HARI ini 12 April 2012 , seratus tahun lalu, Bendoro Raden Mas Dorodjatun lahir.
Dia putra Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dari istri kelimanya, Raden
Ajeng Kustilah atau KRA Adipati Anum Amangku Negara.
Kisah hidupnya begitu cepat. Dua puluh delapan tahun kemudian, Dorodjatun yang telah jadi putra mahkota, naik tahta setelah ayahandanya mangkat. Di usianya yang masih cukup muda, 28 tahun, Dorodjatun harus memimpin Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat.
Bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono IX, mahasiswa yang baru tiba dari Nederland itu memimpin, mengelola, dan membawa rakyat di wilayah kekuasaannya, mengarungi masa-masa sulit di cengkeraman tangan pemerintah kolonial Belanda.
Ketika perang Asia Timur Raya pecah, Sri Sultan HB IX mati-matian membentengi rakyat dan wilayah kerajaannya dari kekejaman balatentara Nippon. Di masa pendudukan Jepang yang cukup singkat, Yogyakarta adalah perkecualian.
Pada waktu Jepang memobilisasi penduduk Hindia Belanda untuk dijadikan romusha di berbagai front perang di Sumatera hingga Burma, Sri Sultan HB IX menyodorkan proposal lain; proyek pembangunan kanal irigasi yang menyambungkan Kali Progo dan Kali Opak.
Ratusan ribu nyawa penduduk Yogyakarta terselamatkan dari petaka maut di tanah seberang. Megaproyek kanal yang dikerjakan dengan sistem rodi itu hingga kini dikenal dengan nama Selokan Mataram.
Kanal itu berhasil menghubungkan air Kali Progo di barat, dan air Kali Opak di timur. Tersambungkannya ke dua aliran sungai besar itu menghadirkan jawaban atas mitos yang berkembang sejak zaman Sunan Kalijaga.
Satu dari sembilan wali penyebar Islam di tanah Jawa itu konon pernah berujar, Yogyakarta akan makin makmur jika Kali Progo dan Sungai Opak bersatu. Di era Sri Sultan HB IX lah penyatuan itu mewujud, bukan secara alamiah, tapi dalam bentuk saluran air sepanjang 30,8 kilometer.
Kanal itu tidak selesai dikerjakan dalam satu masa saja, melainkan dalam beberapa tahap, melewati masa revolusi kemerdekaan 1945, mengarungi periode ganas 1965, dan dituntaskan pada orde pembangunan era Jenderal Soeharto.
Selokan Mataram adalah karya nyata Sang Raja. Kemanfaatannya dirasakan ribuan hektare lahan persawahan, ribuan petani, ratusan ribu warga Yogyakarta, dan jutaan penduduk Indonesia dari produk pangan yang dihasilkan sawah-sawah nan hijau sepanjang musim.
Sri Sultan HB IX adalah satu dari segelintir pemimpin berdarah biru yang sungguh-sungguh pemimpin di saat mudah maupun sulit. Memori kolektif kita mencatat keputusan sangat bersejarah Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat ketika bergabung dengan Republik Indonesia.
Tiga hari setelah Bung Karno dan Bung Hatta mendeklarasikan kemerdekaan RI, Sri Sultan HB mengirimkan surat kawat ke Jakarta. Isinya, Sri Sultan HB IX percaya lahirnya RI adalah solusi paling revolusioner guna mengakhiri kolonialisme/imperialisme.
Sri Sultan HB IX juga menyatakan diri sanggup berdiri di belakang pimpinan NKRI. Pernyataan serupa dikirimkan Sri Paku Alam VIII. Tanggal 5 September 1945, Sri Sultan HB IX mengeluarkan maklumat penting. Ia menyatakan Ngayogyakarta Hadiningrat yang berbentuk ke rajaan, merupakan bagian Republik Indonesia. Kerajaan yang dipimpinnya memiliki hubungan yang bersifat langsung dengan Pemerintah Pusat RI, serta bertanggung jawah kepada Presiden RI.
Ketika pasukan Belanda yang memboncengi Sekutu kembali mencaplok Indonesia, Republik Indonesia kembali tercerai berai. Bung Karno dan Bung Hatta, Presiden dan Wapres RI berpindah ke Yogyakarta, yang kemudian jadi ibukota Republik Indonesia.
Pada 4 Januari 1946, Sri Sultan HB IX menyambut kedatangan Bung Karno dan rombongan di Stasiun Tugu, saat pemerintahan RI hijrah. Inilah masa-masa paling sulit ketika Sri Sultan HB IX ikut merawat Republik Indonesia yang masih begitu belia.
Perannya begitu nyata. Sejarah dengan baik mencatat, Raja Keraton Yogyakarta itu benar-benar mengorbankan harkat, martabat, dan darah birunya. Ia menyerahkan tubuh serta nyawanya, menjadikan Republik Indonesia tegak hingga kini. Tahtanya untuk Rakyat
Kisah hidupnya begitu cepat. Dua puluh delapan tahun kemudian, Dorodjatun yang telah jadi putra mahkota, naik tahta setelah ayahandanya mangkat. Di usianya yang masih cukup muda, 28 tahun, Dorodjatun harus memimpin Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat.
Bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono IX, mahasiswa yang baru tiba dari Nederland itu memimpin, mengelola, dan membawa rakyat di wilayah kekuasaannya, mengarungi masa-masa sulit di cengkeraman tangan pemerintah kolonial Belanda.
Ketika perang Asia Timur Raya pecah, Sri Sultan HB IX mati-matian membentengi rakyat dan wilayah kerajaannya dari kekejaman balatentara Nippon. Di masa pendudukan Jepang yang cukup singkat, Yogyakarta adalah perkecualian.
Pada waktu Jepang memobilisasi penduduk Hindia Belanda untuk dijadikan romusha di berbagai front perang di Sumatera hingga Burma, Sri Sultan HB IX menyodorkan proposal lain; proyek pembangunan kanal irigasi yang menyambungkan Kali Progo dan Kali Opak.
Ratusan ribu nyawa penduduk Yogyakarta terselamatkan dari petaka maut di tanah seberang. Megaproyek kanal yang dikerjakan dengan sistem rodi itu hingga kini dikenal dengan nama Selokan Mataram.
Kanal itu berhasil menghubungkan air Kali Progo di barat, dan air Kali Opak di timur. Tersambungkannya ke dua aliran sungai besar itu menghadirkan jawaban atas mitos yang berkembang sejak zaman Sunan Kalijaga.
Satu dari sembilan wali penyebar Islam di tanah Jawa itu konon pernah berujar, Yogyakarta akan makin makmur jika Kali Progo dan Sungai Opak bersatu. Di era Sri Sultan HB IX lah penyatuan itu mewujud, bukan secara alamiah, tapi dalam bentuk saluran air sepanjang 30,8 kilometer.
Kanal itu tidak selesai dikerjakan dalam satu masa saja, melainkan dalam beberapa tahap, melewati masa revolusi kemerdekaan 1945, mengarungi periode ganas 1965, dan dituntaskan pada orde pembangunan era Jenderal Soeharto.
Selokan Mataram adalah karya nyata Sang Raja. Kemanfaatannya dirasakan ribuan hektare lahan persawahan, ribuan petani, ratusan ribu warga Yogyakarta, dan jutaan penduduk Indonesia dari produk pangan yang dihasilkan sawah-sawah nan hijau sepanjang musim.
Sri Sultan HB IX adalah satu dari segelintir pemimpin berdarah biru yang sungguh-sungguh pemimpin di saat mudah maupun sulit. Memori kolektif kita mencatat keputusan sangat bersejarah Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat ketika bergabung dengan Republik Indonesia.
Tiga hari setelah Bung Karno dan Bung Hatta mendeklarasikan kemerdekaan RI, Sri Sultan HB mengirimkan surat kawat ke Jakarta. Isinya, Sri Sultan HB IX percaya lahirnya RI adalah solusi paling revolusioner guna mengakhiri kolonialisme/imperialisme.
Sri Sultan HB IX juga menyatakan diri sanggup berdiri di belakang pimpinan NKRI. Pernyataan serupa dikirimkan Sri Paku Alam VIII. Tanggal 5 September 1945, Sri Sultan HB IX mengeluarkan maklumat penting. Ia menyatakan Ngayogyakarta Hadiningrat yang berbentuk ke rajaan, merupakan bagian Republik Indonesia. Kerajaan yang dipimpinnya memiliki hubungan yang bersifat langsung dengan Pemerintah Pusat RI, serta bertanggung jawah kepada Presiden RI.
Ketika pasukan Belanda yang memboncengi Sekutu kembali mencaplok Indonesia, Republik Indonesia kembali tercerai berai. Bung Karno dan Bung Hatta, Presiden dan Wapres RI berpindah ke Yogyakarta, yang kemudian jadi ibukota Republik Indonesia.
Pada 4 Januari 1946, Sri Sultan HB IX menyambut kedatangan Bung Karno dan rombongan di Stasiun Tugu, saat pemerintahan RI hijrah. Inilah masa-masa paling sulit ketika Sri Sultan HB IX ikut merawat Republik Indonesia yang masih begitu belia.
Perannya begitu nyata. Sejarah dengan baik mencatat, Raja Keraton Yogyakarta itu benar-benar mengorbankan harkat, martabat, dan darah birunya. Ia menyerahkan tubuh serta nyawanya, menjadikan Republik Indonesia tegak hingga kini. Tahtanya untuk Rakyat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar