Sri Sultan berjuang untuk Republik tanpa memikirkan imbalan, bahkan menolak ketika diminta Presiden Soeharto melanjutkan jabatan wakil presiden untuk periode kedua.
Sungguh mengenaskan melihat keadaan sekarang.
Betapa tidak! RUU Keistimewaan DIY sudah tiga tahun diganjal orang-orang congkak di Jakarta.
Pengganjalan itu sama artinya mengabaikan peran dan pengabdian Sri Sultan Hamengku Buwono IX terhadap Republik ini.
Padahal, apa yang telah diperbuat orang-orang congkak itu untuk Republik ini?

Tidak ada komentar: