Kekuatan Mistik Gunung Merapi

NAMA gunung Merapi sudah cukup populer di telinga masyarakat Indonesia. Sesuatu yang berkaitan keberadaan gunung Merapi kerap dikaitkan dengan hal-hal berbau misteri, di antaranya keberadaan makhluk-makhluk gaib penguasa dan penghuni gunung Merapi. Hal ini tidaklah berlebihan, karena hasil investigasi membuktikan bahwa masyarakat setempat yakin kalau penghuni dan penguasa gunung Merapi memang ada.
Mereka memanggilnya dengan sebutan Eyang Merapi. "Bapak lihat bukit kecil di atas itu? Itu namanya gunung Wutah, gapuranya atau pintu gerbangnya kraton Eyang Merapi". Sebaris kalimat dengan nada bangga itu meluncur begitu saja dari Bangat, seorang penduduk asli Kinahrejo Cangkrinagan Sleman, sesaat setelah kami menapaki sebuah ara tandus berbatu tanpa hiasan pepohonan sebatang pun.
Masyarakat setempat meyakini, kawasan wingit yang diapit oleh dua buah gundukan kecil itu memang dikenal sebagai pelatarannya keraton Eyang Merapi. Untuk naik ke sana, diingatkan agar uluk salam, atau sekadar minta permisi begitu di atasnya. "Kulo nuwun Eyang, kulo ingkang sowan, sumangga silakna rikma niro," imbuh istri Bangat, Suharjiyah, sembari menuntun kami untuk menirukan lafal tersebut.
Tenyu saja, imbauan sepasang suami istri yang tubuhnya kian keriput dimakan usia itu bukan tanpa alasan. Menurutnya, sang penguasa kraton Merapi sangat tersinggung bila ada pendatang baru yang neko-neko (berbuat macam-macam), pethakilan (bertingkah tidak senonoh) tanpa memberi uluk salam (permisi). Hal-hal tersebut jika dilanggar akibatnya akan sangat fatal. "Mereka yang sama sekali tidak mengubris pakem kultur tersebut jelas akibatnya akan fatal, biasanya akan tersesat hingga kecebur jurang," tegas Bangat.
Satu hal yang perlu diingat, setiap pendatang baru di kawasan Kinahrejo niscaya bakal celaka bila sampai menyakiti hati penduduk setempat. "Nantinya bisa-bisa kuwalat jadinya," imbuh Bangat. Sekejam itukah? "Sebenarnya sih enggak. Cuma memang, Eyang Merapi itu nggak suka kalau kampung sini (Kinahrejo, Red) jadi sasaran perbuatan yang nggak terpuji. Masalahnya, warga sini sebetulnyakan masih termasuk rakyatnya kraton Eyang Merapi. Nggak percaya? Coba saja Bapak perhatikan dan tanyakan kepada warga sini, apa pernah wilayah ini terkena semburan lahar panas Merapi? Pasti jawab mereka tidak," terang Bangat.
Ditambahkan, beberapa warga setempat menggambarkan sosok penguasa kraton Merapi dengan makhluk yang menyeramkan, namun berhati mulia dan tidak bermaksud jahat, "Dia adalah pengayom masyarakat setempat," tandas Suharjiyah. Besarnya rasa percaya masyarakat setempat terhadap keberadaan Eyang Merapi membuat mereka yakin bahwa akan hal-hal yang mistis yang terjadi menimpa masyarakat. Misalnya, pintu gerbang kramat, penduduk yang tinggal di lereng gunung Merapi itu percaya bahwa pintu gerbang tersebut penangkal dari segala marabahaya.
Pintu gerbang yang berdiri selama 9 abad itu nyaris pernah tersentuh bencana gunung Merapi. Padahal secara teknis daerah tersebut termasuk daftar daerah bahaya. Hal itu juga tak lepas dari keberadaan dua buah bukit (Wutah dan Kendit) yang berfungsi sebagai benteng desa-desa sekitar Kinahrejo. "Bukit Kendit maupun bukit Wutah itu kan masih masuk dalam wilayah kekuasan Eyang Merapi. Itukan pasebannya (tempat untuk menghadap raja) kraton Eyang Merapi. Jadi nggak mungkin Eyang akan tega membinasakan orang yang memang sudah lama mendiami tempat sekitar itu," Bangat menjelaskan lebih jauh.
Memang, dibandingkan penduduk desa lainnya, nasib penghuni desa Kinahrejo dan sekitarnya termasuk yang beruntung. Selain merupakan desa yang nyaris selalu luput dari ancaman bahaya lahar panas Merapi, desa yang konon termasuk desa kesayangan Eyang Merapi itu juga menjadi sebuah reresentasi dari sebuah suasana kehidupan yang serba nyaman dan tentram.
Tak aneh kalau dikemudian hari kerap muncul sindirin dikalangan penduduk setempat kepada warga diwilayah barat daya gunung Merapi yang kerap jadi langganan bencana lahar. "Kalau ingin hidup tenang tentram, pindahlah kemari. Eyang Merapi kan selalu melindungi kami," ujar Wardiyah, salah seorang warga yang mengaku penduduk asli desa Kinahrejo.
Ucapan Wardiyah tersebut memang ada benarnya. Penduduk desa Kinahrejo seolah telah mendapat garansi dari Eyang Merapi. Pendek kata, selagi mereka patuh terhadap segala peraturan yang ada misalnya selalu mempersembahkan bulu bekti berupa persembahan sesajian serta selalu melakukan ritual labuhan setiap tahunnya, mereka yakin dan optimis bahwa mereka akan senantiasa terhindar dari ancaman letusan Merapi.

Mataram membentengi kerajaan dengan cerita mistik

semenjak perang dunia kedua berakhir, negara-negara di dunia makin berlomba-lomba memasang “benteng-pertahanan” terkokohnya. Dengan tujuan agar negaranya senantiasa tidak dipandang lemah dan diserang negara lain. Yakni mereka berlomba-lomba memperkuat militernya dengan persenjataan yang sangat canggih seperti peluru-peluru kendali dan rudal yang hulu ledaknya dapat memusnahkan masa__dalam jumlah banyak, bahkan sampai senjata yang super mutahir seperti senjata nuklir. Semua, semata-mata agar negaranya tidak dipandang sebelah mata, atau agar ditakuti negara-negara lain. dengan kata lain agar negaranya lebih “berwibawa”.
****
Sebenarnya, kejadian semacam itu telah lama dilakukan oleh kerajaan-kerajaan di tanah jawa pada tempo dulu. Sebut saja “Mataram-islam” umpamanya. Akan tetapi; tentu sangat berbeda dengan negara-negara masa-kini. Kerajaan-kerajaan ditanah jawa kebanyakan membentengi negaranya dengan cerita-cerita mitos.
Anda tentu pernah mendengar logenda “Nyi-roro Kidul”, cerita yang sangat menakutkan dan melogenda di masarakat jawa dan sekitarnya, yang penuh mistik dan sirik tentunya.
Sedemikian terkenalnya logenda tersebut hingga para masarakat umum sampai kinipun masih; melekat dan mempercayai keberadaan-nya. Sampai-sampai “konon” disekitar pantai jogja tak ada yang berani sembarangan berucap apalagi melanggar__dengan memakai pakaian warna tertentu yang disiriki.
Dalam cerita, dikisahkan; Nyi-roro Kidul adalah istri dari semua raja-raja yang hendak bertahta dan berkuasa di tanah jawa. Makanya ada cerita “pangeran Rangga” seorang putra mahkota yang hendak naik tahta di kemudian hari__menjadi gagal naik tahta, gara-gara melihat persetubuhan antara ayahnya yang Raja dengan Nyi-roro Kidul. karena dia melihat, (artinya ia tidak mungkin lagi memperistri bekas istri ayahnya atau secara tidak langsung dia sudah menjadi Anaknya Nyi-roro Kidul :red)
Sedangkan sarat sarat mutlak untuk menjadi raja mataram adalah: harus memperistri sang Ratu-selatan tersebut dan Pangeran Rangga sudah tidak mungkin, tidak mungkin anak memperistri ibu tirinya, maka dia tidak bisa naik tahta menjadi raja. Itu hanya sepenggal kisah dari banyak kisah yang lainnya.
Cerita atau logenda Nyi-roro Kidul ini bermula dari: ketika kerajaan pajang hendak melakukan agresi militer ke kerajaan Mataram. agresi yang di lakukan Sultan Hadi Wijoyo atau Si-karebet alias Joko Tingkir terhadap Negara yang di bangun Sutawijaya alias Senopati ing Alogo atau Panembahan Senopati yang tak lain adalah anak angkatnya sendiri. Dia “Sutawijaya” mendapat hadiah “hutan mentaok” karena keberhasilannya melakukan misi besar kerajaan pajang bersama ayahnya Membunuh Aryo-Penangsang (adipati demak bintoro). Akan tetapi, konon agresi yang dilakukan kerajaan pajang itu menemui kegagalan karena: ketika prajurit pajang sampai di kaki gunung merapi tiba-tiba gunung tersebut meletus mengeluarkan awan-panas dan konon, tentara pajang yang jumlahnya lebih besar dari mataram menemui kekalahan.
Disinilah cerita Nyi-roro Kidul mulai berhembus. Karena tentu sangat tidak mungkin gunung meletus secara tiba-tiba, sudah begitu__tentunya tidak secara kebetulan bukan? Jika meletus pas ketika para prajurit pajang tengah melintas di bawahnya. Maka para masarakat yang mendengar kisah ini akan menyimpulkan pasti ada faktor-X, faktor lain yang menyebabkan gunung itu meletus. Disinilah para penyimpul ditarik__dibawa oleh cerita tersebut. Cerita akan adanya kekuatan gaib yang membantu meledakkan gunung merapi tepat pada waktu itu.
Kisah ini jika kita selidik jelas sangat-sangat menuai banyak kebohongan. Dan sangat diada-adakan dengan tujuan agar Mataram “berwibawa” dan punya keangkeran tersendiri di mata kerajaan-kerajaan lain di tanah jawa.
Mengapa tersimpul bohong? Karena baik Sultan Hadi Wijaya ataupun Ki-Agung Pemanahan(ayah sutawijaya) adalah sama-sama murid Sunan Kali Jaga (dimana “sunan satu ini mahir sekali merangkai cerita mistis” atau bisa dikatakan “sastrawan mistis” yang tiada duanya) anda tentu pernah mendengar cerita kesaktian Wali-Songo yang konon lebih sakti dari para nabi bukan? Cerita bagaimana dengan tangan menjulur beliau dapat memegang kubah masjid demak dan baitull-haram waktu mencari arah kiblat masjid tersebut__tanpa menyadari bahwah bumi itu bulat, dan jika dapat memegang keduanya maka tubuhnya akan melengkung karena mengikuti kebulatan bentuk bumi.
Kedua sedang Suta Wijaya adalah anak angkat Sultan Hadi Wijaya dan anak kandung Ki-Pemanahan jadi sudah pasti tidak mungkin SHW menyerang mataram lagi pula tanah Mataram adalah hadiah darinya.
Ketiga umpama penyerangan betul telah dilakukan tentu kekalahan yang di sebabkan karena kecelakaan gunung merapi itu, pasti akan diulangi menyerang kembali.
Bukti-bukti diatas jelas menunjukkan bahwa kisah atau logenda tersebut tidak mengandung kebenaran adanya. Jika tidak ada kebenaran cerita dari keberadaan tokoh yang sebenarnya tentu ada maksud dibalik cerita tersebut. Yakni demi melindungi atau membentengi kerajaan mataram dari negara atau kerajaan lain yang hendak menguasai kerajaan itu.

Sejarah Tugu Yogyakarta

Tugu Yogya adalah salah satu bangunan peninggalan Sultan Hamengku Buwana I. Pembangunan Tugu tersebut dilakukan untuk memperingati rasa kebersamaan raja (pada waktu itu Pangeran Mangkubumui) dengan rakyat yang bersatu padu melawan Belanda sehingga Pangeran Mangkubumi mendapatkan tanah Mataram. Tugu tersebut dibangun setahun setelah Perjanjian Gianti. Ketinggian Tugu pada waktu dibangun pertama kali adalah 25 meter.
Posisi Tugu Yogya sekarang berada di tengah perempatan jalan besar yakni yang membujur ke utara adalah Jalan AM. Sangaji ke timur Jl. Jenderal Sudirman, ke selatan Jl. Pangeran Mangkubumi-Malioboro, ke barat Jl. Pangeran Dipanegara. Puncak tugu tersebut pada awalnya sebagai titik pandangan Sultan sewaktu menghadiri upacara Grebeg di Bangsal Manguntur, di Sitihinggil Lor.
Dalam bahasa Belanda Tugu Yogya ini lebih terkenal dengan sebutan white paal (tugu putih). Sedangkan masyarakat Yogyakarta generasi tua sering menyebutnya Tugu Pal Putih. Di samping itu, masyarakat Yogyakarta juga sering menyebutnya Tugu Golong Gilig. Hal itu tidak terlepas dari ciri-ciri fisik bangunan itu. Warna putih yang melingkupi seluruh tubuh tugu itu menjadikannya lebih terkenal dengan sebutan Tugu Pal Putih.
Sedangkan bentuknya yang memang gilig (bulat panjang) dengan puncak berbentuk bola, menyebabkanya disebut golong gilig. Di samping itu, golong gilig juga dimaksudkan sebagai simbol rasa kebersatuan antara rakyat dan raja dalam melawan Belanda. Golong gilig sering diartikan sebagai menyatu/berbulat niat, kehendak, dan tindakan.
Tugu Yogyakarta ini pada tanggal 10 Juni 1867 runtuh kira-kira sepertiganya akibat gempa yang melanda Yogyakarta waktu itu. Oleh penguasa Belanda tugu tersebut dirombak pada tahun 1889 sehingga mengalami perubahan bentuk seperti sekarang ini dan tingginya berubah menjadi hanya 15 meter.
Perombakan ini dilakukan Belanda dengan maksud agar tugu tersebut tidak lagi menjadi simbol atau monumen golong gililg antara rakyat dengan raja sehingga makna semula seperti ketika dibangun menjadi hilang.
Tugu Jaman Dahulu

Tugu Sekarang

Sejarah Malioboro Yogya

untuk sekedar menggugah memori lama yang pernah tinggal di jogja namun kini telah berpindah ruang hidupnya dan untuk yang belum ke jogja supaya bisa semakin tergiur untuk mampir di kota budaya ini tentu saja tak ketinggalan untuk mereka yang masih bertahan di jogja supaya bisa mengenal malioboro tidak hanya sebagai “pasar” cindramata tapi juga ada sejarah dan budaya serta keragaman di wilayah kraton ini.
malioboro dulu (tembi.org)
malioboro dulu (tembi.org)
jogja yang penuh misteri, jogja yang sepi. tak ada yang istimewa dari jogja kala itu selain satu-satunya wilayah yang bebas dari intervensi belanda, tentu ini bukan tanpa alasan karena sultan Hamangkubuwana 9 adalah teman sekolah Ratu belanda. bahkan beredar gosip kalau ratu belanda kepincut dengan sultan ke sembilan ini. tapi sebelum itu marilah arahkan pencarian sejarah kita pada Sultan Hamangkubuwana 1.  saat itu Hamangkubuwana 1 mengangkat kapiten seorang Cina, Tan Jin Sing, pada tahun 1755 dan memiliki nama jawa Setjodingrat dan tinggal di ndalem Setjodingratan. perlahan namun pasti sekitar kawasan Setjodiningrat menjadi semacam komples pecinan. ini bisa dilihat dari rumah-rumah toko yang menjual barang-barang kelontong, emas dan pakaian.
hal ini juga ditunjang karena tersingkirnya para pedagang tionghoa dari basis bisnis jogja kala itu di wilayah kotagede. bahkan menurut AntonDjkarta yang saya kutip dari blognya,
“Malioboro adalah kanal bisnis bagi kelompok Tionghoa yang dimasa lalu memiliki sejarah hubungan naik turun dengan kekuasaan Kesultanan Yogyakarta. Di Kotagede, kaum Tionghoa tidak diperbolehkan berdagang karena memang sudah ada mayoritas pebisnis pribumi seperti Kelompok Kalang dan Kelompok pedagan Muslim yang melingkar pada organisasi Muhammadijah. Di tengah kota kelompok Tionghoa ini menjadikan Malioboro sebagai daerah modal untuk mengembangkan bisnisnya. Perang Jawa tidak akan bisa lepas dari percaturan politik Tionghoa. Tokoh seperti Tumenggung Secodiningrat. Sejarah Secodiningrat adalah sejarah percampuran juga sejarah politik dan kebencian rasial. Politik Cinta-Benci yang selalu menandai sejarah kekuasaan Jawa-Mataram ini ternyata mendapatkan tempat dalam cerita jalan Malioboro. Di jaman Secodiningrat inilah jalan Malioboro menjadi saksi beberapa intrik keraton yang kemudian juga melibatkan ketidaksenangan Paku Alam terhadap peran Secodiningrat.”
sekitar tahun 1916 kawasan pecinan yang berkembang di wilayah setjodiningratan yaitu sebelah timur kantor pos besar, mulai menjadi basis bisnis menyaingi wilayah kotagede. apalagi setelah dibangun pasar gedhe yang sekarang bernama pasar bringharjo dan mulai beroprasi tahun 1926 geliat ekonomi di kawasan ini mulai beranjak naik. padahal sebelumnya jalan ini hanyalah jalan biasa yang jarang dijamah kecuali sebagai tempat lewat menuju keraton.
Kawasan Pecinan mulai meluas ke utara, sampai ke Stasiun Tugu yang dibangun pada 1887 dan Grand Hotel de Yogya (berdiri pada 1911, kini Hotel Garuda). Malioboro menjadi penghubung titik stasiun sampai Benteng Rusternburg (kini Vredeburg) dan Kraton. Rumah toko menjadi pemandangan lumrah di sepanjang jalan ini. Karena itu, secara kultural, ruang Malioboro merupakan gabungan dua kultur dominan, yakni Jawa dan Cina.
belanda di malioboro (tembi.org)
belanda di malioboro (tembi.org)
maliboro yang berarti jalan bunga (mungkin untuk menghubungkan dengan pasar kembang disebelah utara) sebelum menjadi pusat niaga hanyalah jalan luji kebon. perkembangan malioboro selain ditunjang oleh bakat bisnis orang-orang tionghhoa juga ditunjang oleh posisi yang stretegis dalm filosofi garis imajiner jogja. muncul dan berdirinya bangunan-bangunan strategis juga berperan pada perkembangan malioboro seperti pasar bringharjo, hotel grand jogja hingga stasiun tugu.
hingga kini malioboro menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah intrik kehidupan jogja (bisa di baca di tulisan sebelumnya). selain sejarah intrik dagang, malioboro adalah saksi bisu penangkapan soekarno sat agresi miiter 2 belanda, saksi pertempuran 6 jam. hingga kini di malioboro juga menjadi pusat dari pemerintahan jogja dengan berdirinya kantor-kantor pemerintahan.
budaya lesehan, kompasianer joga di titik nol KM (ujung malioboro)
tapi yang jarang terlintas dalam perkembangan sejarah jogja adalah dunia sastra. dari sinilah dunia sastra jogja mulai mengembangkan taring. dalam Antologi Puisi Indonesia di Yogyakarta 1945-2000 memberi judul “MALIOBORO” untuk buku tersebut, uku yang berisi 110 penyair yang tinggal dan pernah tinggal di yogyakarta selama kurun waktu lebih dari setengah abad.
selain itu malioboro memberi jejak tersendiri pada dunia sastra indonesia pada umumnya maupun jogja pada khususnya. kisah ini terlacak saat tahun 1970-an, Malioboro tumbuh menjadi pusat dinamika seni budaya di Yogya. Malioboro menjadi ‘panggung’ bagi para seniman ‘jalanan’, dengan pusatnya senisono. Mungkin kita masih ingat julukan Presiden Malioboro pada Umbu Landu Paranggi cucu raja sumba, yang melahirkan muid-murid berkaliber “monster” dalam dunia sastra (alm) Linus Suryadi dan Emha Ainun Najib serta korys layun rampan, hingga ratusan pemuja umbu dalam lingkaran komuniats PSK (persada studi klub) . Daya hidup seni jalanan ini akhirnya mandek pada 1990-an setelah gedung Senisono ditutup
budaya lesehan masih bertahan -kopdar canting (kompasianer jogja)-
Warisan ‘para seniman ini di Malioboro adalah ‘budaya lesehan’, yang lalu menjadi eksotisme dan merupakan daya jual kekhasan warung-warung di Malioboro. Dalam konteks budaya, bangunan-bangunan bergaya Indies Hindia Belanda, Jawa dan Cina di kawasan ini mungkin masih menjadi peninggalan yang berarti, di tengah munculnya sejumlah bangunan baru bergaya modern, seperti Mal Malioboro.
malioboro adalah Sebuah jalan pada satu kota adalah kumpulan kenangan yang tergabung secara kolektif bagi penghuninya, namun secara umum saya lebih menikmati titik nol KM jogja yang merupakan ujung selatan jaln malioboro, di situlah hingga kini “budaya  lesehan” para seniman masih terus berlanjut.

Sabda Tama Sultan Isyarat Yogyakarta Merdeka

Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo mengatakan Sabda Tama Sultan HB X merupakan kegemasan dari Sultan HB X terhadap pemerintah pusat terkait materi di RUU Keistimewaan DIY. "Ini isyarat kegemasan dari Sultan, karena pemerintah masih berpegang pada pemilihan dalam penentuan gubernur DIY," ujar Ganjar kepada wartawan di gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (14/5/2012).
Ganjar menyebutkan pembahasan RUUK DIY selama ini antara pemerintah dan DPR hanya berputar-putar pada masalah penetapan gubernur atau pemilihan. "Pidato Sultan sinyal, sebelum mereka mempunyai inspirasi yang tidak diinginkan," tambah Ganjar.
Politikus PDI Perjuangan ini menuturkan semakin lama pembahasan RUUK DIY, justru semakin mengubah konstalasi di parlemen. "Seperti PAN pasca-pilkada di Yogyalarta jadi berubah-ubah, padahal dulu posisi jelas, delapan fraksi mendukung penetapan melawan satu fraksi yang mendukung pemilihan. Sekarang petanya berubah," papar Ganjar.
Ganjar menuturkan seharusnya dalam persidangan saat ini RUUK DIY dapat disahkan oleh pemerintah dan DPR. Dia mengkhawatirkan semakin molor waktu pembahasan semakin aneh pikiran masyarakat. "Semakin molor waktu semakin aneh-aneh pikiran masyarakat," ingat Ganjar.
Dia menuturkan publik membaca DPR dan pemerintah memiliki niat atau tidak. Ganjar menyebutkan Yogyakarta melihat ini dipermainkan oleh Jakarta.
Sebagaimana dimaklumi, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan "Sabda Tama" secara mendadak. Sabda ini untuk menyikapi kedudukan Raja Kraton dan Adipati Pakualam dalam pemerintahan, serta menyikapi pengangkatan Angkling Kusumo sebagai Adi Pakualam baru.
"Saya Raja Mataram akan menyampaikan Sabda: Adapun Kraton Ngayogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman itu, dua-duanya menjadi satu. Mataram itu negara yang merdeka, yang memiliki aturan dan tata pemerintahan sendiri. Seperti yang dikehendaki dan diperkenankan, termasuk Mataram di dalam Nusantara, mendukung berdirinya negara, tetapi tetap memiliki aturan dan tata pemerintahan sendiri. Yang itu seperti diinginkan para Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alaman yang bertahta, ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur," kata Sultan.

Daftar Universitas/Sekolah Tinggi di Yogyakarta

Universitas

Institut

Sekolah Tinggi

Politeknik

Akademi

Lembaga Profesional

Yogyakarta, Jogja, Jogjakarta, atau Yogya?

Banyak orang menyebut Yogyakarta dengan nama berbeda-beda. Orang-orang tua menyebut Ngayogyakarta, orang-orang Jawa Timur dan Jawa Tengah menyebut Yogja atau Yojo. Disebut Jogja dalam slogan Jogja Never Ending Asia. Belakangan muncul sebutan baru, yaitu Djokdja. Sekilas memang membingungkan, namun menunjuk pada daerah yang sama. Lalu, bagaimana bisa kisahnya sampai nama kota ini bisa begitu bervariasi?
Paling tidak, ada 3 perkembangan yang bisa diuraikan. Nama Ngayogyakarta dipastikan muncul tahun 1755, ketika Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I mendirikan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kraton yang berdiri di Alas Bering itu merupakan wujud Perjanjian Giyanti yang dilakukan dengan Pakubuwono III dari Surakarta.
Tak jelas kapan mulai muncul penamaan Yogyakarta, apakah muncul karena pemenggalan dari nama Ngayogyakarta atau sebab lain. Namun, nama Yogyakarta secara resmi telah dipakai sejak awal kemerdekaan Indonesia. Ketika menjadi ibukota Indonesia pada tahun 1949, kota yang juga bergelar kota pelajar ini sudah disebut Yogyakarta. Sri sultan Hamengku Buwono IX juga menggunakan nama Yogyakarta ketika mengumumkan bahwa kerajaan ini merupakan bagian dari Republik Indonesia.
Berbagai penamaan muncul kemudian, seperti Yogja, Jogja, Jogya dan Yogya. Bisa dikatakan bahwa variasi nama itu muncul akibat pelafalan yang berbeda-beda antar orang dari berbagai daerah di Indonesia. Uniknya, hampir semua orang bisa memahami tempat yang ditunjuk meski cara pengucapannya berbeda.
Karena kepentingan bisnis, nama Jogja kemudian menguat dan digunakan dalam slogan Jogja Never Ending Asia. Slogan tersebut dibuat untuk membangun citra Yogyakarta sebagai kota wisata yang kaya akan pesona alam dan budaya. Alasan dipilih 'Jogja' adalah karena (diasumsikan) lebih mudah dilafalkan oleh banyak orang, termasuk para wisatawan asing. Sempat pula berbagai institusi mengganti Yogyakarta dengan Jogjakarta.
YogYES.COM memakai nama Djokdja dalam rubrik Tour de Djokdja. Nama itu bukanlah rekayasa, melainkan pernah digunakan pada masa kolonial Belanda. Terbukti, saat itu terdapat sebuah hotel yang bernama Grand Hotel de Djokdja di ujung utara jalan Malioboro. Kini, hotel itu masih tetap berdiri namun berganti nama menjadi Inna Garuda. Nama 'Djokdja' dipilih untuk memberi kesan kuno dan mengajak para pembaca bernostaligia.
Dengan berbagai lafal dan cara penulisannya, bisa dikatakan Yogyakarta merupakan daerah yang paling banyak memiliki variasi nama. Jakarta hanya memiliki satu (Jayakarta), sementara Bali tidak memilikinya sama sekali. Kota wisata lain di dunia seperti Bangkok, Singapura, Cartagena, Venesia bahkan tak terdengar memiliki nama-nama variasi. Kota-kota metropolitan seperti New York, Los Angeles, dan London juga tidak mempunyai.
Kini anda tak perlu bingung lagi jika kebetulan ada orang yang menuliskan kota Yogyakarta seperti caranya melafalkan. Jika mencari tahu tentang seluk beluk kota ini di internet, nama Yogyakarta merupakan yang paling tepat sebab merupakan nama yang paling umum digunakan dalam bahasa tulisan. Alternatif lainnya, anda bisa menggunakan nama Jogja, nama kedua yang paling sering digunakan.