Paus Benedictus 16 Pensiun
ROMA (KRjogja.com) - Paus Benediktus XVI kembali berpidato di depan umatnya di Lapangan Basilika Santo Petrus. Paus mengatakan, Tuhan sudah memintanya untuk mundur namun kemunduran itu tidak akan membuatnya mengabaikan Gereja Katolik.
Hujan deras turun di Kota Roma pada pagi hari sebelum Paus muncul dan berpidato. Namun cuaca mendadak berubah ketika Paus mulai berpidato. Paus pun tersenyum ketika menyambut ribuan umat Katolik yang berada di lapangan itu sambil menyapanya dengan menggunakan beberapa bahasa yang berbeda.
"Tuhan mengajak saya untuk mendaki gunung, mendedikasikan saya agar terus berdoa dan bermeditasi. Namun hal ini bukan berarti saya mengabaikan Gereja," ujar Paus Benediktus, seperti dikutip PTI, Senin (25/2/2013).
"Bila Tuhan meminta saya melakukan hal ini dengan tepat, saya akan terus membaktikan diri saya dengan dedikasi dan cinta yang sama seperti dulu, namun dengan cara yang lebih tepat bagi usia dan tenaga saya," imbuhnya.
Usai berbicara di depan jendela, pria berusia 85 tahun itu mengucapkan terima kasihnya pada lebih dari 100 ribu umat Katolik yang hadir dan menyaksikan pidato Paus. Pidato dan pemberkatan terakhir itu sekaligus menjadi momen bersejarah bagi Paus yang akan melepaskan jabatannya pada 28 Februari mendatang.
Jumlah warga Vatikan beserta polisi Roma yang hadir dalam pidato Paus sangat banyak. Bahkan jumlah itu jauh lebih banyak ketimbang sebelumnya.
Beberapa warga membawa spanduk untuk mengutarakan rasa cinta dan rindunya terhadap Paus Benediktus. Spanduk-spanduk itu bertulisan, "Bapak Suci, Kami Mencintaimu," "Terima Kasih, Yang Maha Kudus," dan satu lagi berbunyi, "Bapa Tercinta, Kami Akan Merindukanmu". (Okz/Git)
Orang Jogja
Orang Jogja
Tidak sulit untuk bergaul dengan orang Jogja, mereka rata-rata bersahabat, terbuka, dan toleran. Berjabat tanganlah dengan tangan kanan terlebih dahulu, karena itu adalah merupakan kebiasaan sebelum berkenalan. Jika orang Jogja bertemu dengan kenalan baru mereka akan memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama mereka. Orang Jawa biasanya menjabat tangan dan bertanya “Apa kabarmu?” sebelum menajutkan percakapan.
Meski orang Jogja sangat terbuka dan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap orang non-Jawa termasuk orang asing, namun secara umum orang Jogja menyukai dan menghargai Kesopanan. Contoh, mereka menghargai orang yang dalam berbicara perlahan-lahan , sambil tersenyum, serta penuh kesopanan. Mereka juga selalu menanyakan sesuatu dengan diawali dengan: ‘bolehkah saya…’, ‘permisi saya mau…’ dan lain-lain.
Orang Jogja rata-rata masih bisa menerima jika ada orang asing yang berkelakuan tidak semestinya (seperti orang Jawa), tapi mereka tidak akan mentolerir jika yang melakukan tersebut adalah orang Jawa.
All About Jogja, Keraton & Masyarakat
Kraton dan Masyarakat Jogja
Kraton sebagai pionir Jogja mempunyai pengaruh yang sangat penting bagi budaya masyarakat Jawa di Jogja. Masyarakat percaya bahwa Kraton merupakan referensi budaya mereka. Beberapa studi yang dilakukan pada tahun 1990 menunjukkan bahwa kesetiaan masyarakat kepada Kraton sangat tinggi. Pengaruh tersebut makin meluas semenjak Raja dapat menggabungkan kepemimpinan yang karismatik dengan kepemimpinan yang rasional dan modern.
Salah seorang raja tersebut adalah Sultan HB IX. Ia adalah figure yang menonjol pada masa perjuangan saat mendirikan Republik Indonesia. Ia menjadi wakil presiden kedua RI yang mendukung pendirian Perguruan Tinggi pertama di Indonesia yaitu: Perguruan Tinggi Gadjah Mada (sekarang UGM). Ia meminjamkan Siti Hinggil Lord an Pagelaran (salah satu bagian dari Kraton) sebagai Kampus UGM tahun 1945.
Hubungan erat antara masyarakat Jogja dan Kraton tampak nyata dalam kesenian, ritual, dan upacara adat mereka. Misalnya pada pernikahan tradisional, pengantin pria dan wanita boleh mengenakan pakaian keluarga kerajaan yang disebut ‘basahan’. Dahulu hanya keluarga kerajaan yang boleh memakai pakaian tersebut.
Masyarakat Jogja yang Multi Etnik
Jogja dikenal sebagai kota pendidikan, karena ratusan institusi pendidikan berjejalan di kota ini. Setiap tahun ribuan mahasiswa baru dari luar Jogja, bahkan luar Jawa datang ke Jogja untuk menuntut ilmu. Pemerintah Daerah dari luar Jogja menyediakan asrama bagi para mahasiswa daerah tersebut yang belajar di Jogja.
Sebagai konsistensi dari keberadaan beragam kelompok etnik tersebut, Jogja menjadi sangat heterogen dalam masyarakatnya. Data statistik menunjukan hampir 2% penduduk Jogja bukan orang Jawa. Maka pernikahan antar etnis pun tak ter-elakan. Uniknya orang luar Jawa yang menikah dengan orang Jawa merasa ‘nJawani’ (lebih Jawa) dibanding etnis aslinya.
Bahasa
Sejak Jogja menjadi lebih heterogen, masyarakat rata-rata menggunakan Bahasa Indonesia berkomunikasi. Bahasa Jawa hanya digunakan masyarakat Jawa ketika mereka berkomunikasi dengan sesama orang Jawa.
Jika Anda tertarik untuk mempelajari Bahasa Indonesia atau Jawa, Anda dapat mengunjungi berbagai tempat pelatihan yang ada di Jogja.
Pekerjaan dan Kepercayaan
Sekitar 40% masyarakat Jogja adalah petani dan 40% nya lagi bekerja di bidang perdagangan, servis, industri, dan lain-lain. Di Kota Jogja 98% penduduknya bekerja di sektor perdagangan dan jasa, khususnya di sektor wisata dan pendidikan.
Dikarenakan pengaruh sejarah Islam di Kerajaan Mataram yang panjang, hampir 93% penduduk Jogja memeluk agama Islam, sedangkan 6%nya Kristiani. Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia lahir dan sangat berpengaruh di Jogja.
Geografis Jogja
Geografis Jogja
Propinsi Daerah Yogyakarta merupakan Propinsi yang mempunyai status sebagai Daerah Istimewa. Status Daerah Istimewa ini berkaitan dengan sejarah terjadinya Propinsi ini, pada tahun 1945, sebagai gabungan wilayah Kesultanan Ngayogyokarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman, yang menggabungkan diri dengan wilayah Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, oleh Sukarno dan Moh. Hatta.
Ujung bagian Utara Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan puncak gunung Merapi dengan ketinggian ± 2920 meter diatas permukaan laut merupakan salah satu gunung Api terakhir teraktif di dunia. Oleh para ahli gunung berapi (vulkanolog) internasional, gunung api ini sangat terkenal karena bentuk letusannya yang khas, dan sejenis dengan letusan gunung api Visuvius di Italia. Sampai saat ini gunung Merapi masih sangat aktif. Puncaknya selalu mengepulkan asap, yang merupakan panorama kota Yogyakarta sebelah utara.
Luas Propinsi Daerah Istimewa Yogyakrta, lebih kurang 3.186 Km2 berpenduduk 3.311.812 jiwa (data tahun 2000) dan terbagi menjadi 5 Daerah Kabupaten / Kota, yakni:
Kota Yogyakarta, yang merupakan Ibu kota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kabupaten Sleman, dengan Ibukota Beran.
Kabupaten Gunungkidul, dengan Ibukota Wonosari.
Kabupaten Bantul, dengan Ibukota Bantul.
Kbupaten Kulonprogo, dengan Ibukota Wates.
Setelah wafatnya Sri Sulatan Hamengku Buwono IX sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Pejabat Gubernur Propinsi DIY dijabat oleh Sri Paku Alam VIII, yang sebelumnya sebagai Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dan sejak Sabtu 3 Oktober 1998 Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dijabat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X sampai saat ini
Jadwal Acara Jogjakarta
Acara Reguler
-
Setiap malam
PERMAINAN MASANGINKategori : Keluarga, Wisata Malam Waktu : pukul 19.00 WIB - selesai Tempat : Alun Alun Kidul (selatan) KRATON YOGYAKARTA, Indonesia Deskripsi : Cobalah berjalan dengan mata tertutup untuk memasuki ruang di antara dua pohon beringin yang ada di Alun-alun Selatan Keraton Yogyakarta. Bila beruntung maka Anda bisa melewati kedua beringin itu dengan lancar, namun tak jarang orang melenceng jauh sehingga mengundang tawa. Biar lebih seru ajaklah teman Anda untuk melakukan hal yang sama, dan bandingkan hasilnya. Tiket : Gratis CP / EO : -
2, 5, 7, 9, 12, 14, 16, 19, 21, 23, 26, 28 Februari 2013
SENDRATARI RAMAYANA BALLET - PRAMBANANKategori : Seni, Budaya, Hiburan, Keluarga, Wisata Malam Waktu : pukul 19.30 - 21.30 WIB Tempat : Indoor Theater / Panggung Tertutup Trimurti
Taman Wisata Candi CANDI PRAMBANAN
Jalan Raya Yogya - Solo km 16 Prambanan, Yogyakarta, Indonesia
Phone: (0274) 496 408Deskripsi : Sendratari Ramayana dipentaskan di tempat kisah itu dipahat seribu tahun silam: Candi Prambanan. Pertunjukan ini mampu menyatukan ragam kesenian Jawa berupa tari, drama dan musik dalam satu panggung dan satu momentum untuk menyuguhkan kisah Ramayana yang dirangkum dalam 4 babak: penculikan Sinta, misi Anoman ke Alengka, kematian Kumbakarna atau Rahwana, dan pertemuan kembali Rama-Sinta.
www.yogyes.com/ramayana-balletTiket : Rp 100.000 - Rp 200.000 CP / EO : (0274) 496 408 -
Setiap malam
SENDRATARI RAMAYANA BALLET - PURAWISATAKategori : Seni, Budaya, Hiburan, Keluarga, Wisata Malam Waktu : pukul 20.00 - 21.30 WIB Tempat : Purawisata
Jl. Brigjen Katamso, Yogyakarta, Indonesia
Phone: (0274) 375 705Deskripsi : Ramayana Ballet adalah seni pertunjukan yang cantik, mengagumkan dan sulit tertandingi. Pertunjukan ini mampu menyatukan ragam kesenian Jawa berupa tari, drama dan musik dalam satu panggung dan satu momentum untuk menyuguhkan kisah Ramayana yang dirangkum dalam 4 babak: penculikan Sinta, misi Anoman ke Alengka, kematian Kumbakarna atau Rahwana, dan pertemuan kembali Rama-Sinta. Pertunjukan Ramayana Ballet di Purowisata telah memecahkan rekor 25 tahun pementasan tanpa henti sehingga mendapat penghargaan dari MURI (Museum Rekor Indonesia).
www.yogyes.com/ramayana-ballet-purawisata/Tiket : Rp 140.000 (pertunjukan saja)
Rp 250.000 (pertunjukan + makan malam)CP / EO : (0274) 375 705 -
Setiap malam
PAGELARAN MUSIK DANGDUTKategori : Seni, Hiburan, Wisata Malam Waktu : pukul 20.30 - 23.00 WIB Tempat : Purawisata
Jl. Brigjen Katamso, Yogyakarta, Indonesia
Phone: (0274) 375 705Deskripsi : Dangdut adalah genre musik yang sangat populer di Indonesia dan merupakan hasil perpaduan dari musik tradisional Arab, India, dan Melayu. Daya tarik pertunjukan musik dangdut adalah pada irama musiknya yang menghibur, kecantikan penyanyinya, dan terutama joget / gerakan penyanyinya mengikuti irama lagu. Purawisata menampilkan Orkes Melayu dan penyanyi yang berbeda setiap malam. Tiket : Rp 8.000 (hari biasa)
Rp 10.000 (malam minggu)CP / EO : (0274) 375 705 -
Setiap malam
PAGELARAN WAYANG KULIT DENGAN LAKON RAMAYANAKategori : Seni, Budaya, Hiburan, Wisata Malam Waktu : pukul 20.00 - 22.00 WIB Tempat : MUSEUM SONOBUDOYO
Jl. Trikora 6 Yogyakarta, Indonesia
Phone: (0274) 418 330Deskripsi : Wayang kulit adalah mahakarya seni pertunjukan Jawa yang telah mendapat pengakuan dari UNESCO. Seorang dalang memainkan wayang yang terbuat dari kulit kerbau di balik layar yang terbuat dari kain putih, sehingga para penonton hanya dapat melihat bayangannya saja. Itulah sebabnya pertunjukan ini dinamakan wayang, yang berasal dari kata "bayang". Daya tarik pertunjukan wayang kulit terletak pada kelincahan ki dalang memainkan berbagai tokoh wayang sekaligus dengan gerakan yang atraktif, mengubah karakter suara, berganti intonasi, melontarkan guyonan dan bahkan bernyanyi.
www.yogyes.com/wayang-kulit-showTiket : Rp 20.000 CP / EO : (0274) 418 330 -
Setiap hari Minggu
PAGELARAN WAYANG ORANGKategori : Seni, Budaya, Hiburan, Keluarga Waktu : pukul 11.00 - 12.00 WIB Tempat : KRATON YOGYAKARTA, Jl. Rotowijayan 1 Yogyakarta, Indonesia
Phone: (0274) 373 721Deskripsi : Wayang orang adalah seni teater tradisional Jawa yang memadukan unsur drama, tari, dan musik. Aktor dalam pertunjukan ini berdandan menyerupai tokoh wayang kulit yang diperankannya. Cerita dalam pertunjukan wayang orang selalu mengambil tema dari kisah Mahabharata atau Ramayana. Tiket : Acara ini gratis, kita hanya membayar tiket untuk masuk ke Kraton (Rp 5.000 untuk wisatawan lokal, Rp 12.500 untuk wisatawan mancanegara) CP / EO : (0274) 373 721 -
Setiap Minggu awal bulan
PAGELARAN KETOPRAKKategori : Seni, Budaya, Hiburan, Wisata Malam Waktu : pukul 20.00 - 24.00 WIB Tempat : Auditorium RRI
Jl. Affandi / Jl. Gejayan, Yogyakarta, Indonesia
Phone: (0274) 512 783Deskripsi : Ketoprak adalah seni teater tradisional Jawa. Mirip dengan Wayang Orang, ketoprak menyajikan sandiwara yang diselingi dengan lagu-lagu Jawa dan musik gamelan. Perbedaannya, pertunjukan Ketoprak tidak mengambil tema cerita dari kisah Mahabharata atau Ramayana melainkan dari legenda ataupun cerita bebas lainnya. Tiket : Rp 5.000 CP / EO : (0274) 512 783 -
Setiap Senin
JAZZ MBEN SENENKategori : Seni, Wisata Malam, Hiburan Waktu : pukul 20.30 WIB - selesai Tempat : BENTARA BUDAYA YOGYAKARTA (BBY)
Jl. Suroto 2 Kotabaru, Yogyakarta, Indonesia
Phone: (0274) 560 404Deskripsi : Jazz Mben Senen merupakan ajang berkumpul para musisi, pecinta, serta penikmat musik jazz di Yogyakarta. Dalam acara ini akan ada pertunjukan musik jazz oleh musisi yang hadir atau siapapun yang tertarik untuk nge-jam bareng. Jazz Mben Senen tidak hanya bertujuan sebagai arena kumpul-kumpul dan melatih mental para musisi muda, namun juga sebagai langkah untuk lebih mendekatkan musik jazz kepada masyarakat. Tiket : Gratis CP / EO : 0856 9178 2078 (Gilang Adiyaksa)
0813 2700 5127 (Harley Yoga)
0818 0264 7007 (Gian Afrisando) -
Setiap Senin dan Selasa
PAGELARAN KARAWITANKategori : Seni, Budaya, Hiburan Waktu : pukul 10.00 - 12.00 WIB Tempat : KRATON YOGYAKARTA
Jl. Rotowijayan 1 Yogyakarta, Indonesia
Phone: (0274) 373 721Deskripsi : Pertunjukan gabungan dari alunan musik gamelan dan menyanyi. Karawitan berasal dari bahasa Sansekerta "rawit" yang berarti halus. Menyaksikan pertunjukkan ini dapat diibaratkan menghirup nilai - nilai ideal musik Jawa tepat di tempatnya, Keraton Yogyakarta. Tiket : Acara ini gratis, kita hanya membayar tiket untuk masuk ke Kraton (Rp 5.000 untuk wisatawan lokal, Rp 12.500 untuk wisatawan mancanegara) CP / EO : (0274) 373 721 -
Setiap Rabu
PAGELARAN WAYANG GOLEKKategori : Seni, Budaya, Hiburan, Keluarga Waktu : pukul 10.00 - 12.00 WIB Tempat : KRATON YOGYAKARTA
Jl. Rotowijayan 1 Yogyakarta, Indonesia
Phone: (0274) 373 721Deskripsi : Wayang Golek adalah suatu seni pertunjukan wayang yang terbuat dari boneka kayu, yang terutama sangat populer di Jawa Barat. Tiket : Acara ini gratis, kita hanya membayar tiket untuk masuk ke Kraton (Rp 5.000 untuk wisatawan lokal, Rp 12.500 untuk wisatawan mancanegara) CP / EO : (0274) 373 721 -
Setiap Kamis
PAGELARAN GAMELAN DAN SENDRATARI KLASIKKategori : Seni, Budaya, Hiburan, Keluarga Waktu : pukul 10.00 - 12.00 WIB Tempat : KRATON YOGYAKARTA
Jl. Rotowijayan 1 Yogyakarta, Indonesia
Phone: (0274) 373 721Deskripsi : Menyaksikan falsafah hidup orang Jawa melalui musik. Itulah yang akan didapatkan ketika menyaksikan pertunjukkan gamelan ditempat ini. Mendengarkan irama gamelan seperti mendengarkan alunan keselarasan yang menenangkan dan menentramkan jiwa.
www.yogyes.com/gamelan-showTiket : Acara ini gratis, kita hanya membayar tiket untuk masuk ke Kraton (Rp 5.000 untuk wisatawan lokal, Rp 12.500 untuk wisatawan mancanegara) CP / EO : (0274) 373 721 -
Setiap Jumat
FRIDAY NIGHT JAZZ NIGHTKategori : Seni, Wisata Malam, Hiburan Waktu : pukul 20.00 WIB - selesai Tempat : VIA VIA CAFE
Jl. Prawirotaman 30, Yogyakarta, Indonesia
Phone: (0274) 386 557Deskripsi : Pertunjukan musik mingguan ini merupakan bagian dari ART SPACE, kegiatan seni yang diadakan Via-Via. Tiket : Gratis CP / EO : Via-Via Travelers Cafe and Restaurant
Phone: (0274) 386 557 -
Setiap Jumat
PAGELARAN SENI MACAPATKategori : Seni, Budaya, Hiburan, Keluarga Waktu: : pukul 10.00 - 11.30 WIB Tempat : KRATON YOGYAKARTA
Jl. Rotowijayan 1 Yogyakarta, Indonesia
Phone: (0274) 373 721Deskripsi : Pementasan puisi Jawa yang diiringi oleh gamelan. Puisi ini dilantunkan seperti lagu yang memiliki aturan dan bentuk tertentu. Ada tujuh jenis lagu dalam macapat; seperti dhandang gula, sinom, asmarandana, dan kinanthi. Tiap-tiap lagu memiliki jumlah lirik dan bunyi yang disebut guru. Tiket : Acara ini gratis, kita hanya membayar tiket untuk masuk ke Kraton (Rp 5.000 untuk wisatawan lokal, Rp 12.500 untuk wisatawan mancanegara) CP / EO : (0274) 373 721 -
Setiap Sabtu
PAGELARAN WAYANG KULITKategori : Seni, Budaya, Hiburan, Keluarga Waktu: : pukul 10.00 - 13.00 WIB Tempat : KRATON YOGYAKARTA
Jl. Rotowijayan 1 Yogyakarta, Indonesia
Phone: (0274) 373 721Deskripsi : Wayang kulit adalah mahakarya seni pertunjukan Jawa yang telah mendapat pengakuan dari UNESCO. Seorang dalang memainkan wayang yang terbuat dari kulit kerbau di balik layar yang terbuat dari kain putih, sehingga para penonton hanya dapat melihat bayangannya saja. Itulah sebabnya pertunjukan ini dinamakan wayang, yang berasal dari kata "bayang". Daya tarik pertunjukan wayang kulit terletak pada kelincahan ki dalang memainkan berbagai tokoh wayang sekaligus dengan gerakan yang atraktif, mengubah karakter suara, berganti intonasi, melontarkan guyonan dan bahkan bernyanyi.
www.yogyes.com/wayang-kulit-showTiket : Acara ini gratis, kita hanya membayar tiket untuk masuk ke Kraton (Rp 5.000 untuk wisatawan lokal, Rp 12.500 untuk wisatawan mancanegara) CP / EO : (0274) 373 721
Gua Pindul - Pariwisata Jogja
Menyusuri sungai menggunakan perahu karet merupakan hal yang
biasa, namun jika sungai itu mengalir di dalam gua tentu saja akan
menjadi petualangan yang mengasyikkan sekaligus menegangkan. Gua Pindul,
salah satu gua yang merupakan rangkaian dari 7 gua dengan aliran sungai
bawah tanah yang ada di Desa Bejiharjo, Karangmojo, menawarkan sensasi
petualangan tersebut. Selama kurang lebih 45 - 60 menit wisatawan akan
diajak menyusuri sungai di gelapnya perut bumi sepanjang 300 m
menggunakan ban pelampung. Petualangan yang memadukan aktivitas body rafting dan caving ini dikenal dengan istilah cave tubing.
Tidak diperlukan persiapan khusus untuk melakukan cave tubing di Gua Pindul. Peralatan yang dibutuhkan hanyalah ban pelampung, life vest, serta head lamp yang semuanya sudah disediakan oleh pengelola. Aliran sungai yang sangat tenang menjadikan aktivitas ini aman dilakukan oleh siapapun, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Waktu terbaik untuk cave tubing di Gua Pindul adalah pagi hari sekitar pukul 09.00 atau 10.00 WIB. Selain karena airnya tidak terlalu dingin, jika cuaca sedang cerah pada jam-jam tersebut akan muncul cahaya surga yang berasal dari sinar matahari yang menerobos masuk melewati celah besar di atap gua.
Sambil merasakan dinginnya air sungai yang membelai
tubuh di tengah gua yang minim pencahayaan, seorang pemandu bercerita
tentang asal-usul penamaan Gua Pindul. Menurut legenda yang dipercayai
masyarakat dan dikisahkan turun temurun, nama Gua Pindul dan gua-gua
lain yang ada di Bejiharjo tak bisa dipisahkan dari cerita pengembaraan
Joko Singlulung mencari ayahnya. Setelah menjelajahi hutan lebat,
gunung, dan sungai, Joko Singlulung pun memasuki gua-gua yang ada di
Bejiharjo. Saat masuk ke salah satu gua mendadak Joko Singlulung
terbentur batu, sehingga gua tersebut dinamakan Gua Pindul yang berasal
dari kata pipi gebendul.
Selain menceritakan tentang legenda Gua Pindul, pemandu pun akan menjelaskan ornamen yang ditemui di sepanjang pengarungan. Di gua ini terdapat beberapa ornamen cantik seperti batu kristal, moonmilk, serta stalaktit dan stalagmit yang indah. Sebuah pilar raksasa yang terbentuk dari proses pertemuan stalaktit dan stalagmit yang usianya mencapai ribuan tahun menghadang di depan. Di beberapa bagian atap gua juga terdapat lukisan alami yang diciptakan oleh kelelawar penghuni gua. Di tengah gua terdapat satu tempat yang menyerupai kolam besar dan biasanya dijadikan tempat beristirahat sejenak sehingga wisatawan dapat berenang atau terjun dari ketinggian. Tatkala YogYES masih menikmati indahnya ornamen gua di sela bunyi kepak kelelawar dan kecipak air, mendadak pengarungan sudah sampai di mulut keluar gua. Bendungan Banyumoto yang dibangun sejak jaman Belanda dengan latar belakang perbukitan karst pun menyambut.
Tidak diperlukan persiapan khusus untuk melakukan cave tubing di Gua Pindul. Peralatan yang dibutuhkan hanyalah ban pelampung, life vest, serta head lamp yang semuanya sudah disediakan oleh pengelola. Aliran sungai yang sangat tenang menjadikan aktivitas ini aman dilakukan oleh siapapun, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Waktu terbaik untuk cave tubing di Gua Pindul adalah pagi hari sekitar pukul 09.00 atau 10.00 WIB. Selain karena airnya tidak terlalu dingin, jika cuaca sedang cerah pada jam-jam tersebut akan muncul cahaya surga yang berasal dari sinar matahari yang menerobos masuk melewati celah besar di atap gua.
Selain menceritakan tentang legenda Gua Pindul, pemandu pun akan menjelaskan ornamen yang ditemui di sepanjang pengarungan. Di gua ini terdapat beberapa ornamen cantik seperti batu kristal, moonmilk, serta stalaktit dan stalagmit yang indah. Sebuah pilar raksasa yang terbentuk dari proses pertemuan stalaktit dan stalagmit yang usianya mencapai ribuan tahun menghadang di depan. Di beberapa bagian atap gua juga terdapat lukisan alami yang diciptakan oleh kelelawar penghuni gua. Di tengah gua terdapat satu tempat yang menyerupai kolam besar dan biasanya dijadikan tempat beristirahat sejenak sehingga wisatawan dapat berenang atau terjun dari ketinggian. Tatkala YogYES masih menikmati indahnya ornamen gua di sela bunyi kepak kelelawar dan kecipak air, mendadak pengarungan sudah sampai di mulut keluar gua. Bendungan Banyumoto yang dibangun sejak jaman Belanda dengan latar belakang perbukitan karst pun menyambut.
Gunungan Kutug Bromo
Kata gunungan dalam bahasa Jawa bermakna
"gunung-gunungan", seperti gunung, menyerupai gunung. Gunungan adalah
salah satu wujud sesajian selamatan (dalam bahasa Jawa disebut sajen
wilujengan) yang khusus dibuat untuk disajikan dalam selamatan negara
(dalam bahasa Jawa disebut Wilujengan Negari) setiap garebeg dan
maleman atau selikuran.
Gunungan Kutug atau Gunungan Bromo Merupakan gunungan yang dibuat delapan tahun sekali yaitu tiap tahun Dal pada saat upacara Garebeg Mulud Dal. Bentuk gunungan ini agak mirip dengan gunungan wadon, tetapi di bagian puncaknya diberi lubang untuk menempatkan sebuah anglo berisi bara yang membakar segumpal besar kemenyan, sehingga secara terus-menerus mengepulkan asap tebal jika dihembus angin.
Pajangannya berupa beraneka macam kue berwarna-warni, hampir sama dengan pajangan pada gunungan lanang, bervariasi dengan gunungan wadon. Di bagian bawah beralaskan kain bangun tulak, dan diletakkan tegak di atas sebuah nampan raksasa berkerangka kayu berukuran 2 x 1,5 meter.
Gunungan Kutug atau Gunungan Bromo Merupakan gunungan yang dibuat delapan tahun sekali yaitu tiap tahun Dal pada saat upacara Garebeg Mulud Dal. Bentuk gunungan ini agak mirip dengan gunungan wadon, tetapi di bagian puncaknya diberi lubang untuk menempatkan sebuah anglo berisi bara yang membakar segumpal besar kemenyan, sehingga secara terus-menerus mengepulkan asap tebal jika dihembus angin.
Pajangannya berupa beraneka macam kue berwarna-warni, hampir sama dengan pajangan pada gunungan lanang, bervariasi dengan gunungan wadon. Di bagian bawah beralaskan kain bangun tulak, dan diletakkan tegak di atas sebuah nampan raksasa berkerangka kayu berukuran 2 x 1,5 meter.
Gunungan Dharat
Kata gunungan dalam bahasa Jawa bermakna
"gunung-gunungan", seperti gunung, menyerupai gunung. Gunungan adalah
salah satu wujud sesajian selamatan (dalam bahasa Jawa disebut sajen
wilujengan) yang khusus dibuat untuk disajikan dalam selamatan negara
(dalam bahasa Jawa disebut Wilujengan Negari) setiap garebeg dan
maleman atau selikuran.
Salah satu gunungan dalam upacara garebeg. Gunungan ini pada bagian puncaknya berhamparkan kue besar berbentuk lempengan yang berwarna hitam, dan sekelilingnya ditancapi dengan sejumlah besar kue ketan berbentuk lidah yang disebut ilat-ilatan (ilat = lidah). Gunungan ini diletakkan tegak diatas sebuah nampan raksasa berkerangka kayu, dan diberi alas kain bangun tulak. Di bawah nampan dipasang dua batang kayu atau bambu panjang sebagai alat pemikul.
Salah satu gunungan dalam upacara garebeg. Gunungan ini pada bagian puncaknya berhamparkan kue besar berbentuk lempengan yang berwarna hitam, dan sekelilingnya ditancapi dengan sejumlah besar kue ketan berbentuk lidah yang disebut ilat-ilatan (ilat = lidah). Gunungan ini diletakkan tegak diatas sebuah nampan raksasa berkerangka kayu, dan diberi alas kain bangun tulak. Di bawah nampan dipasang dua batang kayu atau bambu panjang sebagai alat pemikul.
Gunungan Lanang
Kata gunungan dalam bahasa Jawa bermakna
"gunung-gunungan", seperti gunung, menyerupai gunung. Gunungan adalah
salah satu wujud sesajian selamatan (dalam bahasa Jawa disebut sajen
wilujengan) yang khusus dibuat untuk disajikan dalam selamatan negara
(dalam bahasa Jawa disebut Wilujengan Negari) setiap garebeg dan
maleman atau selikuran.
Gunungan Lanang pada bagian puncak disebut mustaka (kepala), ditancapi kue terbuat dari tepung beras yang disebut badheran karena bentuknya seperti ikan badher. Badheran dihias dengan lima kalungan bunga melati yang di ujungnya beruntaikan bunga kantil.
Bagian mustaka dipasang melingkar rapat sejumlah rangkaian kue tepung beras yang berbentuk bola-bola kecil disebut bendul. Di bawahnya dipasang melingkar rapat satu rangkaian telur asin. Di seluruh bagian batang tubuh, dipasangi ratusan kacang panjang, bagian pucuknya diberi sebuah kue berbentuk cincin terbuat dari ketan yang disebut kucu dan setiap kucu digantungi sebuah kue berbentuk segitiga yang disebut upil-upil.
Seluruh batang tubuh gunungan lanang, selain dipasangi ratusan kacang panjang, juga diberi sejumlah besar rangkaian lombok atau cabe merah yang besar-besar, dan diberi sembilan buah telur rebus dan sembilan buah telur asin. Setiap gunungan lanang diletakkan tegak lurus diatas sebuah nampan raksasa berkerangka kayu dengan ukuran 2 x 1,5 meter.
Nampan ini selain dipasangi sebuah gunungan juga masih diberi hiasan berupa dua belas nasi tumpeng dengan lauk pauknya yang diberi wadah empat bungkusan daun pisang. Di samping itu masih diberi empat buah kelapa muda dan sepasang daun muda serta alas kain bangun tulak atau bango tulak. Di keempat penjuru nampak, digantungkan empat kalung rangkaian bunga melati.
Gunungan Lanang pada bagian puncak disebut mustaka (kepala), ditancapi kue terbuat dari tepung beras yang disebut badheran karena bentuknya seperti ikan badher. Badheran dihias dengan lima kalungan bunga melati yang di ujungnya beruntaikan bunga kantil.
Bagian mustaka dipasang melingkar rapat sejumlah rangkaian kue tepung beras yang berbentuk bola-bola kecil disebut bendul. Di bawahnya dipasang melingkar rapat satu rangkaian telur asin. Di seluruh bagian batang tubuh, dipasangi ratusan kacang panjang, bagian pucuknya diberi sebuah kue berbentuk cincin terbuat dari ketan yang disebut kucu dan setiap kucu digantungi sebuah kue berbentuk segitiga yang disebut upil-upil.
Seluruh batang tubuh gunungan lanang, selain dipasangi ratusan kacang panjang, juga diberi sejumlah besar rangkaian lombok atau cabe merah yang besar-besar, dan diberi sembilan buah telur rebus dan sembilan buah telur asin. Setiap gunungan lanang diletakkan tegak lurus diatas sebuah nampan raksasa berkerangka kayu dengan ukuran 2 x 1,5 meter.
Nampan ini selain dipasangi sebuah gunungan juga masih diberi hiasan berupa dua belas nasi tumpeng dengan lauk pauknya yang diberi wadah empat bungkusan daun pisang. Di samping itu masih diberi empat buah kelapa muda dan sepasang daun muda serta alas kain bangun tulak atau bango tulak. Di keempat penjuru nampak, digantungkan empat kalung rangkaian bunga melati.
Gunungan Wadon
Kata gunungan dalam bahasa Jawa bermakna
"gunung-gunungan", seperti gunung, menyerupai gunung. Gunungan adalah
salah satu wujud sesajian selamatan (dalam bahasa Jawa disebut sajen
wilujengan) yang khusus dibuat untuk disajikan dalam selamatan negara
(dalam bahasa Jawa disebut Wilujengan Negari) setiap garebeg dan
maleman atau selikuran.
Gunungan Wadon mempunyai bentuk seperti gunung dengan bagian puncak yang terlalu lancip. Juga mirip dengan payung terbuka. Bagian mustaka dihampiri kue besar berbentuk lempengan dengan warna hitam yang sekelilingnya ditancapi sejumlah besar kue berbentuk daun. Sekeliling tepinya ditancapi lidi-lidi bambu panjang, diberi kue ketan berbentuk seperti paruh burung betet, yang disebut betetan.
Bagian bawah tubuh berupa penyangga berbentuk kerucut terbalik yang dibuat dari sejumlah besar pelepah daun pisang. Selain itu diberi kue berbentuk lingkaran besar terbuat dari ketan berwarna coklat yang besar disebut wajik. Disamping itu diberi aneka macam kue kecil-kecil serta buah-buahan.
Gunungan wadon diletakkan tegak diatas sebuah nampan raksasa berkerangka kayu dengan ukuran kurang lebih 2 x 1,5 meter dengan diberi alas kain bangun tulak atau bango tulak. Di keempat penjuru nampan, digunakan potongan kain kuning.
Gunungan Wadon mempunyai bentuk seperti gunung dengan bagian puncak yang terlalu lancip. Juga mirip dengan payung terbuka. Bagian mustaka dihampiri kue besar berbentuk lempengan dengan warna hitam yang sekelilingnya ditancapi sejumlah besar kue berbentuk daun. Sekeliling tepinya ditancapi lidi-lidi bambu panjang, diberi kue ketan berbentuk seperti paruh burung betet, yang disebut betetan.
Bagian bawah tubuh berupa penyangga berbentuk kerucut terbalik yang dibuat dari sejumlah besar pelepah daun pisang. Selain itu diberi kue berbentuk lingkaran besar terbuat dari ketan berwarna coklat yang besar disebut wajik. Disamping itu diberi aneka macam kue kecil-kecil serta buah-buahan.
Gunungan wadon diletakkan tegak diatas sebuah nampan raksasa berkerangka kayu dengan ukuran kurang lebih 2 x 1,5 meter dengan diberi alas kain bangun tulak atau bango tulak. Di keempat penjuru nampan, digunakan potongan kain kuning.
Upacara Adat Bersih Desa Giwangan
Bersih Desa Giwangan
Kelurahan Giwangan, Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta INDONESIA
Giwangan merupakan salah satu kelurahan yang terletak di wilayah Kecamatan Umbulharjo,
Yogyakarta. Sebagian besar penduduk Kelurahan Giwangan ini bekerja di luar sektor
pertanian, dan lahan pertanian semakin lama semakin sempit. Meskipun demikian,
terdapat upacara adat yang justru diselenggarakan dalam nuansa pertanian sebagai
warisan turun temurun dari leluhur mereka yang bekerja sebagai petani. Upacara
di daerah pinggiran Kota Jogja ini disebut Bersih Desa Giwangan.
Awalnya, upacara Bersih Desa ini dilaksanakan setelah masa panen padi tiba. Pada
perkembangannya, kegiatan tradisional tersebut kini diselenggarakan pada bulan
Besar (tahun Jawa) satu tahun satu kali. Untuk harinya, tidak terpaku pada hari-hari
tertentu, hanya saja tidak pada hari pasaran Pon (pasaran Jawa) karena merupakan
hari pantangan. Masyarakat percaya bahwa hari pasaran Pon merupakan hari meninggalnya
Panembahan Senopati. Tempat pelaksanaan upacara pada waktu dulu dilaksanakan di
Pendopo, tetapi karena kemajuan jaman tempat semakin terbatas maka pelaksanaan
tempat upacara dilakukan di tempat Rois atau Kaum.
Tujuan dari penyelenggaraan upacara ini adalah sebagai ungkapan syukur kepada
Yang Maha Agung karena masyarakat Giwangan telah diberi keselamatan selama satu
tahun dan juga permohonan akan keselamatan dan kesejahteraan pada tahun–tahun
yang akan datang semoga tidak terdapat bencana atau aral melintang yang berat
di wilayah Giwangan.
Bersih Desa Giwangan ini diawali dengan berbagai macam persiapan. Diantaranya
adalah dengan melaksanakan kerja bakti di lingkungan masing-masing warga. Kemudian
juga dilakukan pembenahan jalan-jalan dan gang-gang kampung agar tampak lebih
bersih dan rapi. Di samping itu, juga dipersiapkan arena kesenian yang akan digelar
pada saat yang bersamaan dengan upacara Bersih Desa. Persiapan-persiapan tadi
kebanyakan dikerjakan oleh kaum lelaki, baik tua maupun muda.
Sedangkan bagi para perempuan, mereka mempersiapkan nasi ambengan yang digunakan
untuk kenduri. Sebagian juga mempersiapkan tumpeng dan sesaji lainya yang akan
dibagikan pada masyarakat setelah selesai kenduri. Adapun sesaji yang dipergunakan
adalah:
- Nasi Gurih, sebagai persembahan kepada para leluhur,
- Ingkung, sebagai lambang manusia ketika masih bayi dan sebagai lambang kepasrahan pada Yang Maha Agung,
- Jajan Pasar, sebagai lambang agar masyarakat mendapat berkah,
- Pisang Raja, sebagai lambang harapan agar mendapat kemuliaan dalam masa kehidupan,
- Nasi Ambengan, sebagai ungkapan syukur atas rezeki dari Yang Maha Agung,
- Jenang, berupa jenang merah putih (lambang bapak dan ibu) dan jenang palang (penolak marabahaya),
- Tumpeng, berupa tumpeng lanang (lambang Yang Maha Agung) dan tumpeng wadon (lambang penghormatan pada leluhur) yang ukurannya lebih kecil, dan
- Ketan Kolak Apem, untuk memetri pada dhanyang yang ada di wilayah Giwangan.
- Nasi Gurih, sebagai persembahan kepada para leluhur,
- Ingkung, sebagai lambang manusia ketika masih bayi dan sebagai lambang kepasrahan pada Yang Maha Agung,
- Jajan Pasar, sebagai lambang agar masyarakat mendapat berkah,
- Pisang Raja, sebagai lambang harapan agar mendapat kemuliaan dalam masa kehidupan,
- Nasi Ambengan, sebagai ungkapan syukur atas rezeki dari Yang Maha Agung,
- Jenang, berupa jenang merah putih (lambang bapak dan ibu) dan jenang palang (penolak marabahaya),
- Tumpeng, berupa tumpeng lanang (lambang Yang Maha Agung) dan tumpeng wadon (lambang penghormatan pada leluhur) yang ukurannya lebih kecil, dan
- Ketan Kolak Apem, untuk memetri pada dhanyang yang ada di wilayah Giwangan.
Pelaksanaan upacara ini dari masing–masing warga membawa nasi ambengan menuju
rumah Rois untuk diikutkan dalam kenduri, sementara uba rampe yang lain telah
dipersiapkan di rumah Rois. Setelah semua berkumpul, Rois kemudian membaca doa;
setelah selesai dilakukan makan bersama dengan pembagian ingkung dan tumpeng kepada
warga yang hadir dalam kenduri. Bagi yang tidak memakan di tempat, sesaji tersebut
dapat dibawa pulang untuk dimakan bersama keluarga sebagai sarana pembawa berkah.
Dulu, kenduri dilakukan siang hari tetapi pada saat sekarang ini dilaksanakan
pada malam hari dilanjutkan dengan pementasan hiburan dan diakhiri dengan pertunjukkan
wayang kulit dengan lakon Tumuruning Dewi Sri dimaksudkan untuk menghormati Dewi
Sri sebagai dewi padi.
Upacara Adat Becekan
Becekan
Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman INDONESIA
Upacara adat tradisional Becekan disebut juga Dandan Kali atau Memetri Kali,
yang berarti memelihara atau memperbaiki lingkungan sungai, berupa upacara meminta
hujan pada musim kemarau yang berlangsung di Kelurahan Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan,
Kabupaten Sleman.
Air sungai sangat penting bagi penduduk setempat untuk keperluan pertanian. Konon
sesudah diadakan upacara biasanya segera turun hujan sehingga tanah menjadi becek maka lalu disebut becekan. Becek diartikan juga sebagai sesaji berujud daging
kambing yang dimasak gulai. Dusun yang melaksanakan upacara ini antara lain: Dusun
Pagerjurang, Dusun Kepuh dan Dusun Manggong.
Penyelenggaraannya dibagi menjadi beberapa tahap: Pertama, memetri sumur di Dusun
Kepuh (di kawasan itu hanya dusun ini yang memiliki sumur); Kedua, upacara Becekan
dilakukan di tengah-tengah Sungai Gendol; Ketiga upacara khusus di masing-masing
dusun.
Upacara ini dimaksudkan untuk berdoa memohon hujan kepada Sang Maujud Agung agar
tanah menjadi subur, sehingga warga menjadi sehat, aman, selamat dan sejahtera.
Waktu penyelenggaraan, menggunakan pranotomongso yaitu pada mongso kapat dan harinya Jumat Kliwon, jika pada mongso kapat tidak terdapat Jumat Kliwon diundur pada mongso kalimo, sebab hari itu dianggap keramat.
Upacara ini dipimpin oleh seorang modin dan diikuti oleh warga ketiga dusun. Perlu diketahui bahwa seluruh rangkaian
acara ini harus dilakukan/diikuti oleh kaum laki-laki dan sesaji sama sekali tidak
boleh disentuh oleh wanita serta kambing untuk sesaji harus kambing jantan.
Adapun tujuan dari penyelenggaraan berbagai prosesi selamatan tersebut konon
adalah untuk berdoa memohon keselamatan dan kelimpahan rejeki kepada Sang Maujud
Agung serta memberi sedekah kepada makhluk halus penghuni Merapi agar tidak mengganggu
penduduk, damai dan terbebas dari marabahaya, sehingga tercipta satu harmoni antara
manusia dan lingkungan alam.
Upacara Adat Bersih Desa Sendang Agung
Bersih Desa Sendang Agung
Desa Sendang Agung, Kecamatan Minggir, Sleman INDONESIA
Sendang Agung adalah sebuah desa yang terletak di wilayah Kecamatan Minggir,
Sleman. Di desa ini, terdapat sebuah upacara adat yang memusatkan "pemujaan" kepada
tokoh Ki Ageng Tunggul Wulung, yang dipercayai sebagai leluhur dari Kerajaan Majapahit.
Upacara adat tersebut dikenal dengan nama upacara Tunggul Wulung atau Bersih Desa
Sendang Agung yang penyelenggaraannya, selain pemujaan kepada leluhur, terkait
juga dengan keberhasilan panen raya penduduk setempat.
Upacara adat Bersih Desa ini secara umum memang untuk meminta keselamatan dan
kesejahteraan kepada Yang Maha Agung. Namun dalam kenyataannya, masyarakat masih
kuat mempercayai "kekuatan gaib", termasuk arwah nenek moyang atau leluhur. Masyarakat
akan merasa tenang setelah melakukan upacara adat tersebut karena dengan demikian
mereka akan memperoleh keselamatan dan "kekuatan" yang dianggap melebihi kekuatan
diri sendiri. Yang penting adalah bahwa masyarakat harus mengadakan upacara walaupun
hanya sederhana, sebab kalau sampai tidak menjalani upacara orang akan merasa
khawatir atas keselamatannya.
Tujuan lain yang umum dikenal dan dilakukan oleh masyarakat Desa Sendang Agung
adalah, sebagai berikut:
- Terpadunya rasa keutuhan dan persatuan warga,
- Kebersihan lingkungan dapat terjamin,
- Kondisi desa dan masyarakat diberikan ketentraman lahir batin,
- Terhindar dan bencana alam, dan
- Terhindar dari serangan hama, sehingga dapat diberikan hasil yang berlimpah.
- Terpadunya rasa keutuhan dan persatuan warga,
- Kebersihan lingkungan dapat terjamin,
- Kondisi desa dan masyarakat diberikan ketentraman lahir batin,
- Terhindar dan bencana alam, dan
- Terhindar dari serangan hama, sehingga dapat diberikan hasil yang berlimpah.
Tujuan-tujuan tersebut diperoleh secara turun-temurun dari nenek moyang mereka.
Penyebaran di antara masyarakat sendiri berlangsung secara gethok tular (dari mulut ke mulut). Berkaitan dengan waktu pelaksanaan, bulannya dapat ditentukan
sendiri, hanya saja harinya ditetapkan pada hari Jumat Pon yang dipercaya sebagai
hari yang dikeramatkan oleh Ki Ageng Tunggul Wulung. Selain itu, panen rendhengan (musim penghujan) ikut menentukan waktu pelaksanaan upacara. Sebagai pelengkap
unsur upacara adat, diadakan tarian tradisional Tayub dan minuman arak.
Upacara adat Tunggul Wulung atau Bersih Desa Sendang Agung ini dimulai dari zaman
kehancuran Kerajaan Majapahit dan mulai masuknya Islam di Nusantara. Banyak kerabat
atau punggawa kerajaan yang tidak menerima kehadiran Islam, karena telah menganut
Hindu. Saat itu di pulau Jawa telah muncul kerajaan Islam, yaitu Demak yang dipimpin
oleh Sultan Trenggono dengan penasehat para Wali Sanga. Kerajaan Majapahit yang
dipimpin oleh Prabu Brawijaya sedang mengalami kemunduran dan kesempatan itu digunakan
untuk memasukkan ajaran Islam di Majapahit dengan jalan menjodohkan putri Brawijaya
dengan putra Demak, yaitu Adipati Terung.
Kemudian periode penyebaran Islam di Majapahit dimulai. Banyak kerabat dan punggawa
kerajaan Majapahit yang meninggalkan kerajaan termasuk Ki Ageng Tunggul Wulung.
Ki Ageng Tunggul Wulung pergi dari Majapahit dengan tujuh pengawal termasuk istrinya,
yaitu Raden Ayu Gadhung Mlati, tidak ketinggalan Raden Sutejo dan Raden Purworejo
yang bersifat kajiman (tidak kasat mata) yang selalu menyertai perjalanan Ki Ageng Tunggul Wulung.
Di samping itu, perjalanan Ki Ageng Tunggul Wulung juga disertai oleh abdi dalem
kinasih yang bernama Nyai Dakiyah.
Perjalanan Ki Ageng Tunggul Wulung menuju ke Barat dan tiba di Dusun Beji (Diro)
di mana kemudian ia membuat pesanggrahan (kraton kecil) yang masih dapat ditemukan sisa-sisa peninggalan berupa patung
pepethan lembu Andhini dan sapi Gumarang. Pada suatu malam Jumat Pon, Ki Ageng Tunggul
Wulung memohon petunjuk kepada Yang Maha Agung di bawah pohon Timoho di dekat
Sungai Progo. Ki Ageng Tunggul Wulung serta istri dan tujuh orang pengawalnya
serta Nyai Dakiyah akhirnya mokswa (musnah atau hilang beserta raganya atau hilang tanpa bekas), demikian pula
binatang peliharaan Ki Ageng, yaitu burung perkutut, burung gemak, macan gembong,
macan kumbang, macan putih, nogo ijo, nogo ireng, dan ayam jago "wiring kuning".
Tempat mokswa Ki Ageng Tunggul Wulung tersebut kemudian dibuatkan nisan seperti layaknya makam,
dan diyakini masyarakat banyak sebagai tempat yang keramat atau wingit (memiliki daya magis), sehingga banyak orang yang berziarah di "makam" ini.
Tradisi tayuban di wilayah ini dimulai dari seorang ledhek (penari perempuan)
yang mencari penglaris agar bila menari ledhek tersebut mendapatkan banyak rezeki.
Kemudian ledhek tersebut tirakat (laku prihatin) di kompiek makam Ki Ageng Tunggul Wulung, tetapi kemudian hilang
tidak diketahui rimbanya. Masyarakat menyakini bahwa ledhek yang menghilang disukai
oleh Ki Ageng Tunggul Wulung.
Pada perkembangan selanjutnya setiap Upacara Bersih Desa diadakan kenduri selamatan
baik di makam maupun di rumah Juru Kunci yang kemudian dilanjutkan dengan tayuban
dengan diiringi gendhing "Sekar Gadhung" dan sang ledhek menari tanpa diibing,
karena menurut keyakinan yang ngibing adalah Ki Ageng Tunggul Wulung.
Upacara adat Tunggul Wulung atau Bersih Desa Sendang Agung dilaksanakan di lokasi
"makam" Ki Ageng Tunggul Wulung, yaitu di Dusun Dukuhan XIII, Desa Sendang Agung,
Kecamatan Minggir, Sleman. Selain itu, juga diadakan upacara di rumah Juru Kunci
"makam" tersebut. Dalam kaitannya dengan prosesi upacara adat, sebenarnya ada
juga tempat lain yang dapat disebutkan, yaitu Dusun Dero (Desa Sendang Agung,
Minggir, Sleman) sebagai tempat awal sebelum dilakukan kirab menuju ke Dusun Dukuhan
XIII.
Upacara adat secara umum dipimpin oleh Juru Kunci dalam hal penentuan waktu upacara,
orang-orang yang terlibat, dan persiapan upacara. Khusus pemimpin kenduri, di
makam, dipimpin oleh Juru Kunci dan di rumah Juru Kunci, dipimpin oleh Kaum atau
Rois.
Peralatan yang diperlukan dalam penyelenggaraan upacara meliputi :
- Goci dan sloki, sebagai wadah minuman yang dipersembahkan bagi Ki Ageng Tunggul Wulung,
- Padi satu unting, sebagai lambang hasil panenan yang berlimpah,
- Gamelan laras slendro, untuk mengiringi tarian ledhek pada saat tayuban (Ladrang Sekar Gadhung),
- Selendang atau sampur, sebagai kelengkapan menari ledhek.
- Goci dan sloki, sebagai wadah minuman yang dipersembahkan bagi Ki Ageng Tunggul Wulung,
- Padi satu unting, sebagai lambang hasil panenan yang berlimpah,
- Gamelan laras slendro, untuk mengiringi tarian ledhek pada saat tayuban (Ladrang Sekar Gadhung),
- Selendang atau sampur, sebagai kelengkapan menari ledhek.
Adapun isi sesaji yang diperlukan sebagai pelengkap kenduri adalah:
- Tumpeng sekul wuduk, sebagai lambang kekuasaan manusia senantiasa di bawah Yang Maha Agung
- Lalapan
- Nasi golong, sebagai lambang gumolonging atau kebulatan tekad manembah kepada Yang Maha Agung
- Pisang raja setangkep
- Tukon pasar
- Ingkung "wiring kuning", dari ayam jago sebagai lambang manekung kepada Yang Maha Agung
- Kopi, arak, kinang, dan rokok cerutu
- Tumpeng sekul wuduk, sebagai lambang kekuasaan manusia senantiasa di bawah Yang Maha Agung
- Lalapan
- Nasi golong, sebagai lambang gumolonging atau kebulatan tekad manembah kepada Yang Maha Agung
- Pisang raja setangkep
- Tukon pasar
- Ingkung "wiring kuning", dari ayam jago sebagai lambang manekung kepada Yang Maha Agung
- Kopi, arak, kinang, dan rokok cerutu
Kirab upacara adat Tunggul Wulung ini mempunyai prosesi tersendiri, yaitu:
1. Prajurit dan Dusun Dukuhan berjumlah 40 orang dengan manggalayuda,
2. Kelompok kesepuhan Dukuhan berjumlah 7 orang,
3. Para pemikul pusaka pemberian Ki Ageng Tunggul Wulung,
4. Klangenan Ki Ageng antara lain: perkutut, gemak, macan, ular, dan lain-lain,
5. Prajurit pembawa pusaka pengiring, diantaranya: prajurit dari Dusun Dukuhan XII berjumlah 30 orang yang dipimpin oleh seorang pandega (komandan) prajurit dengan membawa pedang-tameng,
6. Penabuh drum, simbal, dan trompet berjumlah 10 orang,
7. Para pemikul sesaji (dari RT/RW Tengahan X, XI, XII, dan Dukuhan serta dari tingkat desa dan kecamatan),
8. Kelompok Jathilan, dari Minggir II Jati Kebar,
9. Arak-arakan hasil bumi dengan dimuat dalam keseran yang dihias, dari Dukuhan X, XI, dan XII, Tengahan, Diro, petani sekitar Desa-desa se Kecamatan Minggir
10. Kelompok kesenian dari Brajan,
11. Para kepala desa dan punggawa kecamatan,
12. Kelompok kesenian Trengganon dari Parakan Sendang Sari,
13. Para kepala dusun Sendang Mulyo dan Sendang Agung yang berbusana kejawen lengkap,
14. Jathilan Jawa dari Kedung Prau Sendangrejo (Minggir) berbusana wayang orang lengkap,
15. Warga masyarakat dan tokoh masyarakat Dukuhan berbusana kejawen lengkap,
16. Jathilan Rapak dari Keliran,
17. Warga masyarakat pendherek dari Diro dan tokoh-tokoh masyarakat pembawa hasil bumi,
18. Jathilan dari Plembon, dan
19. Warga masyarakat umum.
1. Prajurit dan Dusun Dukuhan berjumlah 40 orang dengan manggalayuda,
2. Kelompok kesepuhan Dukuhan berjumlah 7 orang,
3. Para pemikul pusaka pemberian Ki Ageng Tunggul Wulung,
4. Klangenan Ki Ageng antara lain: perkutut, gemak, macan, ular, dan lain-lain,
5. Prajurit pembawa pusaka pengiring, diantaranya: prajurit dari Dusun Dukuhan XII berjumlah 30 orang yang dipimpin oleh seorang pandega (komandan) prajurit dengan membawa pedang-tameng,
6. Penabuh drum, simbal, dan trompet berjumlah 10 orang,
7. Para pemikul sesaji (dari RT/RW Tengahan X, XI, XII, dan Dukuhan serta dari tingkat desa dan kecamatan),
8. Kelompok Jathilan, dari Minggir II Jati Kebar,
9. Arak-arakan hasil bumi dengan dimuat dalam keseran yang dihias, dari Dukuhan X, XI, dan XII, Tengahan, Diro, petani sekitar Desa-desa se Kecamatan Minggir
10. Kelompok kesenian dari Brajan,
11. Para kepala desa dan punggawa kecamatan,
12. Kelompok kesenian Trengganon dari Parakan Sendang Sari,
13. Para kepala dusun Sendang Mulyo dan Sendang Agung yang berbusana kejawen lengkap,
14. Jathilan Jawa dari Kedung Prau Sendangrejo (Minggir) berbusana wayang orang lengkap,
15. Warga masyarakat dan tokoh masyarakat Dukuhan berbusana kejawen lengkap,
16. Jathilan Rapak dari Keliran,
17. Warga masyarakat pendherek dari Diro dan tokoh-tokoh masyarakat pembawa hasil bumi,
18. Jathilan dari Plembon, dan
19. Warga masyarakat umum.
Pada akhir upacara, biasanya diselenggarakan pagelaran wayang kulit dengan lakon
cerita "Makukuhani" atau "Sri Mulih" atau "Sri Boyong" yang mengisahkan legenda
Dewi Sri sebagai lambang kemakmuran agar terus bersemayam di dusun tersebut.
Upacara Adat Jodhangan Cerme
Adat Jodhangan Cerme
Dusun Srunggo, Desa Selopamioro Imogiri, Bantul INDONESIA
Desa Selopamioro memiliki berbagai kegiatan sosial dan seni budaya. Salah satu
kegiatan budaya adalah Jodhangan. Upacara ini dilaksanakan di pelataran Goa Cerme
di perbukitan Imogiri yang terletak di dusun atau Srunggo I dan Srunggo II. Upacara
Jodhangan yang sudah berlangsung turun temurun. Sesuai tradisi, upacara tersebut
dilaksanakan Ahad Pahing di bulan Besar (Dzulhijjah) menurut kalender Jawa.
Upacara diawali dengan menggunting buntal kemudian dilaksanakan kirab 18 jodhang
di Balai desa Selopamioro menuju gua cerme sejauh 1 kilometer, dipikul dengan
jalan kaki. Sebagian besar warga Srunggo, terutama yang mengikuti kirab, mengenakan
busana jawa. Sebagai rangkaian upacara budaya, sebelumnya diadakan bersih desa
yang mengandung makna menjauhkan warga Srunggo dari hal-hal yang sifatnya negatif,
seperti hubungan antar warga yang tidak harmonis, lunturnya semangat untuk memajukan
daerah dan sebagainya
Di dalam jodhang atau usungan itu berisi nasi beserta lauk pauk untuk kenduri,
sayur mayur, buah-buahan serta padi yang sudah menguning. Seluruh isi jodhang
itu melambangkan kemakmuran dari warga dua desa, Srunggo I dan II. Mereka bersyukur
atas limpahan rahmat, berkat dan rejeki. Mereka juga memohon agar di tahun-tahun
mendatang tetap mendapatkan limpahan rejeki, rahmat dan berkat Tuhan.
Selain jodhang buatan warga 18 RT di dua dusun Srunggo tersebut, ada satu jodhang
besar yang dibuat secara khusus atas pesanan 15 warga di luar desa Srunggo. Mereka
mempunyai ujub khusus yang berbeda-beda. Ada yang minta kepada Tuhan YME agar
hasil panen padi miliknya hasilnya tetap bagus; ada yang berujub agar usahanya
berhasil, diberi ketentraman lahir batin dan ada yang memohon kepada Tuhan agar
penyakit yang diderita keluarganya segera sembuh.
Di jaman para Wali dulu, konon gua ini tempat bermusyawarah para tokoh Islam
itu. Sebagian masalah yang menjadi bahan pembicaraan adalah bagaimana kiat-kiat
para wali dalam memberikan ceramah dan syiar agar warga masyarakat dengan rela
memeluk agama Islam.
Upacara Adat Grebeg Maulud
Garebeg Maulud
Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Yogyakarta INDONESIA 55122
Garebeg secara politik juga menjabarkan gelar Sultan yang bersifat kemuslimatan
(Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifatullah). Selama satu tahun terdapat tiga kali upacara garebeg yaitu Garebeg Mulud,
Garebeg Besar, dan Garebeg Sawal yang diselenggarakan di kompleks Kraton dan lingkungan
sekitarnya, seperti di Alun-alun Utara.
Garebeg Mulud diselenggarakan untuk memperingati hari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW yang jatuh tepat pada tanggal 12 Rabiulawal. Bulan Rabiulawal
disebut juga bulan Mulud dalam kalender Jawa-Islam. Itulah sebabnya garebeg yang
diselenggarakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, disebut Garebeg
Mulud. Sebenarnya tanggal 12 Rabiulawal mempunyai dua arti penting dalam riwayat
hidup Sang Nabi, karena diyakini oleh umat Islam bahwa Nabi Muhammad SAW lahir
dan wafat pada tanggal dan bulan yang sama.
Tradisi memperingati hari lahir Sang Nabi ini baru tumbuh setelah agama Islam
berkembang luas ke negara-negara lain di luar jazirah Arab. Hari lahir Nabi Muhammad
SAW bukanlah hari raya resmi Islam, sebab Islam hanya mengenal dua hari raya,
yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Perayaan hari lahir Nabi Muhammad SAW sebagai
upacara kerajaan ini dipelopori oleh Kesultanan Demak, dari zaman ke zaman dilestarikan
oleh para raja Jawa yang kemudian dikenal sangat populer sebagai Garebeg Mulud.
Sebelum Garebeg Mulud diselenggarakan, terdapat beberapa kegiatan adat yang dilaksanakan
dalam lingkungan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yaitu:
- Upacara Gladi Resik untuk kesiapan prajurit Kraton oleh Bupati Nayoko Kawedanan Ageng Prajurit,
- Upacara Numplak Wajik sebagai tanda permulaan pembuatan gunungan,
- Upacara Miyosipun Hajad Dalem sebagai puncak upacara dengan mengiring keluarnya Hajad Dalem yang berujud gunungan dari dalam Kraton ke Masjid Besar oleh Kyai Pengulu Kraton.
- Upacara Gladi Resik untuk kesiapan prajurit Kraton oleh Bupati Nayoko Kawedanan Ageng Prajurit,
- Upacara Numplak Wajik sebagai tanda permulaan pembuatan gunungan,
- Upacara Miyosipun Hajad Dalem sebagai puncak upacara dengan mengiring keluarnya Hajad Dalem yang berujud gunungan dari dalam Kraton ke Masjid Besar oleh Kyai Pengulu Kraton.
Selain Garebeg Mulud, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat juga menyelenggarakan
Garebeg Mulud Dal yang terjadi setiap satu windu sekali, dan dilaksanakan secara
istimewa dengan penuh kemegahan, serta lebih banyak mengungkapkan unsur-unsur
kebudayaan lama identitas raja, kerajaan Jawa.
Dalam Garebeg Mulud Dal, Sultan hadir di Masjid Besar di tengah publik dengan
memperlihatkan tradisi Kejawen yang penuh dengan unsur-unsur kebudayaan Jawa Kuno,
berbagai macam pusaka Kraton yang sangat keramat sebagai pernyataan tradisional
bahwa sultan dan Kasultanan Yogyakarta adalah ahli waris sah dari para raja dan
kerajaan Jawa terdahulu. Juga menyatakan sikap tradisional sultan sebagai wakil
dari suku bangsanya dalam memuliakan para leluhur.
Kehadiran Sultan di Masjid Besar ditujukan juga untuk melakukan kegiatan religius
Islam yakni menendang tumpukan batu-bata yang ditempatkan di pintu terbuka di
pagar tembok bagian selatan Masjid Besar. Hal ini merupakan tindakan simbolik
yang melambangkan rakyat pada zaman Kasultanan Demak secara resmi telah meninggalkan
agama Hindu�Budha untuk memeluk agama Islam. Upacara ini dilakukan hanya setiap
delapan tahun sekali atau sekali dalam sewindu.
Gunungan Mulud Dal disebut sebagai Gunungan Kutug atau Gunungan Bromo. Di bagian
puncak, diberi lubang untuk menampakkan sebuah anglo berisi bara yang membakar
segumpal besar kemenyan, sehingga secara terus menerus mengepulkan asap tebal
jika dihembus angin. Pajangannya berupa beraneka macam kue berwarna-warni hampir
sama dengan pajangan Gunungan Lanang, bervariasi dengan Gunungan Wadon. Di bagian
bawah, beralaskan kain banung tulak dan diletakkan tegak di atas sebuah nampan raksasa berkerangka kayu berukuran
2 x 1,5 m.
Upacara Adat Babat Dalan Giring
Desa Giring merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Paliyan. Desa yang terletak
di bagian selatan Kota Wonosari ini wilayahnya relatif dekat dengan jalan raya.
Oleh karena itu, jaringan listrik sudah masuk hampir di semua wilayah Giring.
Ada enam dusun yang ada di bawah Desa Giring, yaitu Bulu, Singkil, Pengos, Gunungdawa,
Pulebener, dan Nasri. Mayoritas wilayah Desa Giring, merupakan tanah kering, dan
sebagian berupa hutan, sedikit tanah sawah dengan variasi tanaman jagung, ubi
kayu, kacang tanah, dan kedelai. Sebagian besar rumah tangga Desa Giring masih
mengkonsumsi kayu bakar untuk keperluan dapurnya. Kebutuhan air dipenuhi dari
sungai atau danau yang ada di desa tersebut.
Desa Giring mengingatkan adanya nama tokoh yang cukup dikenal. Dari cerita yang
berkembang dalam masyarakat mengenai desa tersebut. Desa Giring memang terkait
dengan beberapa peristiwa, seperti misalnya upacara Babat Dalan yang terkait dengan
tokoh Ki Ageng Giring, yang dulu dikenal dengan nama Kyai Ageng Wonomenggolo,
putra Majapahit Prabu Brawijaya IV.
Menurut cerita, dahulu di Giring dan Sada pernah terjadi wabah atau pagebluk.
Para tokoh masyarakat kemudian berupaya mencari makam Ki Ageng Giring. Pada saat
mencari makam tersebut, di sepanjang jalan mereka "mbabati" atau membersihkan jalan yang menuju ke lokasi makam. Sepanjang jalan mereka
mendapati sebidang tanah yang bau wangi dan tulang/bangkai burung berceceran disekitarnya.
Saat membuat jalan tersebut, ditemukan beberapa buah benda yaitu tutup kepala
dan sebuah tongkat (diberi nama teken dan kethu) yang dipercayai bahwa benda tersebut milik Ki Ageng Giring.
Para pencari makam tadi melakukan semedi dan berjanji akan melakukan syukuran "ambengan" bila Desa Giring dan Sada dapat kembali seperti dulu tanpa pagebluk. Ki Ageng Giring secara kebetulan disemayamkan di Desa Sada.
Para pencari makam tadi melakukan semedi dan berjanji akan melakukan syukuran "ambengan" bila Desa Giring dan Sada dapat kembali seperti dulu tanpa pagebluk. Ki Ageng Giring secara kebetulan disemayamkan di Desa Sada.
Cerita tersebut mengandung ajaran kepada seseorang untuk "membersihkan jiwa dari
hal-hal yang tidak baik", mengingat Ki Ageng Giring adalah murid Sunan Kalijaga.
Dahulu masyarakat setempat melaksanakan upacara ini di masjid Sada dengan sarana
upacara adalah "ringin kurung" harus diikat dengan janur, dan mereka membawa clathung (arit) untuk mengambil janur yang dipasang pada pohon kukun (yang ditanam oleh sesepuh Giring).
Sekitar tahun 1985, upacara Babat Dalan sudah tidak lagi diperhatikan oleh masyarakat
setempat, khususnya Desa Giring. Kini upacara tersebut hanya diselenggarakan secara
individual dengan membuat ambengan dan pengajian. Orang-orang dusun sendiri membawa
ambengan, yaitu nasi di tenggok dan lawuhan (lauk pauk).
Upacara Babat Dalan diselenggarakan satu tahun sekali di Desa Giring dan Desa
Sada, setelah petani panen padi yaitu pada hari Jumat kliwon pukul 15.00 WIB.
Upacara ini diadakan pada hari tersebut karena ada hubungannya dengan saat utusan
dari Kraton mencari tempat makamnya Ki Ageng Giring. Dahulu upacara tersebut dilaksanakan
secara bersama-sama di Desa Giring, namun dalam perkembangannya, kedua desa masing-masing
melaksanakan sendiri.
Tujuan utama diadakannya upacara ini untuk mengingatkan ajaran–ajaran Ki Ageng
Giring yang terkandung dalam upacara Babat Dalan yaitu mendekatkan diri kepada
Yang Maha Agung, keprihatinan, dan keteguhan hati dalam keimanan. Selain itu,
berkaitan pula dengan adanya kepercayaan supaya warga desa diberi keselamatan
dan kesejahteraan dengan mengadakan upacara tradisional tersebut.
Pada hari Kamis Wage, dusun-dusun yang berada di wilayah Desa Giring, mengadakan
malam tirakatan, dan pada pagi harinya, Jumat Kliwon, semua sesaji yang telah
dipersiapkan dibawa ke balai desa tempat upacara.
Sesaji yang diperlukan dalam upacara Babat Dalan berupa:
- Abon–abon, yang berisi kemeyan, tembakau, kemmbang telon, dan sekedar uang,
- Jenang, dengan warna abang, abang-putih, baro-baro, moncowarno, pliringan, dan blowok
- Tumpeng, yaitu among-among, tempung asmpur, ambengan, nasi wudhuk-ingkung ayam, jadah woran, abon kelapa, pisang ayu, brakahan (polo kependhem, polo gumantung),
- Abon–abon, yang berisi kemeyan, tembakau, kemmbang telon, dan sekedar uang,
- Jenang, dengan warna abang, abang-putih, baro-baro, moncowarno, pliringan, dan blowok
- Tumpeng, yaitu among-among, tempung asmpur, ambengan, nasi wudhuk-ingkung ayam, jadah woran, abon kelapa, pisang ayu, brakahan (polo kependhem, polo gumantung),
Setiap sesaji mempunya makna dan tujuan tertentu:
- Nasi liwet, untuk menghormati yang menjaga kelestarian luar dan dalam rumah masing–masing,
- Jenang merah putih, untuk menghormati terjadinya kedua wahyu dari ayah dan ibu,
- Jenang merah, untuk menghormati penguasa Sangkala yaitu Baginda Ambyah,
- Jenang baro–baro, untuk peringatan wahyu yang lahir bersama penetapan namun lain tempat,
- Jenang moncowarno, untuk memperingati kiblat empat lima yang ditempati,
- Jenang piringan, untuk memperingati sahabatnya Nyai Roro Kidul,
- Tumpeng Among, untuk memperingati malaikat pamomong semua warga masyarakat dan hak pemilikan semua warga,
- Tumpeng Sampur, untuk melambangkan saat menerima wahyu agar bisa sempurna dan lestari,
- Nasi Ambeng, untuk peringatan para arwah leluhur yang telah mendahului menghadap Yang Maha Agung,
- Nasi Memule, untuk peringatan semua yang ada di muka bumi dan di bawah langit,
- Nasi Tumpeng Batok Bolu, untuk peringatan yang berkewajiban menjaga sebelah pintu kiri luar dan dalam,
- Apem Goreng, permohonan ampun bilamana banyak kesalahan para arwah leluhur agar semua sukma yang masih di pintu neraka segera diterima disisi Yang Maha Agung,
- Nasi Tumpeng Alus, permohonan agar semua permintaan dikabulkan,
- Pisang Ayu, untuk mangayu–ayuning bawono murih raharjaning praja dalam arti semua keberadaan di muka bumi dari Yang Maha Agung wajib dilestarikan,
- Brakalan (polo kependem, polo rambat), untuk mengingatkan bahwa masa hidupnya Ki Ageng Giring adalah petani yang menanam jenis tanaman tersebut dan tidak lupa makan jenis makanan tadi, yang menggambarkan cara hidup sederhana.
- Nasi liwet, untuk menghormati yang menjaga kelestarian luar dan dalam rumah masing–masing,
- Jenang merah putih, untuk menghormati terjadinya kedua wahyu dari ayah dan ibu,
- Jenang merah, untuk menghormati penguasa Sangkala yaitu Baginda Ambyah,
- Jenang baro–baro, untuk peringatan wahyu yang lahir bersama penetapan namun lain tempat,
- Jenang moncowarno, untuk memperingati kiblat empat lima yang ditempati,
- Jenang piringan, untuk memperingati sahabatnya Nyai Roro Kidul,
- Tumpeng Among, untuk memperingati malaikat pamomong semua warga masyarakat dan hak pemilikan semua warga,
- Tumpeng Sampur, untuk melambangkan saat menerima wahyu agar bisa sempurna dan lestari,
- Nasi Ambeng, untuk peringatan para arwah leluhur yang telah mendahului menghadap Yang Maha Agung,
- Nasi Memule, untuk peringatan semua yang ada di muka bumi dan di bawah langit,
- Nasi Tumpeng Batok Bolu, untuk peringatan yang berkewajiban menjaga sebelah pintu kiri luar dan dalam,
- Apem Goreng, permohonan ampun bilamana banyak kesalahan para arwah leluhur agar semua sukma yang masih di pintu neraka segera diterima disisi Yang Maha Agung,
- Nasi Tumpeng Alus, permohonan agar semua permintaan dikabulkan,
- Pisang Ayu, untuk mangayu–ayuning bawono murih raharjaning praja dalam arti semua keberadaan di muka bumi dari Yang Maha Agung wajib dilestarikan,
- Brakalan (polo kependem, polo rambat), untuk mengingatkan bahwa masa hidupnya Ki Ageng Giring adalah petani yang menanam jenis tanaman tersebut dan tidak lupa makan jenis makanan tadi, yang menggambarkan cara hidup sederhana.
Sebelum acara dimulai, pemimpin upacara membacakan satu per satu jenis sesaji,
dan para pesertanya menyetujui dan membenarkannya. Tepat pukul 15.00 WIB, upacara
dimulai dengan mengikrarkan ujub oleh sesepuh desa disertai dengan pembakaran
kemenyan dan pembacaan mantra suci, yaitu pemusatan hati ke alam semedi menurut
kepercayaan masing-masing. Setelah itu dilanjutkan dengan doa selamat.
Selesai doa selamat, semua sesaji yang berupa nasi dan lauk pauk dimakan bersama.
Biasanya ada sisa nasi yang dibawa pulang, baik untuk keluarga yang tidak bisa
ikut upacara, maupun untuk dikeringkan menjadi aking. Aking tersebut dicampur
dengan benih padi agar ketika benih tersebut disebarkan di lahan, para warga akan
memperoleh hasil panen yang baik, karena sudah mendapat berkah dari Ki Ageng Giring.
Upacara Adat Sekaten Jogja
Di wilayah
Kotamadya Yogyakarta, terdapat upacara adat yang disebut sebagai Sekaten atau
yang lebih dikenal dengan istilah Pasar Malam Perayaan Sekaten karena sebelum
upacara Sekaten diadakan kegiatan pasar malam terlebih dahulu selama satu bulan
penuh. Tradisi yang ada sejak zaman Kerajaan Demak (abad ke-16) ini diadakan
setahun sekali pada bulan Maulud, bulan ke tiga dalam tahun Jawa, dengan
mengambil lokasi di pelataran atau Alun-alun Utara Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat.
Asal usul
istilah Sekaten berkembang dalam beberapa versi. Ada yang berpendapat bahwa
Sekaten berasal dari kata Sekati, yaitu nama dari dua perangkat pusaka Kraton
berupa gamelan yang disebut Kanjeng Kyai Sekati yang ditabuh dalam rangkaian
acara peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW. Pendapat lain mengatakan bahwa
Sekaten berasal dari kata suka dan ati (suka hati, senang hati) karena
orang-orang menyambut hari Maulud tersebut dengan perasaan syukur dan bahagia
dalam perayaan pasar malam di Alun-alun Utara.
Pendapat lain
mengatakan bahwa kata Sekaten berasal dari kata syahadataini, dua kalimat dalam
Syahadat Islam, yaitu syahadat taukhid (Asyhadu alla ila-ha-ilallah) yang
berarti "saya bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah" dan syahadat
rasul (Waasyhadu anna Muhammadarrosululloh) yang berarti "saya bersaksi
bahwa Nabi Muhammad utusan Allah".
Upacara Sekaten
dianggap sebagai perpaduan antara kegiatan dakwah Islam dan seni. Pada awal
mula penyebaran agama Islam di Jawa, salah seorang Wali Songo, yaitu Sunan
Kalijaga, mempergunakan kesenian karawitan (gamelan Jawa) untuk memikat
masyarakat luas agar datang untuk menikmati pergelaran karawitan-nya dengan
menggunakan dua perangkat gamelan Kanjeng Kyai Sekati. Di sela-sela pergelaran,
dilakukan khotbah dan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Bagi mereka yang
bertekad untuk memeluk agama Islam, diwajibkan mengucapkan kalimat Syahadat,
sebagai pernyataan taat kepada ajaran agama Islam.
Di kalangan
masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, muncul keyakinan bahwa dengan ikut
merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang bersangkutan akan mendapat
pahala dari Yang Maha Agung, dan dianugerahi awet muda. Sebagai syarat, mereka
harus menguyah sirih di halaman Masjid Agung Yogyakarta, terutama pada hari
pertama dimulainya perayaan Sekaten. Oleh karena itu, selama perayaan, banyak
orang berjualan sirih dengan ramuannya, nasi gurih beserta lauk-pauknya di
halaman Kemandungan, di Alun-alun Utara atau di depan Masjid Agung Yogyakarta.
Bagi para petani, dalam kesempatan ini memohon pula agar panenannya yang akan
datang berhasil. Untuk memperkuat tekadnya ini, mereka membeli cambuk untuk
dibawa pulang.
Sebelum upacara
Sekaten dilaksanakan, diadakan dua macam persiapan, yaitu persiapan fisik dan
spiritual. Persiapan fisik berupa peralatan dan perlengkapan upacara Sekaten,
yaitu Gamelan Sekaten, Gendhing Sekaten, sejumlah uang logam, sejumlah bunga
kanthil, busana seragam Sekaten, samir untuk niyaga, dan perlengkapan lainnya,
serta naskah riwayat maulud Nabi Muhammad SAW.
Gamelan Sekaten
adalah benda pusaka Kraton yang disebut Kanjeng Kyai Sekati dalam dua rancak,
yaitu Kanjeng Kyai Nogowilogo dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan Sekaten
tersebut dibuat oleh Sunan Giri yang ahli dalam kesenian karawitan dan disebut-sebut
sebagai gamelan dengan laras pelog yang pertama kali dibuat. Alat pemukulnya
dibuat dari tanduk lembu atau tanduk kerbau dan untuk dapat menghasilkan bunyi
pukulan yang nyaring dan bening, alat pemukul harus diangkat setinggi dahi
sebelum dipuk pada masing-masing gamelan.
Sedangkan
Gendhing Sekaten adalah serangkaian lagu gendhing yang digunakan, yaitu Rambu
pathet lima, Rangkung pathet lima, Lunggadhung pelog pathet lima, Atur-atur
pathet nem, Andong-andong pathet lima, Rendheng pathet lima, Jaumi pathet lima,
Gliyung pathet nem, Salatun pathet nem, Dhindhang Sabinah pathet em, Muru
putih, Orang-aring pathet nem, Ngajatun pathet nem, Batem Tur pathet nem,
Supiatun pathet barang, dan Srundeng gosong pelog pathet barang.
Untuk persiapan
spiritual, dilakukan beberapa waktu menjelang Sekaten. Para abdi dalem Kraton
Yogyakarta yang nantinya terlibat di dalam penyelenggaraan upacara
mempersiapkan mental dan batin untuk mengembang tugas sakral tersebut. Terlebih
para abdi dalem yang bertugas memukul gamelan Sekaten, mereka mensucikan diri
dengan berpuasa dan siram jamas.
Sekaten dimulai
pada tanggal 6 Maulud (Rabiulawal) saat sore hari dengan mengeluarkan gamelan
Kanjeng Kyai Sekati dari tempat persemayamannya, Kanjeng Kyai Nogowilogo
ditempatkan di Bangsal Trajumas dan Kanjeng Kyai Guntur Madu di Bangsal
Srimanganti. Dua pasukan abdi dalem prajurit bertugas menjaga gamelan pusaka
tersebut, yaitu prajurit Mantrijero dan prajurit Ketanggung. Di halaman
Kemandungan atau Keben, banyak orang berjualan kinang dan nasi wuduk.
Lepas waktu
sholat Isya, para abdi dalem yang bertugas di bangsal, memberikan laporan
kepada Sri Sultan bahwa upacara siap dimulai. Setelah ada perintah dari Sri
Sultan melalui abdi dalem yang diutus, maka dimulailah upacara Sekaten dengan
membunyikan gamelan Kanjeng Kyai Sekati.
Yang pertama
dibunyikan adalah Kanjeng Kyai Guntur Madu dengan gendhing racikan pathet
gangsal, dhawah gendhing Rambu. Menyusul kemudian dibunyikan gamelan Kanjeng
Kyai Nogowilogo dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu.
Demikianlah dibunyikan secara bergantian antara Kanjeng Kyai Guntur Madu dan
Kanjeng Kyai Nogowilogo. Di tengah gendhing, Sri Sultan datang mendekat dan
gendhing dibuat lembut sampai Sri Sultan meninggalkan kedua bangsal. Sebelumnya
Sri Sultan (atau wakil Sri Sultan) menaburkan udhik-udhik di depan gerbang
Danapertapa, bangsal Srimanganti, dan bangsal Trajumas.
Tepat pada pukul
24.00 WIB, gamelan Sekaten dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta dengan
dikawal kedua pasukan abdi dalem prajurit Mantrijero dan Ketanggung. Kanjeng
Kyai Guntur Madu ditempatkan di pagongan sebelah selatan gapuran halaman Masjid
Agung dan Kanjeng Kyai Nogowilogo di pagongan sebelah utara. Di halaman masjid
tersebut, gamelan Sekaten dibunyikan terus menerus siang dan malam selama enam
hari berturut-turut, kecuali pada malam Jumat hingga selesai sholat Jumat siang
harinya.
Pada tanggal 11
Maulud (Rabiulawal), mulai pukul 20.00 WIB, Sri Sultan datang ke Masjid Agung
untuk menghadiri upacara Maulud Nabi Muhammad SAW yang berupa pembacaan naskah
riwayat maulud Nabi yang dibacakan oleh Kyai Pengulu. Upacara tersebut selesai
pada pukul 24.00 WIB, dan setelah semua selesai, perangkat gamelan Sekaten
diboyong kembali dari halaman Masjid Agung menuju ke Kraton. Pemindahan ini
merupakan tanda bahwa upacara Sekaten telah berakhir.
Upacara Adat Saparan, Bekakak
Jogjanews.com - Upacara Adat Saparan Bekakak kembali
akan digelar Jumat (2/12) pukul 14.00 WIB di Desa Ambarketawang
Gamping Sleman. Pelaksanaan upacara adat Saparan Bekakak kali ini
sebagaimana tahun-tahun sebelumnya dimeriahkan dengan pasukan
“Ogoh-Ogoh”, “Gendruwo” dan “Wewe Gombel”.
Ketua panitia, Frans Haryono, Selasa (25/12) menjelaskan Upacara Adat Saparan Bekakak akan dimulai dengan pembuatan bekakak di Dukuh Gamping Kidul pada Kamis (27/12) mulai pukul 08.00-17.00 WIB.
Dilanjutkan kenduri oleh warga masyarakat ditempat penyembelihan bekakak di Gamping Kidul RT 02/ RW 16. Malam harinya dilakukan pengambilan Tirto Dono Jati dari Umbul Tlogosari Gunung Gamping dipimpin Lurah Magersari diikuti Santri Kanigoro, Kelompok Slawatan Watulangklah, prajurit bregada pembawa Tirto Dono Jati dari Mejing Kidul serta prajurit putri.
Air tirto Dono Jati dibawa dalam bentuk kirab budaya menuju Kademangan Ambarketawang bersama dengan Bekakak, “Ogoh-Ogoh”, “Gendruwo” dan “Wewe Gombel” dengan dikawal oleh prajurit Wirosuto dari Gamping Tengah dengan penerangan “oncor’.
Selanjutnya dilakukan upacara midodareni dan kenduri di Balai Desa Ambarketawang dilanjutkan pada pukul 22.00 WIB dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk oleh dalang Ki Sutono Hadi Suyitno dengan lakon “Gatotkaca Mbangun Pringgodani”.
Jum’at (28/12) mulai pukul 10.00 – 11.30 WIB, pasangan bekakak dan berbagai gunungan dapat dilihat oleh masyarakat umum di Balai Desa Ambarketawang. Mulai pukul 13.00-14.00 WIB dilantunkan gending uyon-uyon atau karawitan.
Pada pukul 14.00 WIB Bekakak, Tirto Dono Jati diarak menuju lapangan Kademangan Ambarketawang untuk mengawali prosesi acara. Pukul 15.00 WIB upacara dimulai dengan laporan Wiromanggolo, Beksan Gambyong, pelepasan burung merpati putih dilanjutkan dengan prosesi kirab yang didukung oleh beberapa bregada utama.
Yaitu Bregada Mejing Kidul, Delingsari, Gamping Kidul, Gamping Lor, dan berbagai breagada dan peserta kirab budaya menuju petilasan di Gamping Kidul dan petilasan Gunung Gamping di Tlogo untuk dilakukan penyembelihan bekakak.
Kepala Dinas Kebudayan dan Pariwisata Kabupaten Sleman Drs. Untoro Budiharjo mengatakan bahwa upacara adat Saparan Bekakak merupakan event besar yang telah masuk dalam kalender event Kabupaten Sleman maupun Propinsi DIY.
"Bahkan gaungnya sudah menasional, sehingga kehadirannya sangat dinanti-nantikan warga Yogyakarta dan Jawa Tengah, bahkan oleh wisatawan luar daerah serta mancanegara yang sedang berada di Yogyakarta," kata Untoro Budiharjo.
Sehubungan dengan hal tersebut pihaknya mengharapkan para pengunjung dan wisatawan agar bisa tertib khususnya saat menyaksikan kirab berlangsung sehingga tidak menggangu pelaksanaan kirab tersebut. Mengingat pelaksanaannya menggunakan jalur transportasi umum, yaitu sebagian ruas jalan Wates dan Ring Road Barat, maka sudah barang tentu pelaksanaan upacara adat ini sedikit banyak mengganggu pengguna jalan.
Oleh karenanya, pihaknya minta maaf kepada masyarakat umum khususnya para pengguna jalan di jalur yang terpaksa ditutup sementara untuk pelaksanaan kirab, termasuk sebagian ruas jalan ring-road (jalan lingkar) barat dan sebagian ruas jalan Wates yang digunakan sebagai jalur kirab.
Pengalihan arus dari arah barat di jalan Wates akan dilakukan di pertigaan Klangon ke arah utara menuju Gedongan dan Tempel, pertigaan Universitas Mercubuana ke utara menuju Godean, dan perempatan Depok di sebelah timur SPBU Ambarketawang ke arah utara. Sedangkan dari arah timur akan dilakukan pengalihan di perempatan ringroad Pelemgurih ke arah utara.-
Ketua panitia, Frans Haryono, Selasa (25/12) menjelaskan Upacara Adat Saparan Bekakak akan dimulai dengan pembuatan bekakak di Dukuh Gamping Kidul pada Kamis (27/12) mulai pukul 08.00-17.00 WIB.
Dilanjutkan kenduri oleh warga masyarakat ditempat penyembelihan bekakak di Gamping Kidul RT 02/ RW 16. Malam harinya dilakukan pengambilan Tirto Dono Jati dari Umbul Tlogosari Gunung Gamping dipimpin Lurah Magersari diikuti Santri Kanigoro, Kelompok Slawatan Watulangklah, prajurit bregada pembawa Tirto Dono Jati dari Mejing Kidul serta prajurit putri.
Air tirto Dono Jati dibawa dalam bentuk kirab budaya menuju Kademangan Ambarketawang bersama dengan Bekakak, “Ogoh-Ogoh”, “Gendruwo” dan “Wewe Gombel” dengan dikawal oleh prajurit Wirosuto dari Gamping Tengah dengan penerangan “oncor’.
Selanjutnya dilakukan upacara midodareni dan kenduri di Balai Desa Ambarketawang dilanjutkan pada pukul 22.00 WIB dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk oleh dalang Ki Sutono Hadi Suyitno dengan lakon “Gatotkaca Mbangun Pringgodani”.
Jum’at (28/12) mulai pukul 10.00 – 11.30 WIB, pasangan bekakak dan berbagai gunungan dapat dilihat oleh masyarakat umum di Balai Desa Ambarketawang. Mulai pukul 13.00-14.00 WIB dilantunkan gending uyon-uyon atau karawitan.
Pada pukul 14.00 WIB Bekakak, Tirto Dono Jati diarak menuju lapangan Kademangan Ambarketawang untuk mengawali prosesi acara. Pukul 15.00 WIB upacara dimulai dengan laporan Wiromanggolo, Beksan Gambyong, pelepasan burung merpati putih dilanjutkan dengan prosesi kirab yang didukung oleh beberapa bregada utama.
Yaitu Bregada Mejing Kidul, Delingsari, Gamping Kidul, Gamping Lor, dan berbagai breagada dan peserta kirab budaya menuju petilasan di Gamping Kidul dan petilasan Gunung Gamping di Tlogo untuk dilakukan penyembelihan bekakak.
Kepala Dinas Kebudayan dan Pariwisata Kabupaten Sleman Drs. Untoro Budiharjo mengatakan bahwa upacara adat Saparan Bekakak merupakan event besar yang telah masuk dalam kalender event Kabupaten Sleman maupun Propinsi DIY.
"Bahkan gaungnya sudah menasional, sehingga kehadirannya sangat dinanti-nantikan warga Yogyakarta dan Jawa Tengah, bahkan oleh wisatawan luar daerah serta mancanegara yang sedang berada di Yogyakarta," kata Untoro Budiharjo.
Sehubungan dengan hal tersebut pihaknya mengharapkan para pengunjung dan wisatawan agar bisa tertib khususnya saat menyaksikan kirab berlangsung sehingga tidak menggangu pelaksanaan kirab tersebut. Mengingat pelaksanaannya menggunakan jalur transportasi umum, yaitu sebagian ruas jalan Wates dan Ring Road Barat, maka sudah barang tentu pelaksanaan upacara adat ini sedikit banyak mengganggu pengguna jalan.
Oleh karenanya, pihaknya minta maaf kepada masyarakat umum khususnya para pengguna jalan di jalur yang terpaksa ditutup sementara untuk pelaksanaan kirab, termasuk sebagian ruas jalan ring-road (jalan lingkar) barat dan sebagian ruas jalan Wates yang digunakan sebagai jalur kirab.
Pengalihan arus dari arah barat di jalan Wates akan dilakukan di pertigaan Klangon ke arah utara menuju Gedongan dan Tempel, pertigaan Universitas Mercubuana ke utara menuju Godean, dan perempatan Depok di sebelah timur SPBU Ambarketawang ke arah utara. Sedangkan dari arah timur akan dilakukan pengalihan di perempatan ringroad Pelemgurih ke arah utara.-
IPA & IPS disatukan, Guru terbebani
JOGJA - Pengintegrasian
pembelajaran IPA dan IPS ke dalam mata pelajaran (mapel) lain
meresahkan para guru. Guru menilai akan menjadi beban karena kompleksnya
materi yang akan dipelajari.Hal tersebut bisa dimaklumi. Dengan
pengintegrasian tersebut, beban suatu mapel dirasa semakin bertambah.
Apalagi setiap materi pembelajaran memiliki standar kompetensi
kompetensi dasar (SKKD) sendiri.Pakar kurikulum UNY Prof. Anik Ghufron
mengimbau guru tidak resah dengan perubahan tersebut. Menurut Anik,
pemerintah telah mempersiapkan desain pembelajaran di masing-masing
mapel. Sehingga, materi yang diajarkan tidak akan membebani
guru.”Masyarakat tidak perlu bingung dengan adanya perubahan yang
bersifat tematik. Dengan adanya motode tematik integratif disesuaikan
pula beban pembelajaran setiap mapelnya,” terang Anik (11/1).Anik
menjelaskan, tujuan pemerintah menerapkan kurikulum tematik pada
pendidikan dasar guna menyesuaikan visi pendidikan nasional untuk
memberi dasar-dasar keilmuan. Sehingga pada usia sekolah dasar murid
tidak terbebani pembelajaran yang tidak sesuai dengan perkembangan
kognitifnya.Mengenai kesiapan guru, menurut Anik bisa melalui Pendidikan
Guru Sekolah Dasar (PGSD). Anik mengatakan, PGSD juga telah
mempersiapkan pembelajaran yang sifatnya tematik integratif dan sudah
dilakukan sejak lama. Jadi menurutnya tidak ada masalah jika kurikulum
2013 diterapkan.Guru Besar FIP UNY ini mengatakan perubahan kirukulum
dilakukan supaya kegiatan mengajar guru di sekolah bukan rutinitas.
”Selama ini guru tidak mengetahui pembelajaran yang dilakukan dalam
kelas KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan) atau bukan,” jelasnya.
Pemerintah belum menetapkan metode
tamatik intergratif tersebut. Apakah nantinya diterapkan di seluruh
jenjang SD atau hanya kelas I-III SD saja.Pemerintah menjanjikan dalam
kurikulum 2013 akan lebih meringankan beban guru. Pada uji publik di UNY
beberapa waktu lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh
mengatakan inti dari kurikulum 2013 adalah upaya penyederhanaan dan
tematik integratif.Adapun objek yang menjadi pembelajaran dalam penataan
dan penyempurnaan kurikulum 2013 lebih menekankan pada fonomena alam,
sosial, seni dan budaya. Titik beratnya bertujuan mendorong peserta
didik mampu lebih baik melakukan observasi dan nalar. Seperti belajar
organ tubuh (IPA) murid tidak perlu belajar terlalu mendalam soal
fungsi-fungsi tersebut. Murid cukup mengetahui organ yang terpenting dan
disusunnya dalam sebuah kalimat. Sehingga subtansi dari masing-masing
pengetahuan diterima dengan baik oleh murid. (bhn/iwa)
Langganan:
Komentar (Atom)








