Sendang Agung adalah sebuah desa yang terletak di wilayah Kecamatan Minggir,
Sleman. Di desa ini, terdapat sebuah upacara adat yang memusatkan "pemujaan" kepada
tokoh Ki Ageng Tunggul Wulung, yang dipercayai sebagai leluhur dari Kerajaan Majapahit.
Upacara adat tersebut dikenal dengan nama upacara Tunggul Wulung atau Bersih Desa
Sendang Agung yang penyelenggaraannya, selain pemujaan kepada leluhur, terkait
juga dengan keberhasilan panen raya penduduk setempat.
Upacara adat Bersih Desa ini secara umum memang untuk meminta keselamatan dan
kesejahteraan kepada Yang Maha Agung. Namun dalam kenyataannya, masyarakat masih
kuat mempercayai "kekuatan gaib", termasuk arwah nenek moyang atau leluhur. Masyarakat
akan merasa tenang setelah melakukan upacara adat tersebut karena dengan demikian
mereka akan memperoleh keselamatan dan "kekuatan" yang dianggap melebihi kekuatan
diri sendiri. Yang penting adalah bahwa masyarakat harus mengadakan upacara walaupun
hanya sederhana, sebab kalau sampai tidak menjalani upacara orang akan merasa
khawatir atas keselamatannya.
Tujuan lain yang umum dikenal dan dilakukan oleh masyarakat Desa Sendang Agung
adalah, sebagai berikut:
- Terpadunya rasa keutuhan dan persatuan warga,
- Kebersihan lingkungan dapat terjamin,
- Kondisi desa dan masyarakat diberikan ketentraman lahir batin,
- Terhindar dan bencana alam, dan
- Terhindar dari serangan hama, sehingga dapat diberikan hasil yang berlimpah.
Tujuan-tujuan tersebut diperoleh secara turun-temurun dari nenek moyang mereka.
Penyebaran di antara masyarakat sendiri berlangsung secara gethok tular (dari mulut ke mulut). Berkaitan dengan waktu pelaksanaan, bulannya dapat ditentukan
sendiri, hanya saja harinya ditetapkan pada hari Jumat Pon yang dipercaya sebagai
hari yang dikeramatkan oleh Ki Ageng Tunggul Wulung. Selain itu, panen rendhengan (musim penghujan) ikut menentukan waktu pelaksanaan upacara. Sebagai pelengkap
unsur upacara adat, diadakan tarian tradisional Tayub dan minuman arak.
Upacara adat Tunggul Wulung atau Bersih Desa Sendang Agung ini dimulai dari zaman
kehancuran Kerajaan Majapahit dan mulai masuknya Islam di Nusantara. Banyak kerabat
atau punggawa kerajaan yang tidak menerima kehadiran Islam, karena telah menganut
Hindu. Saat itu di pulau Jawa telah muncul kerajaan Islam, yaitu Demak yang dipimpin
oleh Sultan Trenggono dengan penasehat para Wali Sanga. Kerajaan Majapahit yang
dipimpin oleh Prabu Brawijaya sedang mengalami kemunduran dan kesempatan itu digunakan
untuk memasukkan ajaran Islam di Majapahit dengan jalan menjodohkan putri Brawijaya
dengan putra Demak, yaitu Adipati Terung.
Kemudian periode penyebaran Islam di Majapahit dimulai. Banyak kerabat dan punggawa
kerajaan Majapahit yang meninggalkan kerajaan termasuk Ki Ageng Tunggul Wulung.
Ki Ageng Tunggul Wulung pergi dari Majapahit dengan tujuh pengawal termasuk istrinya,
yaitu Raden Ayu Gadhung Mlati, tidak ketinggalan Raden Sutejo dan Raden Purworejo
yang bersifat kajiman (tidak kasat mata) yang selalu menyertai perjalanan Ki Ageng Tunggul Wulung.
Di samping itu, perjalanan Ki Ageng Tunggul Wulung juga disertai oleh abdi dalem
kinasih yang bernama Nyai Dakiyah.
Perjalanan Ki Ageng Tunggul Wulung menuju ke Barat dan tiba di Dusun Beji (Diro)
di mana kemudian ia membuat pesanggrahan (kraton kecil) yang masih dapat ditemukan sisa-sisa peninggalan berupa patung
pepethan lembu Andhini dan sapi Gumarang. Pada suatu malam Jumat Pon, Ki Ageng Tunggul
Wulung memohon petunjuk kepada Yang Maha Agung di bawah pohon Timoho di dekat
Sungai Progo. Ki Ageng Tunggul Wulung serta istri dan tujuh orang pengawalnya
serta Nyai Dakiyah akhirnya mokswa (musnah atau hilang beserta raganya atau hilang tanpa bekas), demikian pula
binatang peliharaan Ki Ageng, yaitu burung perkutut, burung gemak, macan gembong,
macan kumbang, macan putih, nogo ijo, nogo ireng, dan ayam jago "wiring kuning".
Tempat mokswa Ki Ageng Tunggul Wulung tersebut kemudian dibuatkan nisan seperti layaknya makam,
dan diyakini masyarakat banyak sebagai tempat yang keramat atau wingit (memiliki daya magis), sehingga banyak orang yang berziarah di "makam" ini.
Tradisi tayuban di wilayah ini dimulai dari seorang ledhek (penari perempuan)
yang mencari penglaris agar bila menari ledhek tersebut mendapatkan banyak rezeki.
Kemudian ledhek tersebut tirakat (laku prihatin) di kompiek makam Ki Ageng Tunggul Wulung, tetapi kemudian hilang
tidak diketahui rimbanya. Masyarakat menyakini bahwa ledhek yang menghilang disukai
oleh Ki Ageng Tunggul Wulung.
Pada perkembangan selanjutnya setiap Upacara Bersih Desa diadakan kenduri selamatan
baik di makam maupun di rumah Juru Kunci yang kemudian dilanjutkan dengan tayuban
dengan diiringi gendhing "Sekar Gadhung" dan sang ledhek menari tanpa diibing,
karena menurut keyakinan yang ngibing adalah Ki Ageng Tunggul Wulung.
Upacara adat Tunggul Wulung atau Bersih Desa Sendang Agung dilaksanakan di lokasi
"makam" Ki Ageng Tunggul Wulung, yaitu di Dusun Dukuhan XIII, Desa Sendang Agung,
Kecamatan Minggir, Sleman. Selain itu, juga diadakan upacara di rumah Juru Kunci
"makam" tersebut. Dalam kaitannya dengan prosesi upacara adat, sebenarnya ada
juga tempat lain yang dapat disebutkan, yaitu Dusun Dero (Desa Sendang Agung,
Minggir, Sleman) sebagai tempat awal sebelum dilakukan kirab menuju ke Dusun Dukuhan
XIII.
Upacara adat secara umum dipimpin oleh Juru Kunci dalam hal penentuan waktu upacara,
orang-orang yang terlibat, dan persiapan upacara. Khusus pemimpin kenduri, di
makam, dipimpin oleh Juru Kunci dan di rumah Juru Kunci, dipimpin oleh Kaum atau
Rois.
Peralatan yang diperlukan dalam penyelenggaraan upacara meliputi :
- Goci dan sloki, sebagai wadah minuman yang dipersembahkan bagi Ki Ageng Tunggul
Wulung,
- Padi satu unting, sebagai lambang hasil panenan yang berlimpah,
- Gamelan laras slendro, untuk mengiringi tarian ledhek pada saat tayuban (Ladrang
Sekar Gadhung),
- Selendang atau sampur, sebagai kelengkapan menari ledhek.
Adapun isi sesaji yang diperlukan sebagai pelengkap kenduri adalah:
- Tumpeng sekul wuduk, sebagai lambang kekuasaan manusia senantiasa di bawah
Yang Maha Agung
- Lalapan
- Nasi golong, sebagai lambang gumolonging atau kebulatan tekad manembah kepada
Yang Maha Agung
- Pisang raja setangkep
- Tukon pasar
- Ingkung "wiring kuning", dari ayam jago sebagai lambang manekung kepada Yang
Maha Agung
- Kopi, arak, kinang, dan rokok cerutu
Kirab upacara adat Tunggul Wulung ini mempunyai prosesi tersendiri, yaitu:
1. Prajurit dan Dusun Dukuhan berjumlah 40 orang dengan manggalayuda,
2. Kelompok kesepuhan Dukuhan berjumlah 7 orang,
3. Para pemikul pusaka pemberian Ki Ageng Tunggul Wulung,
4. Klangenan Ki Ageng antara lain: perkutut, gemak, macan, ular, dan lain-lain,
5. Prajurit pembawa pusaka pengiring, diantaranya: prajurit dari Dusun Dukuhan
XII berjumlah 30 orang yang dipimpin oleh seorang pandega (komandan) prajurit dengan membawa pedang-tameng,
6. Penabuh drum, simbal, dan trompet berjumlah 10 orang,
7. Para pemikul sesaji (dari RT/RW Tengahan X, XI, XII, dan Dukuhan serta dari
tingkat desa dan kecamatan),
8. Kelompok Jathilan, dari Minggir II Jati Kebar,
9. Arak-arakan hasil bumi dengan dimuat dalam keseran yang dihias, dari Dukuhan X, XI, dan XII, Tengahan, Diro, petani sekitar Desa-desa
se Kecamatan Minggir
10. Kelompok kesenian dari Brajan,
11. Para kepala desa dan punggawa kecamatan,
12. Kelompok kesenian Trengganon dari Parakan Sendang Sari,
13. Para kepala dusun Sendang Mulyo dan Sendang Agung yang berbusana kejawen
lengkap,
14. Jathilan Jawa dari Kedung Prau Sendangrejo (Minggir) berbusana wayang orang
lengkap,
15. Warga masyarakat dan tokoh masyarakat Dukuhan berbusana kejawen lengkap,
16. Jathilan Rapak dari Keliran,
17. Warga masyarakat pendherek dari Diro dan tokoh-tokoh masyarakat pembawa hasil
bumi,
18. Jathilan dari Plembon, dan
19. Warga masyarakat umum.
Pada akhir upacara, biasanya diselenggarakan pagelaran wayang kulit dengan lakon
cerita "Makukuhani" atau "Sri Mulih" atau "Sri Boyong" yang mengisahkan legenda
Dewi Sri sebagai lambang kemakmuran agar terus bersemayam di dusun tersebut.