Giwangan merupakan salah satu kelurahan yang terletak di wilayah Kecamatan Umbulharjo,
Yogyakarta. Sebagian besar penduduk Kelurahan Giwangan ini bekerja di luar sektor
pertanian, dan lahan pertanian semakin lama semakin sempit. Meskipun demikian,
terdapat upacara adat yang justru diselenggarakan dalam nuansa pertanian sebagai
warisan turun temurun dari leluhur mereka yang bekerja sebagai petani. Upacara
di daerah pinggiran Kota Jogja ini disebut Bersih Desa Giwangan.
Awalnya, upacara Bersih Desa ini dilaksanakan setelah masa panen padi tiba. Pada
perkembangannya, kegiatan tradisional tersebut kini diselenggarakan pada bulan
Besar (tahun Jawa) satu tahun satu kali. Untuk harinya, tidak terpaku pada hari-hari
tertentu, hanya saja tidak pada hari pasaran Pon (pasaran Jawa) karena merupakan
hari pantangan. Masyarakat percaya bahwa hari pasaran Pon merupakan hari meninggalnya
Panembahan Senopati. Tempat pelaksanaan upacara pada waktu dulu dilaksanakan di
Pendopo, tetapi karena kemajuan jaman tempat semakin terbatas maka pelaksanaan
tempat upacara dilakukan di tempat Rois atau Kaum.
Tujuan dari penyelenggaraan upacara ini adalah sebagai ungkapan syukur kepada
Yang Maha Agung karena masyarakat Giwangan telah diberi keselamatan selama satu
tahun dan juga permohonan akan keselamatan dan kesejahteraan pada tahun–tahun
yang akan datang semoga tidak terdapat bencana atau aral melintang yang berat
di wilayah Giwangan.
Bersih Desa Giwangan ini diawali dengan berbagai macam persiapan. Diantaranya
adalah dengan melaksanakan kerja bakti di lingkungan masing-masing warga. Kemudian
juga dilakukan pembenahan jalan-jalan dan gang-gang kampung agar tampak lebih
bersih dan rapi. Di samping itu, juga dipersiapkan arena kesenian yang akan digelar
pada saat yang bersamaan dengan upacara Bersih Desa. Persiapan-persiapan tadi
kebanyakan dikerjakan oleh kaum lelaki, baik tua maupun muda.
Sedangkan bagi para perempuan, mereka mempersiapkan nasi ambengan yang digunakan
untuk kenduri. Sebagian juga mempersiapkan tumpeng dan sesaji lainya yang akan
dibagikan pada masyarakat setelah selesai kenduri. Adapun sesaji yang dipergunakan
adalah:
- Nasi Gurih, sebagai persembahan kepada para leluhur,
- Ingkung, sebagai lambang manusia ketika masih bayi dan sebagai lambang kepasrahan pada Yang Maha Agung,
- Jajan Pasar, sebagai lambang agar masyarakat mendapat berkah,
- Pisang Raja, sebagai lambang harapan agar mendapat kemuliaan dalam masa kehidupan,
- Nasi Ambengan, sebagai ungkapan syukur atas rezeki dari Yang Maha Agung,
- Jenang, berupa jenang merah putih (lambang bapak dan ibu) dan jenang palang (penolak marabahaya),
- Tumpeng, berupa tumpeng lanang (lambang Yang Maha Agung) dan tumpeng wadon (lambang penghormatan pada leluhur) yang ukurannya lebih kecil, dan
- Ketan Kolak Apem, untuk memetri pada dhanyang yang ada di wilayah Giwangan.
- Nasi Gurih, sebagai persembahan kepada para leluhur,
- Ingkung, sebagai lambang manusia ketika masih bayi dan sebagai lambang kepasrahan pada Yang Maha Agung,
- Jajan Pasar, sebagai lambang agar masyarakat mendapat berkah,
- Pisang Raja, sebagai lambang harapan agar mendapat kemuliaan dalam masa kehidupan,
- Nasi Ambengan, sebagai ungkapan syukur atas rezeki dari Yang Maha Agung,
- Jenang, berupa jenang merah putih (lambang bapak dan ibu) dan jenang palang (penolak marabahaya),
- Tumpeng, berupa tumpeng lanang (lambang Yang Maha Agung) dan tumpeng wadon (lambang penghormatan pada leluhur) yang ukurannya lebih kecil, dan
- Ketan Kolak Apem, untuk memetri pada dhanyang yang ada di wilayah Giwangan.
Pelaksanaan upacara ini dari masing–masing warga membawa nasi ambengan menuju
rumah Rois untuk diikutkan dalam kenduri, sementara uba rampe yang lain telah
dipersiapkan di rumah Rois. Setelah semua berkumpul, Rois kemudian membaca doa;
setelah selesai dilakukan makan bersama dengan pembagian ingkung dan tumpeng kepada
warga yang hadir dalam kenduri. Bagi yang tidak memakan di tempat, sesaji tersebut
dapat dibawa pulang untuk dimakan bersama keluarga sebagai sarana pembawa berkah.
Dulu, kenduri dilakukan siang hari tetapi pada saat sekarang ini dilaksanakan
pada malam hari dilanjutkan dengan pementasan hiburan dan diakhiri dengan pertunjukkan
wayang kulit dengan lakon Tumuruning Dewi Sri dimaksudkan untuk menghormati Dewi
Sri sebagai dewi padi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar