Asal Usul Gunung Merapi ( ilmiah )

Sejarah Gunung Merapi sejak 700 000 tahun yang lalu


Awan panas, ciri letusan Gunung Merapi, Jogjakarta.
Tentunya menghindari bahayanya serta memanfaatkan faedahnya tidak hanya diperlukan ketika sedang membutuhkan saja. Cerita sejarah gunung Merapi juga menarik utk diketahui sebagai pengetahuan bagi kita yang awam volkanologi. Dibawah ini tulisan dari Badan Geologi mengenai sejarah Gunung Merapi yang bulan Oktober 2010 ini sedang bergolak.
:( “Pakdhe ini yang mendongeng Pak Sukhyar ya ?”
:D “Looh Pak Sukhyar itu Rajane Badan Geologi, mestinya ini staffnya Pak Surono yang mendongeng”

SEJARAH GEOLOGI

Hasil penelitian stratigrafi menunjukkan sejarah terbentuknya Merapi sangat kompleks. Wirakusumah (1989) membagi Geologi Merapi menjadi 2 kelompok besar yaitu Merapi Muda dan Merapi Tua. Penelitian selanjutnya (Berthomier, 1990; Newhall & Bronto, 1995; Newhall et.al, 2000) menemukan unit-unit stratigrafi di Merapi yang semakin detil. Menurut Berthommier,1990 berdasarkan studi stratigrafi, sejarah Merapi dapat dibagi atas 4 bagian :

PRA MERAPI (+ 400.000 tahun lalu)

Disebut sebagai Gunung Bibi dengan magma andesit-basaltik berumur ± 700.000 tahun terletak di lereng timur Merapi termasuk Kabupaten Boyolali. Batuan gunung Bibi bersifat andesit-basaltik namun tidak mengandung orthopyroxen. Puncak Bibi mempunyai ketinggian sekitar 2050 m di atas muka laut dengan jarak datar antara puncak Bibi dan puncak Merapi sekarang sekitar 2.5 km. Karena umurnya yang sangat tua Gunung Bibi mengalami alterasi yang kuat sehingga contoh batuan segar sulit ditemukan.

MERAPI TUA (60.000 – 8000 tahun lalu)

Pada masa ini mulai lahir yang dikenal sebagai Gunung Merapi yang merupakan fase awal dari pembentukannya dengan kerucut belum sempurna. Ekstrusi awalnya berupa lava basaltik yang membentuk Gunung Turgo dan Plawangan berumur sekitar 40.000 tahun. Produk aktivitasnya terdiri dari batuan dengan komposisi andesit basaltic dari awanpanas, breksiasi lava dan lahar.

MERAPI PERTENGAHAN (8000 – 2000 tahun lalu)

Terjadi beberapa lelehan lava andesitik yang menyusun bukit Batulawang dan Gajahmungkur, yang saat ini nampak di lereng utara Merapi. Batuannya terdiri dari aliran lava, breksiasi lava dan awan panas. Aktivitas Merapi dicirikan dengan letusan efusif (lelehan) dan eksplosif. Diperkirakan juga terjadi letusan eksplosif dengan “de¬bris-avalanche” ke arah barat yang meninggalkan morfologi tapal-kuda dengan panjang 7 km, lebar 1-2 km dengan beberapa bukit di lereng barat. Pada periode ini terbentuk Kawah Pasarbubar.
:( “Pakdhe, Pak Sukhyar kok tahu umurnya Merapi sudah ribuan tahun ya. Apa blio pernah lihat KTP batuan volkaniknya ?”
:D “Thole, Setiap batuan bisa diketahui umurnya dengan cara tertentu. Bisa dengan fosilnya, bisa juga dengan radioaktifitasnya”

MERAPI BARU (2000 tahun lalu – sekarang)

Dalam kawah Pasarbubar terbentuk kerucut puncak Merapi yang saat ini disebut sebagai Gunung Anyar yang saat ini menjadi pusat aktivitas Merapi. Batuan dasar dari Merapi diperkirakan berumur Merapi Tua. Sedangkan Merapi yang sekarang ini berumur sekitar 2000 tahun. Letusan besar dari Merapi terjadi di masa lalu yang dalam sebaran materialnya telah menutupi Candi Sambisari yang terletak ± 23 km selatan dari Merapi. Studi stratigrafi yang dilakukan oleh Andreastuti (1999) telah menunjukkan bahwa beberapa letusan besar, dengan indek letusan (VEI) sekitar 4, tipe Plinian, telah terjadi di masa lalu. Letusan besar terakhir dengan sebaran yang cukup luas menghasilkan Selokopo tephra yang terjadi sekitar sekitar 500 tahun yang lalu. Erupsi eksplosif yang lebih kecil teramati diperkirakan 250 tahun lalu yang menghasilkan Pasarbubar tephra. Skema penampang sejarah geologi Merapi menurut Berthommier, 1990 (gambar kanan).
Peta menunjukkan sebaran endapan awanpanas Merapi 1911-2006. Hanya wilayah timur lereng yang bebas dari arah aliran awapanas dalam kurun waktu tersebut.
:( “Wah kalau gitu yang di Timur puncak merapi aman ya ?”
:D “Untuk waktu kali ini mungkin saja aman. Tetapi kalau nanti dinding sebelah timur ambrol juga bisa berbahaya Thole. Seperti runtuhnya Geger Boyo tahun 2006 yang menyebabkan luncurannya ke selatan”

SEJARAH ERUPSI

Tipe erupsi Gunung Merapi dapat dikategorikan sebagai tipe Vulkanian lemah. Tipe lain seperti Plinian (contoh erupsi Vesuvius tahun 79) merupakan tipe vulkanian dengan daya letusan yang sangat kuat. Erupsi Merapi tidak begitu eksplosif namun demikian aliran piroklastik hampir selalu terjadi pada setiap erupsinya. Secara visual aktivitas erupsi Merapi terlihat melalui proses yang panjang sejak dimulai dengan pembentukan kubah lava, guguran lava pijar dan awanpanas (pyroclastic flow).
Merapi termasuk gunungapi yang sering meletus. Sampai Juni 2006, erupsi yang tercatat sudah mencapai 83 kali kejadian. Secara rata-rata selang waktu erupsi Merapi terjadi antara 2 – 5 tahun (periode pendek), sedangkan selang waktu periode menengah setiap 5 – 7 tahun. Merapi pernah mengalami masa istirahat terpanjang selama >30 tahun, terutama pada masa awal keberadaannya sebagai gunungapi. Memasuki abad 16 kegiatan Merapi mulai tercatat cukup baik. Pada masa ini terlihat bahwa waktu istirahat terpanjang pernah dicapai selama 71 tahun ketika jeda antara tahun 1587 sampai dengan tahun 1658.


Evolusi Gunung Merapi
Sejarah letusan gunung Merapi mulai dicatat (tertulis) sejak tahun 1768. Namun demikian sejarah kronologi letusan yang lebih rinci baru ada pada akhir abad 19. Ada kecenderungan bahwa pada abad 20 letusan lebih sering dibanding pada abad 19. Hal ini dapat terjadi karenapencatatan suatu peristiwa pada abad 20 relatif lebih rinci. Pemantauan gunungapi juga baru mulai aktif dilakukan sejak awal abad 20. Selama abad 19 terjadi sekitar 20 letusan, yang berarti interval letusan Merapi secara rata-rata lima tahun sekali. Letusan tahun 1872 yang dianggap sebagai letusan terakhir dan terbesar pada abad 19 dan 20 telah menghasilkan Kawah Mesjidanlama dengan diameter antara 480-600m. Letusan berlangsung selama lima hari dan digolongkan dalam kelas D. Suara letusan terdengar sampai Kerawang, Madura dan Bawean. Awanpanas mengalir melalui hampir semua hulu sungai yang ada di puncak Merapi yaitu Apu, Trising, Senowo, Blongkeng, Batang, Woro, dan Gendol.
Awanpanas dan material produk letusan menghancurkan seluruh desa-desa yang berada di atas elevasi 1000m. Pada saat itu bibir kawah yang terjadi mempunyai elevasi 2814m (;bandingkan dengan saat ini puncak Merapi terletak pada elevasi 2968m). Dari peristiwa-peristiwa letusan yang telah lampau, perubahan morfologi di tubuh Gunung dibentuk oleh lidah lava dan letusan yang relatif lebih besar. Gunung Merapi merupakan gunungapi muda. Beberapa tulisan sebelumnya menyebutkan bahwa sebelum ada Merapi, telah lebih dahuiu ada yaitu Gunung Bibi (2025m), lereng timurlaut gunung Merapi. Namun demikian tidak diketahui apakah saat itu aktivitas vulkanik berlangsung di gunung Bibi. Dari pengujian yang dilakukan, G. Bibi mempunyai umur sekitar 400.000 tahun artinya umur Merapi lebih muda dari 400.000 tahun. Setelah terbentuknya gunung Merapi, G. Bibi tertimbun sebagian sehingga saat ini hanya kelihatan sebagian puncaknya. Periode berikutnya yaitu pembentukan bukit Turgo dan Plawangan sebagai awal lahirnya gunung Merapi. Pengujian menunjukkan bahwa kedua bukit tersebut berumur sekitar maksimal 60.000 tahun (Berthomrnier, 1990). Kedua bukit mendominasi morfologi lereng selatan gunung Merapi.
Pada elevasi yang lebih tinggi lagi terdapat satuan-satuan lava yaitu bukit Gajahmungkur, Pusunglondon dan Batulawang yang terdapat di lereng bagian atas dari tubuh Merapi. Susunan bukit-bukit tersebut terbentuk paling lama pada, 6700 tahun yang lalu (Berthommier,1990). Data ini menunjukkan bahwa struktur tubuh gunung Merapi bagian atas baru terbentuk dalam orde ribuan tahun yang lalu. Kawah Pasarbubar adalah kawah aktif yang menjadi pusat aktivitas Merapi sebelum terbentuknya puncak.
:D “Nah ini Thole, bagaimana dinamika gunung berapi itu sangat tergantung dari morfologi atau topografi kepundannya”
Diperkirakan bahwa bagian puncak Merapi yang ada di atas Pasarbubar baru terbentuk mulai sekitar 2000 tahun lalu. Dengan demikian jelas bahwa tubuh gunung Merapi semakin lama semakin tinggi dan proses bertambahnya tinggi dengan cepat nampak baru beberapa ribu tahun lalu. Tubuh puncak gunung Merapi sebagai lokasi kawah aktif saat ini merupakan bagian yang paling muda dari gunung Merapi. Bukaan kawah yang terjadi pernah mengambil arah berbeda-beda dengan arah letusan yang bervariasi. Namun demikian sebagian letusan mengarah ke selatan, barat sampai utara. Pada puncak aktif ini kubah lava terbentuk dan kadangkala terhancurkan oleh letusan. Kawah aktif Merapi berubah-ubah dari waktu ke waktu sesuai dengan letusan yang terjadi. Pertumbuhan kubah lava selalu mengisi zona-zona lemah yang dapat berupa celah antara lava lama dan lava sebelumnya dalam kawah aktif Tumbuhnya kubah ini ciapat diawali dengan letusan ataupun juga sesudah letusan. Bila kasus ini yang terjadi, maka pembongkaran kubah lava lama dapat terjadi dengan membentuk kawah baru dan kubah lava baru tumbuh dalam kawah hasil letusan. Selain itu pengisian atau tumbuhnya kubah dapat terjadi pada tubuh kubah lava sebelumnya atau pada perbatasan antara dinding kawah lama dengan lava sebelumnya. Sehingga tidak mengherankan kawahkawah letusan di puncak Merapi bervariasi ukuran maupun lokasinya. Sebaran hasil letusan juga berpengaruh pada perubahan bentuk morfologi, terutama pada bibir kawah dan lereng bagian atas. Pusat longsoran yang terjadi di puncak Merapi, pada tubuh kubah lava biasanya pada bagian bawah yang merupakan akibat dari terdistribusikannya tekanan di bagian bawah karena bagian atas masih cukup kuat karena beban material.
Lain halnya dengan bagian bawah yang akibat dari desakan menimbulkan zona-zona lemah yang kemudian merupakan pusat-pusat guguran. Apabila pengisian celah baik oleh tumbuhnya kubah masih terbatas jumlahnya, maka arah guguran lava masih dapat terkendali dalam celah yang ada di sekitarnya. Namun apabila celah-celah sudah mulai penuh maka akan terjadi penyimpangan-penyimpangan tumbuhnya kubah. Sehingga pertumbuhan kubah lava yang sifat menyamping (misal, periode 1994 – 1998) akan mengakibatkan perubahan arah letusan. Perubahan ini juga dapat terjadi pada jangka waktu relatif pendek dan dari kubah lava yang sama. Pertumbuhan kubah lava ini berkembang dari simetris menjadi asimetris yang berbentuk lidah lava. Apabila pertumbuhan menerus dan kecepatannya tidak sama, maka lidah lava tersebut akan mulai membentuk morfologi bergelombang yang akhirnya menjadi sejajar satu sama lain namun masih dalam satu tubuh. Alur pertumbuhannya pada suatu saat akan mencapai titik kritis dan menyimpang menimbulkan guguran atau longsoran kubah. Kronologi semacam ini teramati pada th 1943 (April sampai Mei 1943).
Penumpukan material baru di daerah puncak akibat dari pertumbuhan kubah terutama terlihat dari perubahan ketinggian maksimum dari puncak Merapi. Beberapa letusan yang dalam sejarah telah mengubah morfologi puncak antara lain letusan periode 18221823 yang menghasilkan kawah berdiameter 600m, periode 1846 – 1848 (200m), periode 1849 (250 – 400m), periode 1865 – 1871 (250m), 1872 – 1873 (480 – 600 m), 1930, 1961.

Asal Usul Gunung Merapi ( Cerita Adat )

Bagaimana cerita terjadinya Gunung Merapi? Bila kita berada di wilayah Kawastu, kalangan penduduk di sana masih mempercayai bahwa Gunung Merapi adalah penjelmaan dari perubahan Gunung Jamurdipo. Menurut cerita yang beredar di sana, sebagaimana diungkapkan Lucas Sasongko Triyoga dalam bukunya, Manusia Jawa dan Gunung Merapi (Gadjah Mada University Press, 1991), sewaktu Pulau Jawa diciptakan para desa, keadaannya tidak seimbang. Karena miring ke barat. Ini disebabkan di ujung barat terdapat Gunung Jamurdipo.


Atas prakarsa Dewa Krincingwesi, gunung tersebut dipindahkan ke bagian tengah agar terjadi keseimbangan. Pada saat yang bersamaan, di tengah Pulau Jawa terdapat dua empu kakak beradik, yakni Empu Rama dan Permadi. Keduanya tengah membuat keris pusaka Tanah Jawa. Mereka oleh para dewa telah diperingatkan untuk memindahkan kegiatannya tetapi keduanya bersikeras. Mereka tetap akan membuat pusaka di tengah Pulau Jawa. Maka, Dewa Krincingwesi murka. Gunung Jamurdipo kemudian diangkat dan dijatuhkan tepat di lokasi kedua empu itu membuat keris pusaka. Kedua empu itu, akhirnya meninggal. Terkubur hidup-hidup karena kejatuhan Gunung Jamurdipo. Untuk memperingati peristiwa tersebut, Gunung Jamurdipo kemudian diubah menjadi Gunung Merapi. Artinya, tempat perapian Empu Rama dan Permadi. Roh kedua empu itu kemudian menguasai dan menjabat sebagai raja dari segala makhluk halus yang menempati Gunung Merapi.

Mitos tentang asal-usul Gunung Merapi ini ternyata juga muncul dengan versi lain di Korijaya.
Pada jaman dahulu kala, pulau Jawa belum banyak daerah yang dihuni oleh manusia. Kebanyakan wilayahnya adalah hutan belantara yang dihuni oleh makhluk-maklhuk gaib dan binatang liar. Keadaan pulau jawa pada waktu itu miring, shingga mengkawatirkan kelangsungan makluk hidup yang menghuninya. Hanya ada beberapa bagian yang dihuni oleh sekelompok manusia yang hidup secara bergerombol dan suka berpindah-pindah karena keganasan alam dan serangan musuh.

Para penghuni pulau jawa ini tidak menyadari kalau tanah yang mereka tempati itu sebenarnya miring, sehingga ada kekhawatiran akan meluncur dan tenggelam ke laut Selatan. Yang mengetahui keadaan ini adalah para dewa di kayangan yang peduli akan kelangsungan hidup para penghuni pulau Jawa waktu itu. Para dewa di kayangan akhirnya sepakat untuk membuat agar pulau Jawa tidak miring, sehingga para penghuninya bisa berkembang biak dan semakin maju peradabannya.

Untuk membuatnya tidak miring, para dewa di kayangan berencana memberikan pemberat yang diletakkan di tengah-tengah pulau. Kemudian para dewa bekerja keras untuk mewujutkan rencana mereka. Pekerjaan dimulai dengan menimbang pulau Jawa untuk menentukan titik tengah keseimbangan pulau itu. Terjadilah gempa bumi yang dahsyat pada waktu itu karana pulau itu diangkat dan diletakkan diatas timbangan oleh para dewa. Dahsyatnya gempa bumi pada waktu itu tidak menimbulkan banyak korban jiwa, karena sudah diperhitungkan oleh pawa dewa dan penduduk waktu itu hanya tinggal di gubuk-gubuk. Ketakutan yang mereka alami tentu saja tidak bisa mereka elakkan lagi. Tidak hanya menusia yang ketakutan namun para penghuni lainnya termasuk binatang juga lari tunggang-langgang ketakutan.

Para penghuni pulau Jawa pada saat terjadi gempa yang dahsyat itu kebanyakan larinya ke arah selatan, sehingga menambah parah kemiringan pulau Jawa. Para dewa pun berpikir keras untuk menaruh pemberat yang lebih besar dari yang diperkirakan mereka sebelumnya.

Para dewa kemudian berunding lagi untuk menentukan pemberat yang akan mereka taruh di tengah pulau itu. Mereka memutuskan menggunakan Gunung Jamurdwipa yang yang sangat terkenal bagi makhluk-makhluk gaib dan sangat tinggi menjulang di dalam laut selatan. Para dewa kemudian memberikan pengarahan dan meminta ijin para penghuni Gunung Jamurdwipa aga segera pindah tempat, karena gunung yang mereka tempati akan dipindahkan ke tengah-tengah pulau Jawa.

Dari hasil pengukuran yang telah mereka lakukan terdahulu, ternyata lokasinya dihuni oleh dua orang yang sedang bekerja di tengah hutan belantara. Ke dua orang itu tenyata empu yang sedang membuat keris. Para dewa kemudian mengutus Dewa Panyarikan dan Batara Naradha beserta para pengawal untuk memberitahu kepada kedua orang itu agar segera pindah karena tempatnya akan diletakkan Gunung Jamurdwipa.

Para utusan dewa itu terpesona melihat kedua empu yang sedang mengerjakan keris masing-masing tanpa bantuan alat apapun. Empu itu sedang mencampur segala macam bahan logam dan dengan tangan kosong mereka menggunaka telapak tangan dan jari-jari untuk menempa dan memilin campuran bubuk logam itu hingga menggumpal.

Pekerjaan empu pada waktu itu tentu saja tidak bisa disela karena memelukan konsantrasi tingkat tinggi untuk mengolah bijih logam itu. Para utusan pun mau menunggu, dan sambil melihat betapa takjubnya mereka mengetahui cara pembuatan keris yang dilakukan oleh para empu itu. Gumpalan besi itu kemudian dipukul-pukul dan diurut-urut oleh para empu itu hanya menggunakan tangan mereka. Dan yang lebih menakjubkan lagi gumpalan besi itu membara dan menyala-nyala namun tangan para empu itu tidak terbakar sedikitpun.

Pekerjaan empu itu sebenarnya belum selesai namun karena ada utusan penting, maka pekerjaanya di hentikan sementara dan menemui utusan dari kayangan tersebut. Empu tersebut kemudian memperkenalkan diri. Yang satunya bernama Mpu Permadi sedangkan yang satunya lagi bernama Mpu Rama. Setelah saling memperkenalkan diri dan sedikit basa-basi, akhirnya Batara Naradha dan Dewa Panyarikan mengutarakan maksud kedatangannya.

Batara Naradha pun segera menyampaikan maksud kedatangannya dan didukung oleh pernyataan Sewa Panyarikan, yaitu menyarankan agar kedua empu itu segera pundah dari lokasi itu karena akan ditepatkan gunung besar yang akan digunakan untuk menyeimbangkan pulau Jawa yang sedang miring. Batara Naradha menjelaskan hal ikhwal terjadinya gempa dan keadaan pulau Jawa yang sangat mengkawatirkan mengharapkan agar kedua orang itu mau mengerti dan menuruti kehendaknya tanpa ada halangan satupun. Tidak lupa Dewa Panyarikan pun menjelaskan pentingnya pekerjaan itu demi kelangsungan hidup para penghuni pulau Jawa.

Mpu Permadi dan Mpu Rama tertegun dan saling berpandangan. Nampak dari gurat wajahnya seperti tidak berkenan dengan kehendak para dewa. Ke dua empu itu mempunyai kepentingan terkait dengan pekerjaannya yang belum selesai. Dan ternyata ke-dua empu itu tidak berkenan bila harus berpindah tempat, sementara pekerjaan membuat kerisnya baru saja dimulai dan harus diselesaikian dilokasi itu. Kedua empu itu berpendapat jika pembuatan kerisnya tidak selesai dengan sempurna akan mendatangkan malapetaka bagi manusia, maka harus mereka meminta harus menunggu hingga pekerjaannya selesai.

Kedua utusan itupun berpendapat jika perkara ini adalah perkara yang bersifat mendesak, sehingga jikalau harus menggunakan pemaksaan pun akan dijalankannya. Kedua utusan itu tak henti-hentinya menerangkan bahwa tugas yang diembannya adalah demi kelangsungan hidup umat di pulau Jawa. Namun kedua empu itu juga kokoh pada pendiriannya, jika pengerjaan keris itu tidak sempurna juga akan mendatangkan mala petaka bagi manusia.

Kedua kubu itu pun terlibat adu mulut yang sangat menegangkan. Nampaknya suasananya semakin menjadi tidak terkendali. Karena alasan yang sangat mendesak, maka kedua utusan dewa pun menggunakan pemaksaan dengan mengerahkan seluruh bala tentara pengawalnya untuk menyerang kedua empu itu. Kedua empu itu segera memasang kuda-kuda untuk menyambut serangan bala tentara kayangan itu. Nampaknya pertarungan itu tidaklah seimbang mengingat kesaktian dari kedua empu itu dalam waktu yang tdak lama semua bala tentara itu berhasil dikalahkan.

Kini tinggal berempat mereka berhadap-hadapan dan terjadilah duel satu lawan satu. Pertarungan sengit pun tak bisa dihindarkan. Pertarungan kali ini nampak seimbang, sehingga pertempurannya berlangsung lama dan wilayah sekitar pertempuran itu nampak berantakan, banyak batu-batu berhamburan dan hancur jadi debu, pohon-pohon besar bertumbangan dan asap atau debu mengepul.

Kedua empu itu tentu saja sedemikian menguasai medan, sehingga ini merupakan keuntungan bagi kedua empu itu. Tempat itu berada di daerah kekuasaan empu, sehingga keadaan ini sangat menguntungkan bagi kedua empu itu dan kelemahan bagi para utusan dewa itu. Didukung kesaktian kedua empu itu, akhirnya merekapun memenangkan pertempuran itu dan para utusan dewa itupun diusir untuk segera kembali ke tempat asalnya.

Para utusan dari kayangan itu segera terbang ke kayangan untuk melapor kepada Batara Guru sebagai Pemimpin para dewa waktu itu. Setibanya di kayangan, mereka segera melaporkan kegagalan mengusir dua orang empu itu. Tidak lupa merekapun melaporkan kesaktian yang tidak lazim dari kedua empu itu. Batara Guru sangat murka dan merasa diremehkan oleh kedua empu itu dan menjadi murka.

Batara Guru kemudian memberi titah kepada Dewa Bayu untuk memberikan pelajaran buat Mpu Rama dan Mpu Permadi. Dewa Bayu diperintah untuk segera memindahkan Gunung Jamurdwipa dengan meniupnya. Batara guru tidak peduli dengan keselamatan kedua empu itu, karena telah menentang para dewa dan membahayakan keselamatan umat manusia.

Berangkatlah Dewa Bayu ke Laut Selatan. Dengan kesaktiannya, Dewa Bayu segera meniup gunung itu. Tiupan Dewa Bayu yang bagaikan angin topan berhasil menerbangkan Jamurdwipa hingga melayang-layang di angkasa dan kemudian jatuh tepat di perapian kedua empu tersebut. Kedua empu yang berada di tempat itu pun ikut tertindih oleh Gunung Jamurdwipa hingga tewas seketika. Kemudian roh kedua empu tersebut tidak bisa diterima di alam baka sehingga menjadi penunggu gunung itu.

Meskipun kedua empu sakti itu telah tewas tertimpa gunung, namun sisa-sisa kesaktiannya tidak padam. Bahan keris yang masih dalam proses pengerjaanya masih menyala dan tidak dapat dipadamkan kecuali oleh kedua orang empu yang sudah tewas tersebut dan terus menerus membara dan karena tertimbun oleh gunung, lama kelamaan semakin membara dan membesar. Karena bertambah besar baranya, maka tempatnya menjadi terbatas sedangkan tekanannya menjadi meningkat. Bara api yang makin membesar itu menyembur ke atas dengan membakar bebatuan dan tanah yang menimbunnya hingga meleleh. Oleh karena tanah dan bebatuan yang meleleh tadi mnimbulkan lobang yang semakin hari semakin bertambah luas hingga sekarang menjadi kawah.

Kekuatan Mistik Gunung Merapi

NAMA gunung Merapi sudah cukup populer di telinga masyarakat Indonesia. Sesuatu yang berkaitan keberadaan gunung Merapi kerap dikaitkan dengan hal-hal berbau misteri, di antaranya keberadaan makhluk-makhluk gaib penguasa dan penghuni gunung Merapi. Hal ini tidaklah berlebihan, karena hasil investigasi membuktikan bahwa masyarakat setempat yakin kalau penghuni dan penguasa gunung Merapi memang ada.
Mereka memanggilnya dengan sebutan Eyang Merapi. "Bapak lihat bukit kecil di atas itu? Itu namanya gunung Wutah, gapuranya atau pintu gerbangnya kraton Eyang Merapi". Sebaris kalimat dengan nada bangga itu meluncur begitu saja dari Bangat, seorang penduduk asli Kinahrejo Cangkrinagan Sleman, sesaat setelah kami menapaki sebuah ara tandus berbatu tanpa hiasan pepohonan sebatang pun.
Masyarakat setempat meyakini, kawasan wingit yang diapit oleh dua buah gundukan kecil itu memang dikenal sebagai pelatarannya keraton Eyang Merapi. Untuk naik ke sana, diingatkan agar uluk salam, atau sekadar minta permisi begitu di atasnya. "Kulo nuwun Eyang, kulo ingkang sowan, sumangga silakna rikma niro," imbuh istri Bangat, Suharjiyah, sembari menuntun kami untuk menirukan lafal tersebut.
Tenyu saja, imbauan sepasang suami istri yang tubuhnya kian keriput dimakan usia itu bukan tanpa alasan. Menurutnya, sang penguasa kraton Merapi sangat tersinggung bila ada pendatang baru yang neko-neko (berbuat macam-macam), pethakilan (bertingkah tidak senonoh) tanpa memberi uluk salam (permisi). Hal-hal tersebut jika dilanggar akibatnya akan sangat fatal. "Mereka yang sama sekali tidak mengubris pakem kultur tersebut jelas akibatnya akan fatal, biasanya akan tersesat hingga kecebur jurang," tegas Bangat.
Satu hal yang perlu diingat, setiap pendatang baru di kawasan Kinahrejo niscaya bakal celaka bila sampai menyakiti hati penduduk setempat. "Nantinya bisa-bisa kuwalat jadinya," imbuh Bangat. Sekejam itukah? "Sebenarnya sih enggak. Cuma memang, Eyang Merapi itu nggak suka kalau kampung sini (Kinahrejo, Red) jadi sasaran perbuatan yang nggak terpuji. Masalahnya, warga sini sebetulnyakan masih termasuk rakyatnya kraton Eyang Merapi. Nggak percaya? Coba saja Bapak perhatikan dan tanyakan kepada warga sini, apa pernah wilayah ini terkena semburan lahar panas Merapi? Pasti jawab mereka tidak," terang Bangat.
Ditambahkan, beberapa warga setempat menggambarkan sosok penguasa kraton Merapi dengan makhluk yang menyeramkan, namun berhati mulia dan tidak bermaksud jahat, "Dia adalah pengayom masyarakat setempat," tandas Suharjiyah. Besarnya rasa percaya masyarakat setempat terhadap keberadaan Eyang Merapi membuat mereka yakin bahwa akan hal-hal yang mistis yang terjadi menimpa masyarakat. Misalnya, pintu gerbang kramat, penduduk yang tinggal di lereng gunung Merapi itu percaya bahwa pintu gerbang tersebut penangkal dari segala marabahaya.
Pintu gerbang yang berdiri selama 9 abad itu nyaris pernah tersentuh bencana gunung Merapi. Padahal secara teknis daerah tersebut termasuk daftar daerah bahaya. Hal itu juga tak lepas dari keberadaan dua buah bukit (Wutah dan Kendit) yang berfungsi sebagai benteng desa-desa sekitar Kinahrejo. "Bukit Kendit maupun bukit Wutah itu kan masih masuk dalam wilayah kekuasan Eyang Merapi. Itukan pasebannya (tempat untuk menghadap raja) kraton Eyang Merapi. Jadi nggak mungkin Eyang akan tega membinasakan orang yang memang sudah lama mendiami tempat sekitar itu," Bangat menjelaskan lebih jauh.
Memang, dibandingkan penduduk desa lainnya, nasib penghuni desa Kinahrejo dan sekitarnya termasuk yang beruntung. Selain merupakan desa yang nyaris selalu luput dari ancaman bahaya lahar panas Merapi, desa yang konon termasuk desa kesayangan Eyang Merapi itu juga menjadi sebuah reresentasi dari sebuah suasana kehidupan yang serba nyaman dan tentram.
Tak aneh kalau dikemudian hari kerap muncul sindirin dikalangan penduduk setempat kepada warga diwilayah barat daya gunung Merapi yang kerap jadi langganan bencana lahar. "Kalau ingin hidup tenang tentram, pindahlah kemari. Eyang Merapi kan selalu melindungi kami," ujar Wardiyah, salah seorang warga yang mengaku penduduk asli desa Kinahrejo.
Ucapan Wardiyah tersebut memang ada benarnya. Penduduk desa Kinahrejo seolah telah mendapat garansi dari Eyang Merapi. Pendek kata, selagi mereka patuh terhadap segala peraturan yang ada misalnya selalu mempersembahkan bulu bekti berupa persembahan sesajian serta selalu melakukan ritual labuhan setiap tahunnya, mereka yakin dan optimis bahwa mereka akan senantiasa terhindar dari ancaman letusan Merapi.

Mataram membentengi kerajaan dengan cerita mistik

semenjak perang dunia kedua berakhir, negara-negara di dunia makin berlomba-lomba memasang “benteng-pertahanan” terkokohnya. Dengan tujuan agar negaranya senantiasa tidak dipandang lemah dan diserang negara lain. Yakni mereka berlomba-lomba memperkuat militernya dengan persenjataan yang sangat canggih seperti peluru-peluru kendali dan rudal yang hulu ledaknya dapat memusnahkan masa__dalam jumlah banyak, bahkan sampai senjata yang super mutahir seperti senjata nuklir. Semua, semata-mata agar negaranya tidak dipandang sebelah mata, atau agar ditakuti negara-negara lain. dengan kata lain agar negaranya lebih “berwibawa”.
****
Sebenarnya, kejadian semacam itu telah lama dilakukan oleh kerajaan-kerajaan di tanah jawa pada tempo dulu. Sebut saja “Mataram-islam” umpamanya. Akan tetapi; tentu sangat berbeda dengan negara-negara masa-kini. Kerajaan-kerajaan ditanah jawa kebanyakan membentengi negaranya dengan cerita-cerita mitos.
Anda tentu pernah mendengar logenda “Nyi-roro Kidul”, cerita yang sangat menakutkan dan melogenda di masarakat jawa dan sekitarnya, yang penuh mistik dan sirik tentunya.
Sedemikian terkenalnya logenda tersebut hingga para masarakat umum sampai kinipun masih; melekat dan mempercayai keberadaan-nya. Sampai-sampai “konon” disekitar pantai jogja tak ada yang berani sembarangan berucap apalagi melanggar__dengan memakai pakaian warna tertentu yang disiriki.
Dalam cerita, dikisahkan; Nyi-roro Kidul adalah istri dari semua raja-raja yang hendak bertahta dan berkuasa di tanah jawa. Makanya ada cerita “pangeran Rangga” seorang putra mahkota yang hendak naik tahta di kemudian hari__menjadi gagal naik tahta, gara-gara melihat persetubuhan antara ayahnya yang Raja dengan Nyi-roro Kidul. karena dia melihat, (artinya ia tidak mungkin lagi memperistri bekas istri ayahnya atau secara tidak langsung dia sudah menjadi Anaknya Nyi-roro Kidul :red)
Sedangkan sarat sarat mutlak untuk menjadi raja mataram adalah: harus memperistri sang Ratu-selatan tersebut dan Pangeran Rangga sudah tidak mungkin, tidak mungkin anak memperistri ibu tirinya, maka dia tidak bisa naik tahta menjadi raja. Itu hanya sepenggal kisah dari banyak kisah yang lainnya.
Cerita atau logenda Nyi-roro Kidul ini bermula dari: ketika kerajaan pajang hendak melakukan agresi militer ke kerajaan Mataram. agresi yang di lakukan Sultan Hadi Wijoyo atau Si-karebet alias Joko Tingkir terhadap Negara yang di bangun Sutawijaya alias Senopati ing Alogo atau Panembahan Senopati yang tak lain adalah anak angkatnya sendiri. Dia “Sutawijaya” mendapat hadiah “hutan mentaok” karena keberhasilannya melakukan misi besar kerajaan pajang bersama ayahnya Membunuh Aryo-Penangsang (adipati demak bintoro). Akan tetapi, konon agresi yang dilakukan kerajaan pajang itu menemui kegagalan karena: ketika prajurit pajang sampai di kaki gunung merapi tiba-tiba gunung tersebut meletus mengeluarkan awan-panas dan konon, tentara pajang yang jumlahnya lebih besar dari mataram menemui kekalahan.
Disinilah cerita Nyi-roro Kidul mulai berhembus. Karena tentu sangat tidak mungkin gunung meletus secara tiba-tiba, sudah begitu__tentunya tidak secara kebetulan bukan? Jika meletus pas ketika para prajurit pajang tengah melintas di bawahnya. Maka para masarakat yang mendengar kisah ini akan menyimpulkan pasti ada faktor-X, faktor lain yang menyebabkan gunung itu meletus. Disinilah para penyimpul ditarik__dibawa oleh cerita tersebut. Cerita akan adanya kekuatan gaib yang membantu meledakkan gunung merapi tepat pada waktu itu.
Kisah ini jika kita selidik jelas sangat-sangat menuai banyak kebohongan. Dan sangat diada-adakan dengan tujuan agar Mataram “berwibawa” dan punya keangkeran tersendiri di mata kerajaan-kerajaan lain di tanah jawa.
Mengapa tersimpul bohong? Karena baik Sultan Hadi Wijaya ataupun Ki-Agung Pemanahan(ayah sutawijaya) adalah sama-sama murid Sunan Kali Jaga (dimana “sunan satu ini mahir sekali merangkai cerita mistis” atau bisa dikatakan “sastrawan mistis” yang tiada duanya) anda tentu pernah mendengar cerita kesaktian Wali-Songo yang konon lebih sakti dari para nabi bukan? Cerita bagaimana dengan tangan menjulur beliau dapat memegang kubah masjid demak dan baitull-haram waktu mencari arah kiblat masjid tersebut__tanpa menyadari bahwah bumi itu bulat, dan jika dapat memegang keduanya maka tubuhnya akan melengkung karena mengikuti kebulatan bentuk bumi.
Kedua sedang Suta Wijaya adalah anak angkat Sultan Hadi Wijaya dan anak kandung Ki-Pemanahan jadi sudah pasti tidak mungkin SHW menyerang mataram lagi pula tanah Mataram adalah hadiah darinya.
Ketiga umpama penyerangan betul telah dilakukan tentu kekalahan yang di sebabkan karena kecelakaan gunung merapi itu, pasti akan diulangi menyerang kembali.
Bukti-bukti diatas jelas menunjukkan bahwa kisah atau logenda tersebut tidak mengandung kebenaran adanya. Jika tidak ada kebenaran cerita dari keberadaan tokoh yang sebenarnya tentu ada maksud dibalik cerita tersebut. Yakni demi melindungi atau membentengi kerajaan mataram dari negara atau kerajaan lain yang hendak menguasai kerajaan itu.

Sejarah Tugu Yogyakarta

Tugu Yogya adalah salah satu bangunan peninggalan Sultan Hamengku Buwana I. Pembangunan Tugu tersebut dilakukan untuk memperingati rasa kebersamaan raja (pada waktu itu Pangeran Mangkubumui) dengan rakyat yang bersatu padu melawan Belanda sehingga Pangeran Mangkubumi mendapatkan tanah Mataram. Tugu tersebut dibangun setahun setelah Perjanjian Gianti. Ketinggian Tugu pada waktu dibangun pertama kali adalah 25 meter.
Posisi Tugu Yogya sekarang berada di tengah perempatan jalan besar yakni yang membujur ke utara adalah Jalan AM. Sangaji ke timur Jl. Jenderal Sudirman, ke selatan Jl. Pangeran Mangkubumi-Malioboro, ke barat Jl. Pangeran Dipanegara. Puncak tugu tersebut pada awalnya sebagai titik pandangan Sultan sewaktu menghadiri upacara Grebeg di Bangsal Manguntur, di Sitihinggil Lor.
Dalam bahasa Belanda Tugu Yogya ini lebih terkenal dengan sebutan white paal (tugu putih). Sedangkan masyarakat Yogyakarta generasi tua sering menyebutnya Tugu Pal Putih. Di samping itu, masyarakat Yogyakarta juga sering menyebutnya Tugu Golong Gilig. Hal itu tidak terlepas dari ciri-ciri fisik bangunan itu. Warna putih yang melingkupi seluruh tubuh tugu itu menjadikannya lebih terkenal dengan sebutan Tugu Pal Putih.
Sedangkan bentuknya yang memang gilig (bulat panjang) dengan puncak berbentuk bola, menyebabkanya disebut golong gilig. Di samping itu, golong gilig juga dimaksudkan sebagai simbol rasa kebersatuan antara rakyat dan raja dalam melawan Belanda. Golong gilig sering diartikan sebagai menyatu/berbulat niat, kehendak, dan tindakan.
Tugu Yogyakarta ini pada tanggal 10 Juni 1867 runtuh kira-kira sepertiganya akibat gempa yang melanda Yogyakarta waktu itu. Oleh penguasa Belanda tugu tersebut dirombak pada tahun 1889 sehingga mengalami perubahan bentuk seperti sekarang ini dan tingginya berubah menjadi hanya 15 meter.
Perombakan ini dilakukan Belanda dengan maksud agar tugu tersebut tidak lagi menjadi simbol atau monumen golong gililg antara rakyat dengan raja sehingga makna semula seperti ketika dibangun menjadi hilang.
Tugu Jaman Dahulu

Tugu Sekarang

Sejarah Malioboro Yogya

untuk sekedar menggugah memori lama yang pernah tinggal di jogja namun kini telah berpindah ruang hidupnya dan untuk yang belum ke jogja supaya bisa semakin tergiur untuk mampir di kota budaya ini tentu saja tak ketinggalan untuk mereka yang masih bertahan di jogja supaya bisa mengenal malioboro tidak hanya sebagai “pasar” cindramata tapi juga ada sejarah dan budaya serta keragaman di wilayah kraton ini.
malioboro dulu (tembi.org)
malioboro dulu (tembi.org)
jogja yang penuh misteri, jogja yang sepi. tak ada yang istimewa dari jogja kala itu selain satu-satunya wilayah yang bebas dari intervensi belanda, tentu ini bukan tanpa alasan karena sultan Hamangkubuwana 9 adalah teman sekolah Ratu belanda. bahkan beredar gosip kalau ratu belanda kepincut dengan sultan ke sembilan ini. tapi sebelum itu marilah arahkan pencarian sejarah kita pada Sultan Hamangkubuwana 1.  saat itu Hamangkubuwana 1 mengangkat kapiten seorang Cina, Tan Jin Sing, pada tahun 1755 dan memiliki nama jawa Setjodingrat dan tinggal di ndalem Setjodingratan. perlahan namun pasti sekitar kawasan Setjodiningrat menjadi semacam komples pecinan. ini bisa dilihat dari rumah-rumah toko yang menjual barang-barang kelontong, emas dan pakaian.
hal ini juga ditunjang karena tersingkirnya para pedagang tionghoa dari basis bisnis jogja kala itu di wilayah kotagede. bahkan menurut AntonDjkarta yang saya kutip dari blognya,
“Malioboro adalah kanal bisnis bagi kelompok Tionghoa yang dimasa lalu memiliki sejarah hubungan naik turun dengan kekuasaan Kesultanan Yogyakarta. Di Kotagede, kaum Tionghoa tidak diperbolehkan berdagang karena memang sudah ada mayoritas pebisnis pribumi seperti Kelompok Kalang dan Kelompok pedagan Muslim yang melingkar pada organisasi Muhammadijah. Di tengah kota kelompok Tionghoa ini menjadikan Malioboro sebagai daerah modal untuk mengembangkan bisnisnya. Perang Jawa tidak akan bisa lepas dari percaturan politik Tionghoa. Tokoh seperti Tumenggung Secodiningrat. Sejarah Secodiningrat adalah sejarah percampuran juga sejarah politik dan kebencian rasial. Politik Cinta-Benci yang selalu menandai sejarah kekuasaan Jawa-Mataram ini ternyata mendapatkan tempat dalam cerita jalan Malioboro. Di jaman Secodiningrat inilah jalan Malioboro menjadi saksi beberapa intrik keraton yang kemudian juga melibatkan ketidaksenangan Paku Alam terhadap peran Secodiningrat.”
sekitar tahun 1916 kawasan pecinan yang berkembang di wilayah setjodiningratan yaitu sebelah timur kantor pos besar, mulai menjadi basis bisnis menyaingi wilayah kotagede. apalagi setelah dibangun pasar gedhe yang sekarang bernama pasar bringharjo dan mulai beroprasi tahun 1926 geliat ekonomi di kawasan ini mulai beranjak naik. padahal sebelumnya jalan ini hanyalah jalan biasa yang jarang dijamah kecuali sebagai tempat lewat menuju keraton.
Kawasan Pecinan mulai meluas ke utara, sampai ke Stasiun Tugu yang dibangun pada 1887 dan Grand Hotel de Yogya (berdiri pada 1911, kini Hotel Garuda). Malioboro menjadi penghubung titik stasiun sampai Benteng Rusternburg (kini Vredeburg) dan Kraton. Rumah toko menjadi pemandangan lumrah di sepanjang jalan ini. Karena itu, secara kultural, ruang Malioboro merupakan gabungan dua kultur dominan, yakni Jawa dan Cina.
belanda di malioboro (tembi.org)
belanda di malioboro (tembi.org)
maliboro yang berarti jalan bunga (mungkin untuk menghubungkan dengan pasar kembang disebelah utara) sebelum menjadi pusat niaga hanyalah jalan luji kebon. perkembangan malioboro selain ditunjang oleh bakat bisnis orang-orang tionghhoa juga ditunjang oleh posisi yang stretegis dalm filosofi garis imajiner jogja. muncul dan berdirinya bangunan-bangunan strategis juga berperan pada perkembangan malioboro seperti pasar bringharjo, hotel grand jogja hingga stasiun tugu.
hingga kini malioboro menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah intrik kehidupan jogja (bisa di baca di tulisan sebelumnya). selain sejarah intrik dagang, malioboro adalah saksi bisu penangkapan soekarno sat agresi miiter 2 belanda, saksi pertempuran 6 jam. hingga kini di malioboro juga menjadi pusat dari pemerintahan jogja dengan berdirinya kantor-kantor pemerintahan.
budaya lesehan, kompasianer joga di titik nol KM (ujung malioboro)
tapi yang jarang terlintas dalam perkembangan sejarah jogja adalah dunia sastra. dari sinilah dunia sastra jogja mulai mengembangkan taring. dalam Antologi Puisi Indonesia di Yogyakarta 1945-2000 memberi judul “MALIOBORO” untuk buku tersebut, uku yang berisi 110 penyair yang tinggal dan pernah tinggal di yogyakarta selama kurun waktu lebih dari setengah abad.
selain itu malioboro memberi jejak tersendiri pada dunia sastra indonesia pada umumnya maupun jogja pada khususnya. kisah ini terlacak saat tahun 1970-an, Malioboro tumbuh menjadi pusat dinamika seni budaya di Yogya. Malioboro menjadi ‘panggung’ bagi para seniman ‘jalanan’, dengan pusatnya senisono. Mungkin kita masih ingat julukan Presiden Malioboro pada Umbu Landu Paranggi cucu raja sumba, yang melahirkan muid-murid berkaliber “monster” dalam dunia sastra (alm) Linus Suryadi dan Emha Ainun Najib serta korys layun rampan, hingga ratusan pemuja umbu dalam lingkaran komuniats PSK (persada studi klub) . Daya hidup seni jalanan ini akhirnya mandek pada 1990-an setelah gedung Senisono ditutup
budaya lesehan masih bertahan -kopdar canting (kompasianer jogja)-
Warisan ‘para seniman ini di Malioboro adalah ‘budaya lesehan’, yang lalu menjadi eksotisme dan merupakan daya jual kekhasan warung-warung di Malioboro. Dalam konteks budaya, bangunan-bangunan bergaya Indies Hindia Belanda, Jawa dan Cina di kawasan ini mungkin masih menjadi peninggalan yang berarti, di tengah munculnya sejumlah bangunan baru bergaya modern, seperti Mal Malioboro.
malioboro adalah Sebuah jalan pada satu kota adalah kumpulan kenangan yang tergabung secara kolektif bagi penghuninya, namun secara umum saya lebih menikmati titik nol KM jogja yang merupakan ujung selatan jaln malioboro, di situlah hingga kini “budaya  lesehan” para seniman masih terus berlanjut.

Sabda Tama Sultan Isyarat Yogyakarta Merdeka

Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo mengatakan Sabda Tama Sultan HB X merupakan kegemasan dari Sultan HB X terhadap pemerintah pusat terkait materi di RUU Keistimewaan DIY. "Ini isyarat kegemasan dari Sultan, karena pemerintah masih berpegang pada pemilihan dalam penentuan gubernur DIY," ujar Ganjar kepada wartawan di gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (14/5/2012).
Ganjar menyebutkan pembahasan RUUK DIY selama ini antara pemerintah dan DPR hanya berputar-putar pada masalah penetapan gubernur atau pemilihan. "Pidato Sultan sinyal, sebelum mereka mempunyai inspirasi yang tidak diinginkan," tambah Ganjar.
Politikus PDI Perjuangan ini menuturkan semakin lama pembahasan RUUK DIY, justru semakin mengubah konstalasi di parlemen. "Seperti PAN pasca-pilkada di Yogyalarta jadi berubah-ubah, padahal dulu posisi jelas, delapan fraksi mendukung penetapan melawan satu fraksi yang mendukung pemilihan. Sekarang petanya berubah," papar Ganjar.
Ganjar menuturkan seharusnya dalam persidangan saat ini RUUK DIY dapat disahkan oleh pemerintah dan DPR. Dia mengkhawatirkan semakin molor waktu pembahasan semakin aneh pikiran masyarakat. "Semakin molor waktu semakin aneh-aneh pikiran masyarakat," ingat Ganjar.
Dia menuturkan publik membaca DPR dan pemerintah memiliki niat atau tidak. Ganjar menyebutkan Yogyakarta melihat ini dipermainkan oleh Jakarta.
Sebagaimana dimaklumi, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan "Sabda Tama" secara mendadak. Sabda ini untuk menyikapi kedudukan Raja Kraton dan Adipati Pakualam dalam pemerintahan, serta menyikapi pengangkatan Angkling Kusumo sebagai Adi Pakualam baru.
"Saya Raja Mataram akan menyampaikan Sabda: Adapun Kraton Ngayogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman itu, dua-duanya menjadi satu. Mataram itu negara yang merdeka, yang memiliki aturan dan tata pemerintahan sendiri. Seperti yang dikehendaki dan diperkenankan, termasuk Mataram di dalam Nusantara, mendukung berdirinya negara, tetapi tetap memiliki aturan dan tata pemerintahan sendiri. Yang itu seperti diinginkan para Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alaman yang bertahta, ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur," kata Sultan.

Daftar Universitas/Sekolah Tinggi di Yogyakarta

Universitas

Institut

Sekolah Tinggi

Politeknik

Akademi

Lembaga Profesional

Yogyakarta, Jogja, Jogjakarta, atau Yogya?

Banyak orang menyebut Yogyakarta dengan nama berbeda-beda. Orang-orang tua menyebut Ngayogyakarta, orang-orang Jawa Timur dan Jawa Tengah menyebut Yogja atau Yojo. Disebut Jogja dalam slogan Jogja Never Ending Asia. Belakangan muncul sebutan baru, yaitu Djokdja. Sekilas memang membingungkan, namun menunjuk pada daerah yang sama. Lalu, bagaimana bisa kisahnya sampai nama kota ini bisa begitu bervariasi?
Paling tidak, ada 3 perkembangan yang bisa diuraikan. Nama Ngayogyakarta dipastikan muncul tahun 1755, ketika Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I mendirikan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kraton yang berdiri di Alas Bering itu merupakan wujud Perjanjian Giyanti yang dilakukan dengan Pakubuwono III dari Surakarta.
Tak jelas kapan mulai muncul penamaan Yogyakarta, apakah muncul karena pemenggalan dari nama Ngayogyakarta atau sebab lain. Namun, nama Yogyakarta secara resmi telah dipakai sejak awal kemerdekaan Indonesia. Ketika menjadi ibukota Indonesia pada tahun 1949, kota yang juga bergelar kota pelajar ini sudah disebut Yogyakarta. Sri sultan Hamengku Buwono IX juga menggunakan nama Yogyakarta ketika mengumumkan bahwa kerajaan ini merupakan bagian dari Republik Indonesia.
Berbagai penamaan muncul kemudian, seperti Yogja, Jogja, Jogya dan Yogya. Bisa dikatakan bahwa variasi nama itu muncul akibat pelafalan yang berbeda-beda antar orang dari berbagai daerah di Indonesia. Uniknya, hampir semua orang bisa memahami tempat yang ditunjuk meski cara pengucapannya berbeda.
Karena kepentingan bisnis, nama Jogja kemudian menguat dan digunakan dalam slogan Jogja Never Ending Asia. Slogan tersebut dibuat untuk membangun citra Yogyakarta sebagai kota wisata yang kaya akan pesona alam dan budaya. Alasan dipilih 'Jogja' adalah karena (diasumsikan) lebih mudah dilafalkan oleh banyak orang, termasuk para wisatawan asing. Sempat pula berbagai institusi mengganti Yogyakarta dengan Jogjakarta.
YogYES.COM memakai nama Djokdja dalam rubrik Tour de Djokdja. Nama itu bukanlah rekayasa, melainkan pernah digunakan pada masa kolonial Belanda. Terbukti, saat itu terdapat sebuah hotel yang bernama Grand Hotel de Djokdja di ujung utara jalan Malioboro. Kini, hotel itu masih tetap berdiri namun berganti nama menjadi Inna Garuda. Nama 'Djokdja' dipilih untuk memberi kesan kuno dan mengajak para pembaca bernostaligia.
Dengan berbagai lafal dan cara penulisannya, bisa dikatakan Yogyakarta merupakan daerah yang paling banyak memiliki variasi nama. Jakarta hanya memiliki satu (Jayakarta), sementara Bali tidak memilikinya sama sekali. Kota wisata lain di dunia seperti Bangkok, Singapura, Cartagena, Venesia bahkan tak terdengar memiliki nama-nama variasi. Kota-kota metropolitan seperti New York, Los Angeles, dan London juga tidak mempunyai.
Kini anda tak perlu bingung lagi jika kebetulan ada orang yang menuliskan kota Yogyakarta seperti caranya melafalkan. Jika mencari tahu tentang seluk beluk kota ini di internet, nama Yogyakarta merupakan yang paling tepat sebab merupakan nama yang paling umum digunakan dalam bahasa tulisan. Alternatif lainnya, anda bisa menggunakan nama Jogja, nama kedua yang paling sering digunakan.

Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat

Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat

Nagari Kasultanan Ngayogyakarta[1]
Radyalaksana The Emblem of Surakarta Kingdom.svg 1755–1950 Lambang Pakualaman.png

Jogjakarta Special Autonomous Region Flag01.png
Praja Cihna, Lambang Kesultanan Yogyakarta Kesultanan Yogyakarta
Praja Cihna, Lambang Kesultanan Yogyakarta
Lokasi Kesultanan Yogyakarta
Wilayah Yogyakarta pada 1830 (warna hijau)
Ibu kota Kota Yogyakarta
Bahasa Jawa 1755-1950, Belanda 1755-1811; 1816-1942, Inggris 1811-1816, Jepang 1942-1945, Indonesia 1945-1950
Agama Islam, Kejawen
Pemerintahan Monarki (kesultanan)
Sultan
 - Pertama (1755-1792) ISKS Hamengku Buwono I
 - Sultan terakhir sebelum penurunan status negara (1940-1950; wafat 1988) ISKS Hamengku Buwono IX
 - Sekarang (sejak 1989) ISKS Hamengku Buwono X
Pepatih Dalem (Menteri Pertama)
 - Pertama (1755-1799) Danurejo I
 - Terakhir (1933-1945) Danurejo VIII
Sejarah
 - Pembentukan: Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755
 - Penurunan status: Pengundangan UU No. 3 Tahun 1950 4 Maret 1950
---
Status Politik:
  • De facto merdeka (1755-1830)
  • De jure negara dependen dari VOC (1755-1799)
  • De jure negara dependen dari Republik Bataav/Franco Nederland (1800-1811)
  • De jure negara dependen dari EIC (Inggris) (1811-1816)
  • De jure negara dependen dari Nederlands Indie (1816-1830)
  • Negara dependen dari Nederlands Indie (1830-1842)
  • Negara dependen dari Kekaisaran Jepang (1942-1945)
  • Negara dependen/daerah istimewa dari Republik Indonesia dengan bentuk monarki persatuan berparlemen (1945-1950)
  • Status negara diturunkan secara resmi menjadi status daerah istimewa setingkat dengan provinsi (1950)
    ---
    Lain-Lain
  • Hymne Sultan : Gending Monggang
  • Sebagian wilayah didirikan Negara Kepangeranan Pakualaman pada 1813
Pagelaran Kraton Yogyakarta
Sri Sultan Hamengkubuwono X
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah negara dependen yang berbentuk kerajaan. Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh negara induk Kerajaan Belanda bersama-sama negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta. Kontrak politik terakhir antara negara induk dengan kesultanan adalah Perjanjian Politik 1940 Wikisource-logo.svg (Staatsblad 1941, No. 47). Sebagai konsekuensi dari bentuk negara kesatuan yang dipilih oleh Republik Indonesia sebagai negara induk, maka pada tahun 1950 status negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman) diturunkan menjadi daerah istimewa setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.

Daftar isi

Awal riwayat

Nama Yogyakarta adalah perubahan bentuk dari Yodyakarta. Yodyakarta berasal dari kata Ayodya dan Karta. Ayodya diambil dari nama kerajaan dalam kisah Ramayana, sementara karta berarti ramai.
Dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) antara Pangeran Mangkubumi dan VOC di bawah Gubernur-Jendral Jacob Mossel, maka Kerajaan Mataram dibagi dua. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I dan berkuasa atas setengah daerah Kerajaan Mataram. Sementara itu Sunan Paku Buwono III tetap berkuasa atas setengah daerah lainnya dengan nama baru Kasunanan Surakarta dan daerah pesisir tetap dikuasai VOC.
Sultan Hamengkubuwana I kemudian segera membuat ibukota kerajaan beserta istananya yang baru dengan membuka daerah baru (jawa: babat alas) di Hutan Paberingan yang terletak antara aliran Sungai Winongo dan Sungai Code. Ibukota berikut istananya tersebut tersebut dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat dan landscape utama berhasil diselesaikan pada tanggal 7 Oktober 1756. Para penggantinya tetap mempertahankan gelar yang digunakan, Hamengku Buwono. Untuk membedakan antara sultan yang sedang bertahta dengan pendahulunya, secara umum, digunakan frasa " ingkang jumeneng kaping .... ing Ngayogyakarto " (Indonesia: "yang bertahta ke .... di Yogyakarta"). Selain itu ada beberapa nama khusus antara lain Sultan Sepuh (Sultan yang Tua) untuk Hamengku Buwono II.

Wilayah dan penduduk

Wilayah

Mengikuti kerajaan Mataram, wilayah Kesultanan Yogyakarta pada mulanya dibagi menjadi beberapa lapisan yaitu Nagari Ngayogyakarta (wilayah ibukota), Nagara Agung (wilayah utama), dan Manca Nagara (wilayah luar). Keseluruhan wilayah Nagari Ngayogyakarta dan wilayah Nagara Agung memiliki luas 53.000 karya (sekitar 309,864500 km persegi), dan keseluruhan wilayah Manca Nagara memiliki luas 33.950 karya (sekitar 198,488675 km persegi). Selain itu, masih terdapat tambahan wilayah dari Danurejo I di Banyumas, seluas 1.600 karya (sekitar 9,3544 km persegi).
  • Nagari Ngayogyakarta meliputi:
    (1) Kota tua Yogyakarta (di antara Sungai Code dan Sungai Winongo), dan
    (2) Daerah sekitarnya dengan batas Masjid Pathok Negara.
  • Nagara Agung meliputi:
    (1) Daerah Siti Ageng Mlaya Kusuma (wilayah Siti Ageng [suatu wilayah di antara Pajang dengan Demak] bagian timur yang tidak jelas batasnya dengan wilayah Kesunanan),
    (2) Daerah Siti Bumijo (wilayah Kedu dari Sungai Progo sampai Gunung Merbabu),
    (3) Daerah Siti Numbak Anyar (wilayah Bagelen antara Sungai Bagawanta dan Sungai Progo),
    (4) Daerah Siti Panekar (wilayah Pajang bagian timur, dari Sungai Samin ke selatan sampai Gunungkidul, ke timur sampai Kaduwang), dan
    (5) Daerah Siti Gadhing Mataram (wilayah Mataram Ngayogyakarta [suatu wilayah di antara Gunung Merapi dengan Samudera Hindia]).
Pembagian Mataram dan Manca Nagara pada tahun 1757.
  • Manca Nagara meliputi:
    (1) Wilayah Madiun yang terdiri dari daerah-daerah:
    (a) Madiun Kota,
    (b) Magetan,
    (c) Caruban, dan
    (d) Setengah Pacitan;
    (2) Wilayah Kediri yang meliputi daerah-daerah:
    (a) Kertosono,
    (b) Kalangbret, dan
    (c) Ngrowo (Tulung Agung);
    (3) Wilayah Surabaya yang meliputi daerah Japan (Mojokerto);
    (4) Wilayah Rembang yang meliputi daerah-daerah:
    (a) Jipang (Ngawen) dan
    (b) Teras Karas (Ngawen);
    (5) Wilayah Semarang yang meliputi daerah-daerah:
    (a) Selo atau Seselo (makam nenek moyang raja Mataram),
    (b) Warung (Kuwu-Wirosari), dan
    (c) Sebagian Grobogan.
Wilayah-wilayah Kesultanan tersebut bukan sebuah wilayah yang utuh, namun terdapat banyak enklave maupun eksklave wilayah Kesunanan dan Mangku Negaran. Wilayah-wilayah tersebut merupakan hasil dari Perjanjian Palihan Nagari yang ditandatangani di Giyanti. Perjanjian itu juga disebut Perjanjian Giyanti.
Dalam perjalanan waktu wilayah tersebut berkurang akibat perampasan oleh Daendels dan Raffles. Setelah Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintah Hindia Belanda akhirnya merampas seluruh wilayah Manca Nagara. Pada tahun itu pula ditandatangani Perjanjian Klaten pada 27 September 1830 yang menegaskan wilayah dan batas-batas Kasultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta. Wilayah Kasultanan Yogyakarta hanya meliputi Mataram dan Gunungkidul dengan luas 2.902,54 km persegi. Di wilayah tersebut terdapat enklave Surakarta (Kotagede dan Imogiri), Mangku Negaran (Ngawen), dan Paku Alaman (Kabupaten Kota Paku Alaman).

Penduduk

Potret putra dan putri bangsawan Kesultanan Yogyakarta (1870).
Pembagian wilayah menurut Perjanjian Palihan Nagari juga diikuti dengan pembagian pegawai kerajaan (abdi Dalem) dan rakyat (kawula Dalem) yang menggunakan atau memakai wilayah tersebut. Hal ini tidak terlepas dari sistem pemakaian tanah pada waktu itu yang menggunakan sistem lungguh (tanah jabatan). Diperkirakan penduduk kesultanan pada waktu perjanjian berjumlah 522.300 jiwa, dengan asumsi tanah satu karya dikerjakan oleh satu keluarga dengan anggota enam orang. Pada 1930 penduduk meningkat menjadi 1.447.022 jiwa.
Dalam strata sosial, penduduk dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu bangsawan (bandara), pegawai (abdi Dalem) dan rakyat jelata (kawula Dalem). Sultan yang merupakan anggota lapisan bangsawan menempati urutan puncak dalam sistem sosial. Anggota lapisan bangsawan ini memiliki hubungan kekerabatan dengan Sultan yang pernah atau sedang memerintah. Namun hanya bangsawan keturunan 1-4 (anak, cucu, anak dari cucu, dan cucu dari cucu) dari Sultan yang termasuk Keluarga Kerajaan dalam artian mereka memiliki kedudukan dan peran dalam upacara kerajaan.
Lapisan pegawai mendasarkan kedudukan mereka dari surat keputusan yang dikeluarkan oleh Sultan. Lapisan ini dibedakan menjadi tiga yaitu pegawai Keraton, pegawai Kepatihan, Kabupaten, dan Kapanewon, serta pegawai yang diperbantukan pada pemerintah penjajahan. Lapisan rakyat jelata dibedakan atas penduduk asli dan pendatang dari luar. Selain itu terdapat juga orang-orang asing maupun keturunannya yang bukan warga negara Kasultanan Yogyakarta yang berdiam di wilayah kesultanan.

Pemerintahan dan politik

Koridor di depan Gedhong Jene dan Gedhong Purworetno. Dari bangunan yang disebut terakhir ini Sultan mengendalikan seluruh kerajaan.
Pemerintahan Kasultanan Yogyakarta mulanya diselenggarakan dengan menggunakan susunan pemerintahan warisan dari Mataram. Pemerintahan dibedakan menjadi dua urusan besar yaitu Parentah Lebet (urusan dalam) yang juga disebut Parentah Ageng Karaton, dan Parentah Jawi (urusan luar) yang juga disebut Parentah Nagari. Sultan memegang seluruh kekuasaan pemerintahan negara. Dalam menjalankan kewajibannya sehari-hari Sultan dibantu lembaga Pepatih Dalem yang bersifat personal.[2]
Pada mulanya pemerintahan urusan dalam dan urusan luar masing-masing dibagi menjadi empat kementerian yang dinamakan Kanayakan. Kementerian urusan dalam adalah:
(1) Kanayakan Keparak Kiwo, dan
(2) Kanayakan Keparak Tengen,
yang keduanya mengurusi bangunan dan pekerjaan umum;
(3) Kanayakan Gedhong Kiwo, dan
(4) Kanayakan Gedhong Tengen,
yang keduanya mengurusi penghasilan dan keuangan.
Kementerian urusan luar adalah
(5) Kanayakan Siti Sewu, dan
(6) Kanayakan Bumijo,
yang keduanya mengurusi tanah dan pemerintahan;
(7) Kanayakan Panumping, dan
(8) Kanayakan Numbak Anyar,
yang keduanya mengurusi pertahanan.
Masing masing kementerian dipimpin oleh Bupati Nayaka yang karena jabatannya juga merupakan komandan militer yang memimpin pasukan kerajaan dalam peperangan.
Untuk menangani urusan agama Sultan membentuk sebuah badan khusus yang disebut dengan Kawedanan Pengulon. Badan ini mengurus masalah peribadatan, perawatan masjid-masjid kerajaan, dan upacara-upacara keagamaan istana, serta urusan peradilan kerajaan dalam lingkungan peradilan syariat Islam. Urusan regional di luar ibukota dibagi menjadi beberapa daerah administratif yang dikepalai oleh pejabat senior dengan pangkat Bupati. Mereka dikoordinasi oleh Pepatih Dalem. Tugas-tugasnya meliputi pengelolaan administrasi lokal, hukum dan peradilan, pemungutan pajak dan pengiriman hasil panenan melalui bawahannya, Demang, dan Bekel.
L. F. Dingemans, residen Belanda di Yogyakarta (1926)
Setidaknya sampai 1792 Kasultanan Yogyakarta secara de facto merupakan negara merdeka dan VOC hanyalah mitra yang sejajar. Untuk menjamin posisinya maka VOC menempatkan seorang Residen di Yogyakarta untuk mengawasi Kesultanan. Kedudukan Residen ini mulanya berada di bawah Sultan dan sejajar dengan Pepatih Dalem. Daendels menaikkan kedudukan Residen menjadi Minister, yang merupakan menteri Raja/Ratu Belanda dan mewakili kehadiran Gubernur Jenderal.
Dengan kedatangan Raffles sistem pemerintahan berubah lagi. Sultan tidak diperbolehkan mengadakan hubungan dengan negara lain sebab kedaulatan berada ditangan pemerintah Inggris. Begitu pula dengan Pepatih Dalem, Pengurus Kerajaan (Rijkbestuurder), diangkat dan diberhentikan berdasar kebutuhan pemerintah Inggris dan dalam menjalankan pekerjaannya harus sepengetahuan dan dengan pertimbangan Residen Inggris. Sultan mulai dibebaskan dari pemerintahan sehari-hari yang dipimpin oleh Pepatih Dalem yang dikontrol oleh Residen.
Selepas Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintahan Nagari yang berada di tangan Pepatih Dalem dikontrol secara ketat sekali oleh Belanda untuk mencegah terjadinya pemberontakan. Kasultanan Yogyakarta secara de facto dan de jure menjadi negara protektorat dari Koninkrijk der Nederlanden, dengan status zelfbestuurende landschappen. Selain itu pemerintah Hindia Belanda selalu mengajukan perjanjian politik yang dinamakan kontrak politik bagi calon Sultan yang akan ditahtakan. Perjanjian ini diberlakukan terhadap Sultan Hamengkubuwana V - Sultan Hamengkubuwana IX. Kontrak politik terakhir dibuat pada 18 Maret 1940 antara Gubernur Hindia Belanda untuk Daerah Yogyakarta, L. Adam dengan HB IX.
Pada 1900-an Belanda mencampuri birokrasi pemerintahan Kesultanan secara intensif dengan maksud memasukkan birokrasi barat modern. Untuk membiayai birokrasi tersebut maka pada 1915 APBN Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua yaitu APBN untuk Parentah Ageng Karaton dan APBN untuk Parentah Nagari yang berada dalam kontrol Hindia Belanda. Untuk belanja dan mengurus keperluan istana, setiap tahun Sultan mendapat uang ganti rugi yang disebut Daftar Sipil yang ditentukan dalam kontrak politik yang dibuat sebelum Sultan ditahtakan. Dengan demikian Sultan benar benar tersingkir dari pemerintahan Nagari dan hanya berperan di istana saja.
Perubahan besar dalam pemerintahan terjadi pada saat Sultan Hamengkubuwono IX (HB IX) naik tahta pada tahun 1940, khususnya selama pendudukan Jepang (1942-1945). Secara perlahan namun pasti, Sultan melakukan restorasi (bandingkan dengan restorasi Meiji). Sultan membentuk badan-badan pemerintahan baru untuk menampung urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Tentara Pendudukan Jepang. Badan tersebut dinamakan Paniradya yang masing-masing dikepalai oleh Paniradyapati. Paniradyapati tidak lagi berada di bawah kekuasaan Pepatih Dalem melainkan langsung berada di bawah kekuasaan Sultan. Dengan perlahan namun pasti Sultan memulihkan kembali kekuasaannya selaku kepala pemerintahan.
Alun-alun Lor, saksi bisu kemegahan sebuah pemerintahan negara
Pada pertengahan 15 Juli 1945, Pepatih Dalem terakhir, KPHH Danurejo VIII, mengundurkan diri karena memasuki usia pensiun. Sejak saat itu Sultan tidak menujuk lagi Pepatih Dalem sebagai penggantinya melainkan mengambil alih kembali kekuasaan pemerintahan negara. Sebagai kelanjutannya birokrasi kesultanan dibedakan menjadi dua bagian yaitu urusan dalam istana (Imperial House) dan urusan luar istana. Urusan dalam istana ditangani oleh Parentah Ageng Karaton yang mengkoordinasikan seluruh badan maupun kantor pemerintahan yang berada di istana yang terdiri dari beberapa badan atau kantor Semuanya di pimpin dan diatur secara langsung oleh saudara atau putera Sultan.
Sultan meminpin sendiri lembaga luar istana, yang terdiri dari beberapa Paniradya yang dipimpin oleh Bupati. Daerah di sekitar istana dibagi menjadi lima kabupaten yang administrasi lokalnya dipimpin oleh Bupati. Setelah kemerdekaan, sebagai konsekuensi integrasi Kesultanan pada Republik, status dan posisi serta administrasi Kesultanan dijalankan berdasar peraturan Indonesia. Kesultanan diubah menjadi daerah administrasi khusus dan Sultan menjadi Kepala Daerah Istimewa. Kesultanan menjadi bagian dari republik modern.

Hukum dan peradilan

Dalam sistem peradilan kerajaan, kekuasaan kehakiman tertinggi berada di tangan Sultan. Dalam kekuasaan kehakiman Kesultanan Yogyakarta terdapat empat macam badan peradilan yaitu Pengadilan Pradoto, Pengadilan Bale Mangu, Al Mahkamah Al Kabirah, dan Pengadilan Darah Dalem.
Perubahan bidang kehakiman mendasar terjadi pada 1831 ketika pemerintah Hindia Belanda setahap demi setahap mencampuri dan mengambil alih kekuasaan kehakiman dari pemerintahan Kasultanan Yogyakarta. Mulai dari penunjukkan Residen Kerajaan Hindia Belanda untuk Kasultanan Yogyakarta sebagai ketua Pengadilan Pradoto sampai dengan pembentukan pengadilan Gubernemen (Landraad) di Yogyakarta. Akhirnya Pengadilan Pradoto dan Bale Mangu dihapuskan masing-masing pada 1916 dan 1917 serta kewenangannya dilimpahkan pada Landraad Yogyakarta. Setelah Kasultanan Yogyakarta menyatakan sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia maka sistem peradilan yang digunakan adalah sistem peradilan nasional. Pengadilan yang digunakan adalah Pengadilan Negeri sebagai ganti dari Landraad Yogyakarta. Pada 1947 Pemerintah Pusat Indonesia menghapuskan pengadilan kerajaan yang terakhir, Pengadilan Darah Dalem.
Dalam sistem hukum kerajaan pernah digunakan sebuah Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Kesultanan yang disebut dengan nama Kitab Angger-angger yang disusun bersama oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada 1817. KUH ini terdiri dari lima/enam buku (volume) yaitu Angger Aru-biru, Angger Sadoso, Angger Gunung, Angger Nawolo Pradoto Dalem, Angger Pradoto Akhir (khusus Yogyakarta), dan Angger Ageng. Seiring dengan berdirinya Landraad Yogyakarta maka KUH pun diganti dengan KUH Belanda seperti Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Strafrecht.

Ekonomi dan agraria

Sumber ekonomi utama yang tersedia bagi Kesultanan Yogyakarta adalah tanah, hutan kayu keras, perkebunan, pajak, dan uang sewa. Oleh karena itu sistem ekonomi tidak bisa lepas dari sistem agraria. Sultan menguasai seluruh tanah di Kesultanan Yogyakarta. Dalam birokrasi kerajaan, pertanahan diurus oleh Kementerian Pertanahan, Kanayakan Siti Sewu. Urusan tanah di Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua bentuk yaitu tanah yang diberikan Sultan kepada anggota keluarga kerajaan dan tanah yang diberikan kepada pegawai kerajaan. Tanah tersebut berlokasi teritori Nagara Agung, khususnya daerah Mataram, dan disebut sebagai tanah lungguh (apanage land/tanah jabatan). Tanah yang berada dalam pemeliharaan para keluarga kerajaan dan pegawai kerajaan tersebut juga digunakan oleh masyarakat umum sebagai tempat tinggal dan pertanian dari generasi ke generasi. Sebagai imbalannya mereka menyetor sebagian hasil panen sebagai bentuk pajak. Sekalipun kaum ningrat dan rakyat umum memiliki kebebasan dalam mengatur, mengolah, dan mendiami tanah tersebut mereka tidak diijinkan untuk menjualnya.
Selain itu kerajaan juga menerima penerimaan yang besar dari penebangan hutan kayu keras dalam skala besar sejak Sultan HB I. Pada 1821 pemerintahan Hindia Belanda memperoleh hak atas hasil penebangan dari hutan kayu keras dan istana bertanggung jawab atas manajemen dan eksploitasinya. Pada 1848 sebuah peraturan mengharuskan Sultan memenuhi kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan dan dalam ganti rugi Sultan memperoleh biaya penebangan dan pengangkutan kayu. Pada 1904 masa pemerintahan HB VII, manajemen hutan kayu keras di Gunung Kidul diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebagai kompensasi atas persetujuan itu istana memperoleh kayu keras gratis untuk konstruksi istana Ambar Rukmo dan Ambar Winangun.
Perkebunan yang dikembangkan di Yogyakarta, terutama setelah 1830, adalah kopi, tebu, nila, dan tembakau. Kebanyakan perkebunan ditangani oleh perkebunan swasta asing. Jumlah perkebunan yang semula ada 20 buah pada tahun 1839 meningkat menjadi 53 pada tahun 1880, seiring pertumbuhan ekonomi, sistem penyewaan tanah, dan pembangunan infrastruktur.
Restrukturisasi di zaman HB IX karena dihadapkan pada beban ekonomi dan sumber yang terbatas. Pada 1942, Sultan tidak melaporkan secara akurat jumlah produksi beras, ternak, dan produk lain untuk melindungi rakyat dari Jepang. Sultan juga membangun kanal guna meningkatkan produksi beras dan untuk mencegah rakyat Yogyakarta dijadikan romusha oleh Jepang.

Kebudayaan, pendidikan, dan kepercayaan

Gerbang Danapratapa, Keraton Yogyakarta, antara seni, filsafat, kosmologi, kebiasaan umum (adat istiadat), sistem kepercayaan, pandangan hidup, dan pendidikan yang tak terpisahkan dalam kebudayaan Jawa.
Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, kebudayaan di Kesultanan Yogyakarta tidak begitu memiliki batas yang tegas antar aspeknya. Kebiasaan umum (adat istiadat), kepercayaan, seni, pandangan hidup, pendidikan, dan sebagainya saling tumpang tindih, bercampur dan hanya membentuk suatu gradasi yang kabur. Sebagai contoh seni arsitektur bangunan keraton tidak lepas dari konsep “Raja Gung Binathara” (raja yang agung yang dihormati bagaikan dewa) yang merupakan pandangan hidup masyarakat yang juga menjadi bagian dari sistem kepercayaan (penghormatan kepada dewa/tuhan).
Beberapa tarian tertentu, misalnya Bedaya Ketawang, selain dianggap sebagai seni pertunjukan juga bersifat sakral sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur pendiri kerajaan dan penguasa alam. Begitu pula benda-benda tertentu dianggap memiliki kekuatan magis dan berkaitan dengan dunia roh dalam pandangan hidup masyarakat. Oleh karenanya dalam pergaulan sehari-haripun ada pantangan yang bila dilanggar akan menimbulkan kutuk tertentu bagi pelakunya. Ini pula yang menimbulkan tata kebiasaan yang diberlakukan dengan ketat.
Kebudayaan tersebut diwariskan dari generasi ke generasi berdasar cerita dari mulut ke mulut. Pelajaran tentang kehidupan disampaikan melalui cerita-cerita wayang yang pada akhirnya menumbuhkan kesenian pertunjukkan wayang kulit maupun wayang jenis lain. Selain itu wejangan dan nasihat tentang pandangan hidup dan sistem kepercayaan juga ditransmisikan dalam bentuk tembang (lagu) maupun bentuk sastra lainnya. Semua hal itu tidak lepas dari sistem bahasa yang digunakan dan membuatnya berkembang. Dalam masyarakat dipakai tiga jenjang bahasa yaitu Ngoko (bahasa Jawa rendah), Krama Andhap (bahasa Jawa tengah), dan Krama Inggil (bahasa Jawa tinggi). Aturan pemakaian bahasa tersebut sangat rumit, namun tercermin budaya penghormatan dan saling menghargai. Ada satu lagi bahasa yang khusus dan hanya digunakan di lingkungan istana yang disebut dengan Bagongan yang lebih mencerminkan pandangan hidup kesetaraan kedudukan di antara pemakainya.
Para penari tarian Beksan Entheng, sekitar tahun 1870.
Perkembangan budaya sebagaimana dijelaskan di awal tidak lepas pula dari sistem pendidikan. Pada mulanya sistem pendidikan yang digunakan meneruskan sistem yang digunakan zaman Mataram. Pendidikan formal hanya dapat dinikmati oleh keluarga kerajaan. Pendidikan itu meliputi pendidikan agama dan sastra. Pendidikan agama diselenggarakan oleh Kawedanan Pengulon. Pendidikan ini berlokasi di kompleks masjid raya kerajaan. Pendidikan sastra diselenggarakan oleh Tepas Kapunjanggan. Kedua pendidikan ini satu sistem dan tidak terpisah. Para siswa diberi pelajaran agama, bahasa Jawa, budaya, dan literatur (serat dan babad).
Pendidikan barat baru diperkenalkan oleh pemerintah penjajahan pada awal abad 20. Pada pemerintahan Sultan HB VIII sistem pedidikan dibuka. Mula-mula sekolah dasar dibuka di Tamanan dan kemudian dipindahkan di Keputran. Sekolah ini masih ada hingga sekarang dalam bentuk SD N Keputran. Pendidikan lanjut memanfaatkan pendidikan yang dibuka oleh pemerintah penjajahan seperti HIS, Mulo, dan AMS B. Pada 1946, kesultanan ikut serta dalam mendirikan Balai Perguruan Kebangsaan Gajah Mada yang pada 1949 dijadikan UGM.
Sebagai sebuah Kesultanan, Islam merupakan kepercayaan resmi kerajaan. Sultan memegang kekuasaan tertinggi dalam bidang kepercayaan dengan gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah. Walaupun demikian kepercayaan-kepercayaan lokal (baca kejawen) masih tetap dianut rakyat disamping mereka menyatakan diri sebagai orang Islam. Berbagai ritus kepercayaan lokal masih dijalankan namun doa-doa yang dipanjatkan diganti dengan menggunakan bahasa Arab. Hal ini menujukkan sebuah kepercayaan baru yang merupakan sinkretis antara kepercayaan Islam dan kepercayaan lokal. Gerakan puritan untuk membersihkan Islam dari pengaruh kepercayaan lokal dan westernisasi baru muncul pada 1912 dari kalangan Imam Kerajaan. Pada perkembangan selanjutnya kawasan Kauman Yogyakarta yang menjadi tempat tinggal para Imam Kerajaan menjadi pusat gerakan puritan itu.

Pertahanan dan keamanan

Pada mulanya sistem birokrasi pemerintahan menganut sistem militer sebagaimana kerajaan Mataram. Seorang pegawai pemerintah juga merupakan seorang serdadu militer. Begitu pula para pimpinan kabinet kerajaan karena jabatannya merupakan komandan militer, bahkan kalau perlu mereka harus ikut bertempur membela kerajaan. Walaupun begitu untuk urusan pertahanan terdapat tentara kerajaan yang dikenal dengan abdi Dalem Prajurit. Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya terdiri dari angkatan darat saja yang dikelompokkan menjadi sekitar 26 kesatuan. Selain itu terdapat pula paramiliter yang berasal dari rakyat biasa maupun dari pengawal para penguasa di Manca Nagara.
Pada paruh kedua abad 18 sampai awal abad 19 tentara kerajaan di Yogyakarta merupakan kekuatan yang patut diperhitungkan. Walaupun Sultan merupakan panglima tertinggi namun dalam keseharian hanya sebagian saja yang berada di dalam pengawasan langsung oleh Sultan. Sebagian yang lain berada di dalam pengawasan Putra mahkota dan para pangeran serta pejabat senior yang memimpin kementerian/kantor pemerintahan. Kekuatan pertahanan menyurut sejak dimakzulkannya HB II oleh Daendels pada 1810 dan ditanda tanganinya perjanjian antara HB III dengan Raffles pada 1812. Perjanjian itu mencantumkan Sultan harus melakukan demiliterisasi birokrasi kesultanan. Sultan, pangeran, dan penguasa daerah tidak boleh memiliki tentara kecuali dengan izin pemerintah Inggris dan itupun hanya untuk menjaga keselamatan pribadi sang pejabat.
Kekuatan pertahanan benar-benar lumpuh setelah selesainya perang Diponegoro pada tahun 1830. Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya menjadi pengawal pribadi Sultan, Putra Mahkota, dan Pepatih Dalem. Jumlahnya sangat dibatasi dan persenjataannya tidak lebih dari senjata tajam dan beberapa pucuk senapan tua. Pertahanan menjadi tanggung jawab pemerintah Hindia Belanda. Sebagai pengganti kekuatan militer yang dikebiri Kesultanan Yogyakarta dapat membentuk polisi untuk menjaga keamanan warganya. Pada 1942, untuk mengindari keterlibatan kesultanan dalam perang pasifik Sultan membubarkan tentara kesultanan. Keputusan ini kemudian dikukuhkan dalam perintah Pemerintah Militer Angkatan Darat XVI Jepang pada bulan Agustus 1942. Dengan demikian kesultanan tidak memiliki lagi kekuatan militer.

Akhir riwayat

Hamengku Buwono IX
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengirim kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah Paku Alaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu, mewujudkan sebuah Daerah Istimewa Yogyakarta yang bersifat kerajaan. Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII kemudian menjadi Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Pada tahun 1950 secara resmi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini, bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi sebagai bagian Negara Kesatuan Indonesia. Dengan demikian status Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai sebuah negara (state) berakhir dan menjelma menjadi pemerintahan daerah berotonomi khusus. Sedangkan institusi istana kemudian dipisahkan dari "negara" dan diteruskan oleh Keraton Kasultanan Yogyakarta.

Daftar sultan Yogyakarata

Keraton Yogyakarta

Pendapa Museum Hamengku Buwono IX di Keraton Yogyakarta.
Istana atau Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dirancang sendiri oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I saat mendirikan Kasultanan. Keahliannya dalam bidang arsitektur antara lain dihargai oleh Dr. Pigeund dan Dr. Adam, yaitu para peneliti berkebangsaan Belanda. Bagian-bagian keraton adalah
(1) Kompleks Alun-alun Lor yang terdiri dari sub kompleks: Gladhak-Pangurakan, Alun-alun Lor, Mesjid Ageng, dan Pagelaran;
(2) Kompleks Siti Hinggil Lor;
(3) Kompleks Kamandhungan Lor;
(4) Kompleks Sri Manganti;
(5) Kompleks Kedhaton yang terdiri dari sub kompleks: Pelataran Kedhaton, Ksatriyan, Keputren, dan Kraton Kilen;
(6) Kompleks Kamagangan;
(7) Kompleks Kamandhungan Kidul;
(8) Kompleks Siti Hinggil Kidul; dan
(9) Kompleks Alun-alun Kidul dan Nirbaya.
Keraton Yogyakarta Ngayogyakarta Hadiningrat selain merupakan kediaman resmi Sultan, saat ini juga berfungsi sebagai salah satu cagar budaya masyarakat Jawa. Sebagai pusat budaya, keraton sering melaksanakan kegiatan-kegiatan budaya dan merupakan salah satu tujuan pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta, yang sering didatangi para wisatawan dalam dan luar negeri.

Peristiwa penting

Abad ke-18

  • 1749, 12 Desember, Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja Mataram oleh pengikutnya dan para bangsawan senior dari Surakarta dengan gelar Susuhunan Paku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama.
  • 1750, RM Said (MN I) yang telah menjadi perdana menteri P Mangkubumi menggempur Surakarta.
  • 1752, Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
  • 1754, Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.
  • 1755, 13 Februari, Perjanjian Palihan Nagari di desa Giyanti. P Mangkubumi mengambil gelar baru: Sampeyan Ingkang Ndalem Sinuwun Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Yudonegoro, Gubernur Banyumas, menjadi Pepatih Dalem Danurejo I.
  • 1756, 7 Oktober, Sultan HB I menempati istana barunya yang diberi nama Ngayogyakarta.
  • 1773, Angger Aru-biru yang menjadi acuan dalam peradilan yang pertama disahkan.
  • 1774, Putra mahkota (kelak HB II) menulis buku Serat Raja Surya yang kemudian menjadi pusaka.
  • 1785, Perbentengan besar bergaya di sekeliling istana dibangun secara mendadak dan diselesikan dalam 2 tahun.
  • 1792, HB I wafat. Sultan HB II berusaha mengabaikan control VOC.
  • 1799, Danurejo I wafat dan diganti cucunya dengan gelar Danurejo II.

Abad ke-19

  • 1808, 28 Juli, Daendels mengeluarkan peraturan baru tentang penggantian residen dengan minister dan perubahan kedudukannya yang sejajar dengan Sultan dan Sunan.
  • 1810, Awal prahara politik Yogyakarta yang akan berlangsung sampai 1830. HB II menolak mentah-mentah kebijakan Daendels mengenai perubahan kedudukan minister. Danurejo II dipecat dan digantikan oleh Notodiningrat (PA II). Atas tekanan Daendels Danurejo II mendapatkan kembali kedudukannya. 31 Desember Daendels memberhentikan HB II dengan kekuatan militer dan mengangkat putra mahkota menjadi HB III serta merampas kekayaan istana.
  • 1811, Daendels menghapus uang sewa pesisir yang menjadi pemasukan keuangan negara. September/Oktober, HB II merebut kembali tahtanya. HB III dikembalikan dalam posisi putra mahkota. Oktober Danurejo II dibunuh di istana. Sindunegoro (Danurejo III) menjadi Pepatih Dalem.
  • 1812, 18 Juli-20 Juli, Kolonel Gillespie memimpin pasukan Inggris menyerang Yogyakarta. HB II dimakzulkan dan dibuang ke Penang (wilayah Malaysia sekarang). 1 Agustus, HB III menandatangani perubahan pemerintahan dan demiliterisasi birokrasi kerajaan.
  • 1813, 13 Maret, Notokusumo diangkat menjadi Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam yang mengepalai sebuah principality yang terlepas dari Yogyakarta. Sindunegoro diganti oleh Bupati Jipan yang bergelar Danurejo IV.
  • 1814, Sultan HB III wafat, putra mahkota yang masih berusia 9/10 tahun diangkat menjadi HB IV. PA I yang tidak disukai oleh istana ditunjuk Inggris menjadi wali sampai 1821.
  • 1816, Inggris menyerahkan kembali daerah jajahan kepada Hindia Belanda.
  • 1817, 6 Oktober Kitab Angger-angger sebagai Kitab Undang-undang Hukum (KUH) ditetapkan bersama Yogyakarta dan Surakarta.
  • 1823, HB IV dibunuh oleh seorang agen Belanda. Putra mahkota yang masih berusia 3(4) diangkat menjadi HB V. Sebuah dewan perwalian yang terdiri atas Ibu Suri, Nenek Suri, P. Mangkubumi, P Diponegoro dan Danurejo IV dibentuk.
  • 1825, Belanda menyerang kediaman P Diponegoro mengawali perang Jawa 1825-1830. Banyak bangsawan Yogyakarta mendukung P Diponegoro.
  • 1826, HB II dipulangkan dari Ambon untuk meredakan perang namun tidak membawa hasil.
  • 1828, HB II wafat, HB V kembali diangkat di bawah dewan perwalian baru.
Kasultanan pada tahun 1830 (berwarna hijau dan berada di sebelah selatan)
  • 1830, Akhir perang Diponegoro. Seluruh Mancanegara Yogyakarta dirampas Belanda sebagai pertanggungjawaban atas meletusnya perang. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta. 24 Oktober, HB V meratifikasi Perjanjian Klaten.
  • 1831, 11 Juni Perubahan struktur peradilan Kesultanan Yogyakarta.
  • 1848, Peraturan yang mengharuskan Sultan memenuhi kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan di tetapkan.
  • 1855, HB V wafat. Adiknya diangkat menjadi HB VI.
  • 1868, Gempa besar menghancurkan bangunan penting.
  • 1877, HB VI wafat digantikan putranya HB VII.
  • 1883, Seorang pangeran dari Yogyakarta berupaya memberontak dan gagal.

Abad ke-20

  • 1904, Hindia Belanda mengambil alih penguasaan dan pengelolaan atas hutan di wilayah Kesultanan.
  • 1908, 20 Mei, Budi Utomo didirikan oleh Mas Ngabehi Wahidin Sudirohusodo, seorang pegawai kesehatan.
  • 1912, 18 November, Muhammadiyah didirikan oleh Mas Ketib Amin Haji Ahmad Dahlan, seorang Imam Kerajaan.
  • 1915, APBN Kesultanan Yogyakarta mulai dipisah menjadi dua APBN.
  • 1916, Pengadilan Bale Mangu dihapus oleh Hindia Belanda.
  • 1917, Pengadilan Pradoto dihapus oleh Hindia Belanda.
  • 1918, Perubahan hak atas tanah di wilayah Kesultanan.
  • 1921, Sultan HB VIII bertahta. Kesultanan Yogyakarta memiliki dua APBN.
  • 1922, Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara, seorang kerabat Paku Alaman.
  • 1933, 30 November, Danurejo VIII dilantik menggantikan Danurejo VII.
  • 1940, 18 Maret, Sultan HB IX menandatangani Kontrak Politik terakhir dengan Hindia Belanda.
  • 1942, Maret, Jepang datang. 1 Agustus, Sultan HB IX diangkat menjadi Koo atas Yogyakarta Kooti.
  • 1943, Sultan membentuk Paniradya untuk mengurangi kekuasaan Pepatih Dalem.
Peta tahun 1945
  • 1945, 15 Juli, Danurejo VIII diberhetikan karena pensiun. 1 Agustus, Restorasi HB IX. 5 September, Kesultanan Yogyakarta berintegrasi dengan Indonesia. 30 Oktober, HB IX dan PA VIII menyerahkan kekuasaan legeslatif kepada BP KNID Yogyakarta.
  • 1946, 4 Januari, kedudukan Pemerintah Indonesia dipindah ke Yogyakarta atas jaminan kesultanan. 18 Mei, Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Kesultanan dan Paku Alaman.
  • 1947, Pengadilan Darah Dalem dihapus oleh Pemerintah Indonesia.
  • 1950, 4 Maret, Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi, dan mulai berlaku pada 15 Agustus.
  • 1965, 1 September, Daerah Istimewa Yogyakarta dijadikan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
  • 1988, Sultan HB IX wafat.

Glossarium

  • ISKS: Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan.
  • Karaton: Istana, tempat kedudukan Parentah Lebet dan tempat tinggal raja dan keluarganya.
  • Koo: Penguasa atas daerah dengan status Kooti
  • Kooti: Daerah yang memiliki pemerintahan sendiri yang tunduk kepada Kekaisaran Jepang.
  • Kutagara: lihat Nagari
  • Kuta nagara: lihat Nagari
  • Manca nagara: Teritori/negara asing yang ditaklukkan oleh raja dan menjadi wilayah kerajaan paling luar yang diperintah oleh para bupati (Gubernur) yang ditunjuk oleh raja atau mantan penguasa daerah yang telah tunduk.
  • Nagara Agung: Teritori yang mengelilingi teritori Nagari, tempat tanah lungguh pejabat kerajaan.
  • Nagari: Teritori ibukota, tempat kedudukan Parentah Jawi dan tempat kediaman para pangeran dan pejabat tinggi kerajaan.
  • Parentah Ageng Karaton: Pemerintahan Istana (Imperial House) yang bertugas mengkoordianasikan semua bagian pemerintahan dalam istana.
  • Parentah Jawi: Pemerintahan yang berpusat di nagari (teritori ibukota) dan dikepalai oleh Pepatih Dalem.
  • Parentah Lebet: Pemerintahan yang berpusat di karaton (istana) dan dikepalai oleh saudara atau putra Sultan. Lihat Parentah Ageng Karaton.
  • Parentah Nagari: lihat Parentah Jawi.
  • Pepatih Dalem: Perdana menteri, orang kedua setelah Sultan dan Residen/Gubernur Hindia Belanda, bertugas mengurus pemerintahan khususnya Parentah Jawi/Nagari.
  • Pepatih Jawi: Pembantu Sultan untuk mengurus rakyat, mengurus Parentah Nagari, mengurus teritori Manca nagara, dan menjalin hubungan dengan pemerintah Hindia Belanda. Dalam perkembangannya disebut dengan Pepatih Dalem.
  • Pepatih Lebet: Pembantu Sultan untuk mengurus keluarga kerajaan dan Parentah Lebet. Dalam perkembangannya jabatan ini dihapus; sebagian kewenangannya diambil oleh Pepatih Dalem dan sebagian lain diserahkan pada saudara atau putra Sultan.
  • Tanah Lungguh: Tanah Jabatan (Appenage Land), tanah yang hasilnya digunakan oleh pejabat sebagai ganti dari gaji bulanan.