Upacara Adat Babat Dalan Giring

Babat Dalan Giring

Desa Giring, Kecamatan Paliyan, Gunung Kidul INDONESIA
 

Desa Giring merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Paliyan. Desa yang terletak di bagian selatan Kota Wonosari ini wilayahnya relatif dekat dengan jalan raya. Oleh karena itu, jaringan listrik sudah masuk hampir di semua wilayah Giring. Ada enam dusun yang ada di bawah Desa Giring, yaitu Bulu, Singkil, Pengos, Gunungdawa, Pulebener, dan Nasri. Mayoritas wilayah Desa Giring, merupakan tanah kering, dan sebagian berupa hutan, sedikit tanah sawah dengan variasi tanaman jagung, ubi kayu, kacang tanah, dan kedelai. Sebagian besar rumah tangga Desa Giring masih mengkonsumsi kayu bakar untuk keperluan dapurnya. Kebutuhan air dipenuhi dari sungai atau danau yang ada di desa tersebut.
Desa Giring mengingatkan adanya nama tokoh yang cukup dikenal. Dari cerita yang berkembang dalam masyarakat mengenai desa tersebut. Desa Giring memang terkait dengan beberapa peristiwa, seperti misalnya upacara Babat Dalan yang terkait dengan tokoh Ki Ageng Giring, yang dulu dikenal dengan nama Kyai Ageng Wonomenggolo, putra Majapahit Prabu Brawijaya IV.
Menurut cerita, dahulu di Giring dan Sada pernah terjadi wabah atau pagebluk. Para tokoh masyarakat kemudian berupaya mencari makam Ki Ageng Giring. Pada saat mencari makam tersebut, di sepanjang jalan mereka "mbabati" atau membersihkan jalan yang menuju ke lokasi makam. Sepanjang jalan mereka mendapati sebidang tanah yang bau wangi dan tulang/bangkai burung berceceran disekitarnya. Saat membuat jalan tersebut, ditemukan beberapa buah benda yaitu tutup kepala dan sebuah tongkat (diberi nama teken dan kethu) yang dipercayai bahwa benda tersebut milik Ki Ageng Giring.
Para pencari makam tadi melakukan semedi dan berjanji akan melakukan syukuran "ambengan" bila Desa Giring dan Sada dapat kembali seperti dulu tanpa pagebluk. Ki Ageng Giring secara kebetulan disemayamkan di Desa Sada.
Cerita tersebut mengandung ajaran kepada seseorang untuk "membersihkan jiwa dari hal-hal yang tidak baik", mengingat Ki Ageng Giring adalah murid Sunan Kalijaga. Dahulu masyarakat setempat melaksanakan upacara ini di masjid Sada dengan sarana upacara adalah "ringin kurung" harus diikat dengan janur, dan mereka membawa clathung (arit) untuk mengambil janur yang dipasang pada pohon kukun (yang ditanam oleh sesepuh Giring).
Sekitar tahun 1985, upacara Babat Dalan sudah tidak lagi diperhatikan oleh masyarakat setempat, khususnya Desa Giring. Kini upacara tersebut hanya diselenggarakan secara individual dengan membuat ambengan dan pengajian. Orang-orang dusun sendiri membawa ambengan, yaitu nasi di tenggok dan lawuhan (lauk pauk).
Upacara Babat Dalan diselenggarakan satu tahun sekali di Desa Giring dan Desa Sada, setelah petani panen padi yaitu pada hari Jumat kliwon pukul 15.00 WIB. Upacara ini diadakan pada hari tersebut karena ada hubungannya dengan saat utusan dari Kraton mencari tempat makamnya Ki Ageng Giring. Dahulu upacara tersebut dilaksanakan secara bersama-sama di Desa Giring, namun dalam perkembangannya, kedua desa masing-masing melaksanakan sendiri.
Tujuan utama diadakannya upacara ini untuk mengingatkan ajaran–ajaran Ki Ageng Giring yang terkandung dalam upacara Babat Dalan yaitu mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung, keprihatinan, dan keteguhan hati dalam keimanan. Selain itu, berkaitan pula dengan adanya kepercayaan supaya warga desa diberi keselamatan dan kesejahteraan dengan mengadakan upacara tradisional tersebut.
Pada hari Kamis Wage, dusun-dusun yang berada di wilayah Desa Giring, mengadakan malam tirakatan, dan pada pagi harinya, Jumat Kliwon, semua sesaji yang telah dipersiapkan dibawa ke balai desa tempat upacara.
Sesaji yang diperlukan dalam upacara Babat Dalan berupa:
- Abon–abon, yang berisi kemeyan, tembakau, kemmbang telon, dan sekedar uang,
- Jenang, dengan warna abang, abang-putih, baro-baro, moncowarno, pliringan, dan blowok
- Tumpeng, yaitu among-among, tempung asmpur, ambengan, nasi wudhuk-ingkung ayam, jadah woran, abon kelapa, pisang ayu, brakahan (polo kependhem, polo gumantung),
Setiap sesaji mempunya makna dan tujuan tertentu:
- Nasi liwet, untuk menghormati yang menjaga kelestarian luar dan dalam rumah masing–masing,
- Jenang merah putih, untuk menghormati terjadinya kedua wahyu dari ayah dan ibu,
- Jenang merah, untuk menghormati penguasa Sangkala yaitu Baginda Ambyah,
- Jenang baro–baro, untuk peringatan wahyu yang lahir bersama penetapan namun lain tempat,
- Jenang moncowarno, untuk memperingati kiblat empat lima yang ditempati,
- Jenang piringan, untuk memperingati sahabatnya Nyai Roro Kidul,
- Tumpeng Among, untuk memperingati malaikat pamomong semua warga masyarakat dan hak pemilikan semua warga,
- Tumpeng Sampur, untuk melambangkan saat menerima wahyu agar bisa sempurna dan lestari,
- Nasi Ambeng, untuk peringatan para arwah leluhur yang telah mendahului menghadap Yang Maha Agung,
- Nasi Memule, untuk peringatan semua yang ada di muka bumi dan di bawah langit,
- Nasi Tumpeng Batok Bolu, untuk peringatan yang berkewajiban menjaga sebelah pintu kiri luar dan dalam,
- Apem Goreng, permohonan ampun bilamana banyak kesalahan para arwah leluhur agar semua sukma yang masih di pintu neraka segera diterima disisi Yang Maha Agung,
- Nasi Tumpeng Alus, permohonan agar semua permintaan dikabulkan,
- Pisang Ayu, untuk mangayu–ayuning bawono murih raharjaning praja dalam arti semua keberadaan di muka bumi dari Yang Maha Agung wajib dilestarikan,
- Brakalan (polo kependem, polo rambat), untuk mengingatkan bahwa masa hidupnya Ki Ageng Giring adalah petani yang menanam jenis tanaman tersebut dan tidak lupa makan jenis makanan tadi, yang menggambarkan cara hidup sederhana.
Sebelum acara dimulai, pemimpin upacara membacakan satu per satu jenis sesaji, dan para pesertanya menyetujui dan membenarkannya. Tepat pukul 15.00 WIB, upacara dimulai dengan mengikrarkan ujub oleh sesepuh desa disertai dengan pembakaran kemenyan dan pembacaan mantra suci, yaitu pemusatan hati ke alam semedi menurut kepercayaan masing-masing. Setelah itu dilanjutkan dengan doa selamat.
Selesai doa selamat, semua sesaji yang berupa nasi dan lauk pauk dimakan bersama. Biasanya ada sisa nasi yang dibawa pulang, baik untuk keluarga yang tidak bisa ikut upacara, maupun untuk dikeringkan menjadi aking. Aking tersebut dicampur dengan benih padi agar ketika benih tersebut disebarkan di lahan, para warga akan memperoleh hasil panen yang baik, karena sudah mendapat berkah dari Ki Ageng Giring.

Tidak ada komentar: