Yang dimaksud orang Jawa oleh
Magnis-Suseno adalah orang yang bahasa ibunya bahasa Jawa dan merupakan
penduduk asli bagian tengah da timur pulau Jawa.
Berdasarkan golongan sosial, menurut sosiolog
Koentjaraningrat, orang Jawa diklasifikasi menjadi 2 (dua) yaitu:
1. Wong cilik (orang kecil) terdiri dari petani
dan mereka yang berpendapatan rendah.
2. Kaum Priyayi terdiri dari pegawai dan
orang-orang intelektual
3. Kaum Ningrat gaya hidupnya tidak jauh dari kaum
priyayi
Selain dibedakan golongan sosial, orang Jawa juga
dibedakan atas dasar keagamaan dalam dua kelompok yaitu:
1. Jawa Kejawen yang sering disebut abangan yang
dalam kesadaran dan cara hidupnya ditentukan oleh tradisi Jawa pra-Islam. Kaum
priyayi tradisional hampir seluruhnya dianggap Jawa Kejawen, walaupun mereka
secara resmi mengaku Islam
2. Santri yang memahami dirinya sebagai Islam
atau orientasinya yang kuat terhadap agama Islam dan berusaha untuk hidup
menurut ajaran Islam
Alam pikiran dan pandangan hidup orang Jawa
Orang Jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam
semesta dan pusat segala kehidupan karena sebelumnya semuanya terjadi di dunia
ini Tuhanlah yang pertama kali ada. Pusat yang dimakusd disini dalam pengertian
ini adalah yang dapat memebrikan penghidupan, kesimbangan, dan kestabilan, yang
dapat juga memberi kehidupan dan penghubung dengan dunia atas. Pandangan orang
Jawa yang
demikian biasa disebut Kawula lan Gusti, yaitu
pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah mencapai
harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir itulah manusia
menyerahkan diri secara total selaku kawula (hamba)terhadap
Gustinya(SangPencipta).
Sebagian besar orang Jawa termasuk dalam golongan
bukan muslim santri yaitu yang mencampurkan beberapa konsep dan cara berpikir
Islam dengan pandangan asli mengenai alam kodrati dan alam adikodrati.
Pandangan hidup merupakan suatu abstraksi dari
pengalaman hidup. Pandangan hidup adalah sebuah pengaturan mental dari
pengalaman hidup yang kemudian dapat mengembangkan suatu sikap terhadap hidup.
Ciri pandangan hidup orang Jawa adalah realitas
yang mengarah kepada pembentukan kesatuan numinus antara alam nyata,
masyarakat, dan alam adikodrati yang dianggap keramat. Orang Jawa bahwa
kehidupan mereka telah ada garisnya, mereka hanya menjalankan saja.
Dasar kepercayaan Jawa atau Javanisme adalah
keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada didunia ini pada hakekatnya adalah satu
atau merupakan kesatuan hidup. Javanisme memandang kehidupan manusia selalu terpaut
erat dalam kosmos alam raya. Dengan demikian kehidupan manusia merupakan suatu
perjalanan yang penuh dengan pengalaman-pengalaman yang religius.
Alam pikiran orang Jawa merumuskan kehidupan
manusia berada dalam dua kosmos (alam) yaitu makrokosmos dan mikrokosmos.
Makrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup terhadap
alam semesta yang mengandung kekuatan supranatural da penuh dengan hal-hal yang
bersifat misterius. Sedangkan mikrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap
dan pandangan hidup terhadap dunia nyata. Tujuan utama dalam hidup adalah
mencari serta menciptakan keselarasan atau keseimbangan antara kehidupan
makrokosmos dan mikrokosmos.
Dalam makrokosmos pusat alam semesta adalah
Tuhan. Alam semesta memiliki hirarki yang ditujukan dengan adanya jenjang alam
kehidupan orang Jawa dan adanya tingkatan dunia yang semakin sempurna (dunia
atas-dunia manusia-dunia bawah). Alam semesta terdiri dari empat arah utama
ditambah satu pusat yaitu Tuhan yang mempersatukan dan memberi keseimbangan.
Sikap dan pandangan tehadap dunia nyata
(mikrokosmos) adalah tercermin pada kehidupan manusia dengan lingkungannya,
susunan manusia dalam masyarakat, tata kehidupan manusia sehari-hari dan segala
sesuatu yang nampak oleh mata. Dalam mengahdapi kehidupan manusia yang baik dan
benar didunia ini tergantung pada kekuatan batin dan jiwanya.
Bagi orang Jawa, pusat di dunia ada pada raja dan
karaton, Tuhan adalah pusat makrokosmos sedangkan raja adalah perwujudan Tuhan
di dunia sehingga dalam
dirinya terdapat keseimbangan berbagai kekuatan
alam. Jadi raja adalah pusat komunitas di dunia seperti halnya raja menjadi
mikrokosmos dari Tuhan dengan karaton sebagai kediaman raja . karaton merupakan
pusat keramat kerajaan dan bersemayamnya raja karena raja merupakan sumber
kekuatan-kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah dan membawa ketentraman,
keadilan dan kesuburan
Kegiatan religius orang Jawa Kejawen
Menurut kamus bahasa Inggris istilah kejawen
adalah Javanism, Javaneseness; yang merupakan suatu cap deskriptif bagi
unsur-unsur kebudayaan Jawa yang dianggap sebagai hakikat Jawa dan yang
mendefinisikannya sebagai suatu kategori khas. Javanisme yaitu agama besarta
pandangan hidup orang. Javanisme yaitu agama besarta pandangan hidup orang Jawa
yang menekankan ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap nrima
terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah
masyarakat dan masyarakat dibawah semesta alam.
Kemungkinan unsur-unsur ini berasal dari masa
Hindu-Budha dalam sejarah Jawa yang berbaur dalam suatu filsafat, yaitu sistem
khusus dari dasar bagi perilaku kehidupan. Sistem pemikiran Javanisme adalah
lengkap pada dirinya, yang berisikan kosmologi, mitologi, seperangkat konsepsi
yang pada hakikatnya bersifat mistik dan sebagainya yang anthropologi Jawa
tersendiri, yaitu suatu sistem gagasan mengenai sifat dasar manusia dan
masyarakat yang pada gilirannya menerangkan etika, tradisi, dan gaya Jawa.
Singkatnya Javanisme memberikan suatu alam pemikiran secara umum sebagai suatu
badan pengetahuan yang menyeluruh, yang dipergunakan untuk menafsirkan
kehidupan sebagimana adanya dan rupanya. Jadi kejawen bukanlah suatu kategori
keagamaan, tetapi menunjukkan kepada suatu etika dan gaya hidup yang diilhami
oleh cara berpikir Javanisme.
Sebagian besar dari masyarakat Jawa adalah Jawa
Kejawen atau Islam abangan, dalam hal ini mereka tidak menjalani
kewajiban-kewajiban agama Islam secara utuh misalnya tidak melakukan sembayang
lima waktu, tidak ke mesjid dan ada juga yang tidak berpuasa di saat bulan
Ramadhan. Dasar pandangan mereka adalah pendapat bahwa tatanan alam dan
masyarakat sudah ditentukan dalam segala seginya. Mereka menganggap bahwa pokok
kehidupan dan status dirinya sudah ditetapkan, nasibnya sudah ditentukan
sebelumnya jadi mereka harus menaggung kesulitanhidupnya dengan sabar.
Anggapan-anggapan mereka itu berhubungan erat dengan kepercayaan mereka pada
bimbingan adikodrati dan bantuan dari roh nenek moyang yang seperti Tuhan
sehingga menimbulkan perasaan keagamaan dan rasa aman
Kejawen dapat diungkapkan dengan baik oleh mereka
yang mengerti tentang rahasia kebudayaan Jawa, dan bahwa kejawen ini sering
sekali diwakili yang paling baik oleh golongan elite priyayi lama dan
keturunan-keturunannya yang menegaskan adalah bahwa kesadaran akan budaya
sendiri merupakan gejala yang tersebar luas dikalangan orang Jawa. Kesadaran
akan budaya ini sering kali menjadi
sumber kebanggaan dan identitas kultural.
Orang-orang inilah yang memelihara warisan budaya Jawa sevara mendalam sebagai
kejawen.
Pemahan orang Jawa Kejawen ditentukan oleh
kepercayaan mereka pada pelbagai macam roh-roh yang tidak kelihatan yang dapat
menimbulkan bahaya seperti kecelakaan atau penyakit apabila mereka dibuat marah
atau penganutnya tidak hati-hati. Untuk melindungi semuanya itu, orang Jawa
kejawen memberi sesajen atau caos dahar yang dipercaya dapat mengelakkan
kejadian-kejadian yang tidak diinginkan dan mempertahankan batin dalam keadaan
tenang. Sesajen yang digunakan biasanya terdiri dari nasi dan aneka makanan lain,
daun-daun bunga serta kemenyan.
Contoh kegiatan religius dalam masyarakat Jawa,
khususnya orang Jawa Kejawen adalah puasa atau siam. Orang Jawa Kejawen
mempunyai kebiasaan berpuasa pada hari-hari tertentu misalnya Senin-Kamis atau
pada hari lahir, semuanya itu merupakan asal mula dari tirakat. Dengan tirakat
orang dapat menjadi lebih kuat rohaninya dan kelak akan mendapat manfaat. Orang
Jawa kejawen menganggap bertapa adalah suatu hal yang cukup penting. Dalam
kesusastraan kuno orang Jawa, orang yang berabad-abad bertapa dianggap sebagai
orang keramat karena dengan bertapa orang dapat menjalankan kehidupan yang
ketat ini dengan disiplin tinggi serta mampu manahan hawa nafsu sehingga
tujuan-tujuan yang penting dapat tercapai. Kegiatan orang Jawa kejawen yang
lainnya adalah meditasi atau semedi. Menurut Koentjaraningrat, meditasi atau
semedi biasanya dilakukan bersama-sama dengan tapabrata (bertapa) dan dilakukan
pada tempat-tempat yang dianggap keramat misalnya di gunung, makam keramat,
ruang yang dikeramatkan dan sebagainya. Pada umumnya orang melakukan meditasi
adalah untuk mendekatkan atau menyatukan diri dengan Tuhan.
Spiritualitas Jawa
Sejak jaman awal kehidupan Jawa (masa pra
Hindu-Buddha), masyarakat Jawa telah memiliki sikap spiritual tersendiri. Telah
disepakati di kalangan sejarawan bahwa, pada jaman jawa kuno, masyarakat Jawa
menganut kepercayaan animisme-dinamisme. Yang terjadi sebenarnya adalah:
masyarakat Jawa saat itu telah memiliki kepercayaan akan adanya kekuatan yang
bersifat: tak terlihat (gaib), besar, dan menakjubkan. Mereka menaruh harapan
agar mendapat perlindungan, dan juga berharap agar tidak diganggu kekuatan gaib
lain yang jahat (roh-roh jahat) (Alisyahbana, 1977).
Hindu dan Buddha masuk ke pulau Jawa dengan
membawa konsep baru tentang kekuatan-kekuatan gaib. Kerajaan-kerajaan yang
berdiri memunculkan figur raja-raja yang dipercaya sebagai dewa atau titisan
dewa. Maka berkembanglah budaya untuk patuh pada raja, karena raja diposisikan
sebagai ‘imam’ yang berperan sebagai pembawa esensi kedewataan di dunia (Simuh,
1999). Selain itu berkembang pula sarana komunikasi langsung dengan Tuhan (Sang
Pemilik Kekuatan), yaitu dengan laku spiritual khusus seperti semedi, tapa, dan
pasa (berpuasa).
Jaman kerajaan Jawa-Islam membawa pengaruh besar
pada masyarakat, dengan dimulainya proses peralihan keyakinan dari Hindu-Buddha
ke Islam. Anggapan bahwa raja adalah ‘Imam’ dan agama ageming aji-lah yang
turut menyebabkan beralihnya agama masyarakat karena beralihnya agama raja,
disamping peran aktif para ulama masa itu. Para penyebar Islam –para wali dan
guru-guru tarekat- memperkenalkan Islam yang bercorak tasawuf. Pandangan hidup
masyarakat Jawa sebelumnya yang bersifat mistik (mysticism) dapat sejalan,
untuk kemudian mengakui Islam-tasawuf sebagai keyakinan mereka.
Spiritual Islam Jawa, yaitu dengan warna tasawuf
(Islam sufi), berkembang juga karena peran sastrawan Jawa yang telah beragama
Islam. Ciri pelaksanaan tasawuf yang menekankan pada berbagai latihan
spiritual, seperti dzikir dan puasa, berulang kali disampaikan dalam
karya-karya sastra. Petikan serat Wedhatama karya K.G.A.A. Mangku Negara IV:
Ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase lawan
kas, tegese kas nyamkosani. Setya budya pangekese dur angkara (Pupuh Pucung,
bait I)
Artinya:
Ngelmu (ilmu) itu hanya dapat dicapai dengan laku
(mujahadah), dimulai dengan niat yang teguh, arti kas menjadikan sentosa. Iman
yang teguh untuk mengatasi segala godaan rintangan dan kejahatan.(Mengadeg,
1975).
Di sini ngelmu lebih dekat dengan ajaran tasawuf,
yaitu ilmu hakikat / ilmu batin, karena dijalani dengan mujahadah / laku
spiritual yang berat (Simuh, 1999). Dalam masyarakat Jawa, laku spiritual yang
sering dilakukan adalah dengan tapa, yang hampir selalu dibarengi dengan pasa
(berpuasa).
Puasa dalam Masyarakat Jawa
Pada saat ini terdapat bermacam-macam jenis puasa
dalam masyarakat Jawa. Ada yang sejalan dengan fiqih Islam, namun banyak juga
yang merupakan ajaran guru-guru kebatinan ataupun warisan jaman Hindu-Buddha.
Kata pasa (puasa) hampir dapat dipertukarkan dengan kata tapa (bertapa), karena
pelaksanaan tapa (hampir) selalu dibarengi pasa.
Di antara macam-macam tapa / pasa, beberapa
dituliskan di bawah ini:
Jenis:
Metode:
pasa di bulan pasa (ramadhan)
sama dengan puasa wajib dalam bulan ramadhan.
Sebelumnya, akhir bulan ruwah (sya’ban ) dilakukan mandi suci dengan mencuci
rambut
tapa mutih (a)
hanya makan nasi selama 7 hari berturut-turut
tapa mutih (b)
berpantang makan garam, selama 3 hari atau 7 hari
tapa ngrawat
hanya makan sayur selama 7 hari 7 malam
tapa pati geni
berpantang makan makanan yang dimasak memakai api
(geni) selama sehari-semalam
tapa ngebleng
tidak makan dan tidak tidur selama 3 hari 3 malam
tapa ngrame
siap berkorban /menolong siapa saja dan kapan
saja
tapa ngéli
menghanyutkan diri di air (éli = hanyut)
tapa mendem
menyembunyikan diri (mendem)
tapa kungkum
menenggelamkan diri dalam air
tapa nggantung
menggantung di pohon
dan masih banyak lagi jenis lainnya seperti tapa
ngidang, tapa brata, dll.
Untuk memahami makna puasa menurut budaya Jawa,
perlu diingat beberapa hal. Pertama, dalam menjalani laku spiritual puasa, tata
caranya berdasarkan panduan guru-guru kebatinan, ataupun lahir dari hasil
penemuan sendiri para pelakunya. Sedangkan untuk mengetahui sumber panduan
guru-guru kebatinan, kita harus melacak tata cara keyakinan pra Islam-Jawa.
Kedua, ritual puasa ini sendiri bernuansa tasawuf / mistik. Sehingga
penjelasannya pun memakai sudut pandang mistis dengan mengutamakan rasa dan
mengesampingkan akal / nalar. Ketiga, dalam budaya mistik Jawa terdapat etika
guruisme, di mana murid melakukan taklid buta pada Sang Guru tanpa menonjolkan
kebebasan untuk bertanya. Oleh karena itu, interpretasi laku spiritual puasa
dalam budaya Jawa tidak dilakukan secara khusus terhadap satu jenis puasa,
melainkan secara umum
Sebagai penutup, dapatlah kiranya dituliskan
interpretasi laku spiritual puasa dalam budaya Jawa yaitu:
1. Puasa sebagai simbol keprihatinan dan praktek
asketik.
Ciri laku spiritual tapa dan pasa adalah
menikmati yang tidak enak dan tidak menikmati yang enak, gembira dalam
keprihatinan. Diharapkan setelah menjalani laku ini, tidak akan mudah tergoda
dengan daya tarik dunia dan terbentuk pandangan spiritual yang transenden.
Sehingga dapat juga dikatakan bahwa pasa bertujuan untuk penyucian batin dan
mencapai kesempurnaan ruh.
2. Puasa sebagai sarana penguatan batin
Dalam hal ini pasa dan tapa merupakan bentuk
latihan untuk menguatkan batin. Batin akan menjadi kuat setelah adanya
pengekangan nafsu dunia secara konsisten dan terarah. Tujuannya adalah untuk
mendapat kesaktian, mampu berkomunikasi dengan yang gaib-gaib: Tuhan ataupun
makhluk halus.
Interperetasi pertama dan kedua di atas acapkali
berada dalam satu pemaknaan saja. Hal ini karena pandangan mistik yang
menjiwainya, dan berlaku umum dalam dunia tasawuf. Dikatakan oleh Sayyid Husein
Nasr, ”Jalan mistik sebagaimana lahir dalam bentuk tasawuf adalah salah satu
jalan di mana manusia berusaha mematikan hawa nafsunya di dalam rangka supaya
lahir kembali di dalam Ilahi dan oleh karenanya mengalami persatuan dengan Yang
Benar” (Nasr, 2000)
3. Puasa sebagai ibadah.
Bagi orang Jawa yang menjalankan syariat Islam.
puasa seperti ini dijalankan dalam hukum-hukum fiqihnya. Islam yang disadari
adalah Islam dalam bentuk syariat, dan kebanyakan hidup di daerah santri dan
kauman.
Orang Jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam
semesta dan pusat segala kehidupan karena sebelum semuanya terjadi di dunia ini
Tuhanlah yang pertama kali ada. Tuhan tidak hanya menciptakan alam semesta
beserta isinya tetapi juga bertindak sebagai pengatur, karena segala sesuatunya
bergerak menurut rencana
dan atas ijin serta kehendakNYA. Pusat yang
dimaksud dalam pengertian ini adalah sumber yang dapat memberikan penghidupan,
keseimbangan dan kestabilan, yang dapat juga memberi kehidupan dan penghubung
individu dengan dunia atas. Pandangan orang Jawa yang demikian biasa disebut
Manunggaling Kawula Lan Gusti,
yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban
moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada
kesatuan terakhir, yaitu manusia menyerahkan dirinya selaku kawula terhadap
Gustinya. Puncak gunung dalam kebudayaan Jawa dianggap suatu tempat yang tinggi
dan paling dekat dengan dunia diatas, karena pada awalnya dipercayai bahwa roh
nenek moyang tinggal di gunung-gunung.
Sebagian besar orang Jawa termasuk dalam golongan
yang telah berusaha mencampurkan beberapa konsep dan cara berpikir islam,
dengan pandangan asli mengenai alam kodrati ( dunia ini ) dan alam adikodrati (
alam gaib atau supranatural )
Ciri pandangan hidup orang Jawa adalah realitas
yang mengarah kepada pembentukan kesatuan Numinus antara alam nyata, masyarakat
dan alam adikodrati yang dianggap keramat. Alam adalah ungkapan kekuasaan yang
menentukan kehidupan. Orang Jawa percaya bahwa kehidupan mereka telah ada
garisnya, mereka hanya menjalankan saja.
Dasar kepercayaan Jawa atau Javanisme adalah
keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada didunia ini pada hakekatnya adalah
satu, atau merupakan kesatuan hidup. Javanisme memandang kehidupan manusia
selalu terpaut erat dalam kosmos alam raya. Dengan demikian kehidupan manusia
merupakan suatu perjalanan yang penuh dengan pengalaman-pengalaman yang
religius.
Alam pikiran orang Jawa merumuskan kehidupan
manusia berada dalam dua kosmos ( alam ) yaitu makrokosmos dan mikrokosmos.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar