TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Cerita ringan yang humanis
tentang mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono IX terserak banyak. Ia
seorang yang tidak menyukai kultus individu. Sebelum wafat, ia berpesan
agar namanya tidak dipakai untuk nama jalan, juga tidak ingin ada patung
dirinya terpajang.
"Seperti saat masih sehat, beliau pergi ke mana-mana selalu sendiri. Saya menangkap, keputusan tersebut berdasarkan wisik. Ke manapun beliau pergi, meski terkesan tidak ada tujuannya, pasti ada maksud penting di dalamnya," kata Sudomo Sunaryo, mantan penulis pidato Sultan HB IX.
Suatu kali, Sultan HB IX pulang dari Jakarta ke Yogyakarta menyetir sendiri mobilnya. Di jembatan Krasak, Tempel, Sleman, ratusan orang menunggu, menyambut kepulangannya. Namun, Sultan HB IX justru tancap gas karena tidak ingin dielu-elukan masyarakat.
Ketika menjalankan tugas sebagai Gubernur DIY, Sultan HB IX memercayai Sudomo sebagai orang yang menyiapkan teks pidato. Tak banyak yang dituntut Sultan HB IX, selain menyajikan rangkuman sambutan yang mengena dan berbahasa logis serta santun.
"Beliau hampir tidak pernah membaca teks pidato yang saya siapkan. Namun, jika sesekali beliau menemui isi teks kurang sesuai dengan keinginannya, wewenang menyampaikan sambutan dilimpahkan kepada Wakil Gubernur atau Sekretaris Daerah," akunya.
Kisah kecil lain diceritakan wartawati senior, almarhumah Soerastri Karma (SK) Trimurti. Cerita itu tentang pedagang beras di Pasar Kranggan yang menyetop dan minta tumpangan jip yang dikendarai Sri Sultan HB IX. Simbok pedagang itu tak mengenali sopir itu Sultan HB IX .
Begitu turun dari mobil sembari menurunkan dagangan berasnya, simbok itu diberitahu seorang polisi, yang baru saja memberi tumpangan ternyata Sultan HB IX. Simbok bakul beras itu langsung pingdan, dan dikerubungi banyak orang.
"Itu salah satu cerita yang membuat saya sangat terkesan kepada beliau. Betapa ia memiliki hidup sederhana, padahal statusnya adalah orang besar," puji Ketua Sekretariat Bersama Keistimewaan DIY, Widihasto Wasana Putra.
Sebagai generasi muda, ia mengaku tidak menyaksikan secara langsung pernak-pernik kehidupan Sultan HB IX. Tapi, berbagai referensi yang ia dapatkan cukup baginya untuk bersikap hormat setinggi-tingginya kepada sosok Sultan HB IX.
Bahkan, menurutnya, hingga kini tidak ada lagi sosok yang mampu menandingi kiprah Sultan HB IX, baik sebagai pribadi maupun pemimpin.
"Seperti saat masih sehat, beliau pergi ke mana-mana selalu sendiri. Saya menangkap, keputusan tersebut berdasarkan wisik. Ke manapun beliau pergi, meski terkesan tidak ada tujuannya, pasti ada maksud penting di dalamnya," kata Sudomo Sunaryo, mantan penulis pidato Sultan HB IX.
Suatu kali, Sultan HB IX pulang dari Jakarta ke Yogyakarta menyetir sendiri mobilnya. Di jembatan Krasak, Tempel, Sleman, ratusan orang menunggu, menyambut kepulangannya. Namun, Sultan HB IX justru tancap gas karena tidak ingin dielu-elukan masyarakat.
Ketika menjalankan tugas sebagai Gubernur DIY, Sultan HB IX memercayai Sudomo sebagai orang yang menyiapkan teks pidato. Tak banyak yang dituntut Sultan HB IX, selain menyajikan rangkuman sambutan yang mengena dan berbahasa logis serta santun.
"Beliau hampir tidak pernah membaca teks pidato yang saya siapkan. Namun, jika sesekali beliau menemui isi teks kurang sesuai dengan keinginannya, wewenang menyampaikan sambutan dilimpahkan kepada Wakil Gubernur atau Sekretaris Daerah," akunya.
Kisah kecil lain diceritakan wartawati senior, almarhumah Soerastri Karma (SK) Trimurti. Cerita itu tentang pedagang beras di Pasar Kranggan yang menyetop dan minta tumpangan jip yang dikendarai Sri Sultan HB IX. Simbok pedagang itu tak mengenali sopir itu Sultan HB IX .
Begitu turun dari mobil sembari menurunkan dagangan berasnya, simbok itu diberitahu seorang polisi, yang baru saja memberi tumpangan ternyata Sultan HB IX. Simbok bakul beras itu langsung pingdan, dan dikerubungi banyak orang.
"Itu salah satu cerita yang membuat saya sangat terkesan kepada beliau. Betapa ia memiliki hidup sederhana, padahal statusnya adalah orang besar," puji Ketua Sekretariat Bersama Keistimewaan DIY, Widihasto Wasana Putra.
Sebagai generasi muda, ia mengaku tidak menyaksikan secara langsung pernak-pernik kehidupan Sultan HB IX. Tapi, berbagai referensi yang ia dapatkan cukup baginya untuk bersikap hormat setinggi-tingginya kepada sosok Sultan HB IX.
Bahkan, menurutnya, hingga kini tidak ada lagi sosok yang mampu menandingi kiprah Sultan HB IX, baik sebagai pribadi maupun pemimpin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar