Gunungan Wadon

Kata gunungan dalam bahasa Jawa bermakna "gunung-gunungan", seperti gunung, menyerupai gunung. Gunungan adalah salah satu wujud sesajian selamatan (dalam bahasa Jawa disebut sajen wilujengan) yang khusus dibuat untuk disajikan dalam selamatan negara (dalam bahasa Jawa disebut Wilujengan Negari) setiap garebeg dan maleman atau selikuran.

Gunungan Wadon mempunyai bentuk seperti gunung dengan bagian puncak yang terlalu lancip. Juga mirip dengan payung terbuka. Bagian mustaka dihampiri kue besar berbentuk lempengan dengan warna hitam yang sekelilingnya ditancapi sejumlah besar kue berbentuk daun. Sekeliling tepinya ditancapi lidi-lidi bambu panjang, diberi kue ketan berbentuk seperti paruh burung betet, yang disebut betetan.

Bagian bawah tubuh berupa penyangga berbentuk kerucut terbalik yang dibuat dari sejumlah besar pelepah daun pisang. Selain itu diberi kue berbentuk lingkaran besar terbuat dari ketan berwarna coklat yang besar disebut wajik. Disamping itu diberi aneka macam kue kecil-kecil serta buah-buahan.

Gunungan wadon diletakkan tegak diatas sebuah nampan raksasa berkerangka kayu dengan ukuran kurang lebih 2 x 1,5 meter dengan diberi alas kain bangun tulak atau bango tulak. Di keempat penjuru nampan, digunakan potongan kain kuning.

Upacara Adat Bersih Desa Giwangan

Bersih Desa Giwangan

Kelurahan Giwangan, Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta INDONESIA

Giwangan merupakan salah satu kelurahan yang terletak di wilayah Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta. Sebagian besar penduduk Kelurahan Giwangan ini bekerja di luar sektor pertanian, dan lahan pertanian semakin lama semakin sempit. Meskipun demikian, terdapat upacara adat yang justru diselenggarakan dalam nuansa pertanian sebagai warisan turun temurun dari leluhur mereka yang bekerja sebagai petani. Upacara di daerah pinggiran Kota Jogja ini disebut Bersih Desa Giwangan.
Awalnya, upacara Bersih Desa ini dilaksanakan setelah masa panen padi tiba. Pada perkembangannya, kegiatan tradisional tersebut kini diselenggarakan pada bulan Besar (tahun Jawa) satu tahun satu kali. Untuk harinya, tidak terpaku pada hari-hari tertentu, hanya saja tidak pada hari pasaran Pon (pasaran Jawa) karena merupakan hari pantangan. Masyarakat percaya bahwa hari pasaran Pon merupakan hari meninggalnya Panembahan Senopati. Tempat pelaksanaan upacara pada waktu dulu dilaksanakan di Pendopo, tetapi karena kemajuan jaman tempat semakin terbatas maka pelaksanaan tempat upacara dilakukan di tempat Rois atau Kaum.
Tujuan dari penyelenggaraan upacara ini adalah sebagai ungkapan syukur kepada Yang Maha Agung karena masyarakat Giwangan telah diberi keselamatan selama satu tahun dan juga permohonan akan keselamatan dan kesejahteraan pada tahun–tahun yang akan datang semoga tidak terdapat bencana atau aral melintang yang berat di wilayah Giwangan.
Bersih Desa Giwangan ini diawali dengan berbagai macam persiapan. Diantaranya adalah dengan melaksanakan kerja bakti di lingkungan masing-masing warga. Kemudian juga dilakukan pembenahan jalan-jalan dan gang-gang kampung agar tampak lebih bersih dan rapi. Di samping itu, juga dipersiapkan arena kesenian yang akan digelar pada saat yang bersamaan dengan upacara Bersih Desa. Persiapan-persiapan tadi kebanyakan dikerjakan oleh kaum lelaki, baik tua maupun muda.
Sedangkan bagi para perempuan, mereka mempersiapkan nasi ambengan yang digunakan untuk kenduri. Sebagian juga mempersiapkan tumpeng dan sesaji lainya yang akan dibagikan pada masyarakat setelah selesai kenduri. Adapun sesaji yang dipergunakan adalah:
- Nasi Gurih, sebagai persembahan kepada para leluhur,
- Ingkung, sebagai lambang manusia ketika masih bayi dan sebagai lambang kepasrahan pada Yang Maha Agung,
- Jajan Pasar, sebagai lambang agar masyarakat mendapat berkah,
- Pisang Raja, sebagai lambang harapan agar mendapat kemuliaan dalam masa kehidupan,
- Nasi Ambengan, sebagai ungkapan syukur atas rezeki dari Yang Maha Agung,
- Jenang, berupa jenang merah putih (lambang bapak dan ibu) dan jenang palang (penolak marabahaya),
- Tumpeng, berupa tumpeng lanang (lambang Yang Maha Agung) dan tumpeng wadon (lambang penghormatan pada leluhur) yang ukurannya lebih kecil, dan
- Ketan Kolak Apem, untuk memetri pada dhanyang yang ada di wilayah Giwangan.
Pelaksanaan upacara ini dari masing–masing warga membawa nasi ambengan menuju rumah Rois untuk diikutkan dalam kenduri, sementara uba rampe yang lain telah dipersiapkan di rumah Rois. Setelah semua berkumpul, Rois kemudian membaca doa; setelah selesai dilakukan makan bersama dengan pembagian ingkung dan tumpeng kepada warga yang hadir dalam kenduri. Bagi yang tidak memakan di tempat, sesaji tersebut dapat dibawa pulang untuk dimakan bersama keluarga sebagai sarana pembawa berkah. Dulu, kenduri dilakukan siang hari tetapi pada saat sekarang ini dilaksanakan pada malam hari dilanjutkan dengan pementasan hiburan dan diakhiri dengan pertunjukkan wayang kulit dengan lakon Tumuruning Dewi Sri dimaksudkan untuk menghormati Dewi Sri sebagai dewi padi.

Upacara Adat Becekan

Becekan

Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman INDONESIA

Upacara adat tradisional Becekan disebut juga Dandan Kali atau Memetri Kali, yang berarti memelihara atau memperbaiki lingkungan sungai, berupa upacara meminta hujan pada musim kemarau yang berlangsung di Kelurahan Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman.
Air sungai sangat penting bagi penduduk setempat untuk keperluan pertanian. Konon sesudah diadakan upacara biasanya segera turun hujan sehingga tanah menjadi becek maka lalu disebut becekan. Becek diartikan juga sebagai sesaji berujud daging kambing yang dimasak gulai. Dusun yang melaksanakan upacara ini antara lain: Dusun Pagerjurang, Dusun Kepuh dan Dusun Manggong.
Penyelenggaraannya dibagi menjadi beberapa tahap: Pertama, memetri sumur di Dusun Kepuh (di kawasan itu hanya dusun ini yang memiliki sumur); Kedua, upacara Becekan dilakukan di tengah-tengah Sungai Gendol; Ketiga upacara khusus di masing-masing dusun.
Upacara ini dimaksudkan untuk berdoa memohon hujan kepada Sang Maujud Agung agar tanah menjadi subur, sehingga warga menjadi sehat, aman, selamat dan sejahtera. Waktu penyelenggaraan, menggunakan pranotomongso yaitu pada mongso kapat dan harinya Jumat Kliwon, jika pada mongso kapat tidak terdapat Jumat Kliwon diundur pada mongso kalimo, sebab hari itu dianggap keramat.
Upacara ini dipimpin oleh seorang modin dan diikuti oleh warga ketiga dusun. Perlu diketahui bahwa seluruh rangkaian acara ini harus dilakukan/diikuti oleh kaum laki-laki dan sesaji sama sekali tidak boleh disentuh oleh wanita serta kambing untuk sesaji harus kambing jantan.
Adapun tujuan dari penyelenggaraan berbagai prosesi selamatan tersebut konon adalah untuk berdoa memohon keselamatan dan kelimpahan rejeki kepada Sang Maujud Agung serta memberi sedekah kepada makhluk halus penghuni Merapi agar tidak mengganggu penduduk, damai dan terbebas dari marabahaya, sehingga tercipta satu harmoni antara manusia dan lingkungan alam.

Upacara Adat Bersih Desa Sendang Agung

Bersih Desa Sendang Agung

Desa Sendang Agung, Kecamatan Minggir, Sleman INDONESIA

Sendang Agung adalah sebuah desa yang terletak di wilayah Kecamatan Minggir, Sleman. Di desa ini, terdapat sebuah upacara adat yang memusatkan "pemujaan" kepada tokoh Ki Ageng Tunggul Wulung, yang dipercayai sebagai leluhur dari Kerajaan Majapahit. Upacara adat tersebut dikenal dengan nama upacara Tunggul Wulung atau Bersih Desa Sendang Agung yang penyelenggaraannya, selain pemujaan kepada leluhur, terkait juga dengan keberhasilan panen raya penduduk setempat.
Upacara adat Bersih Desa ini secara umum memang untuk meminta keselamatan dan kesejahteraan kepada Yang Maha Agung. Namun dalam kenyataannya, masyarakat masih kuat mempercayai "kekuatan gaib", termasuk arwah nenek moyang atau leluhur. Masyarakat akan merasa tenang setelah melakukan upacara adat tersebut karena dengan demikian mereka akan memperoleh keselamatan dan "kekuatan" yang dianggap melebihi kekuatan diri sendiri. Yang penting adalah bahwa masyarakat harus mengadakan upacara walaupun hanya sederhana, sebab kalau sampai tidak menjalani upacara orang akan merasa khawatir atas keselamatannya.
Tujuan lain yang umum dikenal dan dilakukan oleh masyarakat Desa Sendang Agung adalah, sebagai berikut:
- Terpadunya rasa keutuhan dan persatuan warga,
- Kebersihan lingkungan dapat terjamin,
- Kondisi desa dan masyarakat diberikan ketentraman lahir batin,
- Terhindar dan bencana alam, dan
- Terhindar dari serangan hama, sehingga dapat diberikan hasil yang berlimpah.
Tujuan-tujuan tersebut diperoleh secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Penyebaran di antara masyarakat sendiri berlangsung secara gethok tular (dari mulut ke mulut). Berkaitan dengan waktu pelaksanaan, bulannya dapat ditentukan sendiri, hanya saja harinya ditetapkan pada hari Jumat Pon yang dipercaya sebagai hari yang dikeramatkan oleh Ki Ageng Tunggul Wulung. Selain itu, panen rendhengan (musim penghujan) ikut menentukan waktu pelaksanaan upacara. Sebagai pelengkap unsur upacara adat, diadakan tarian tradisional Tayub dan minuman arak.
Upacara adat Tunggul Wulung atau Bersih Desa Sendang Agung ini dimulai dari zaman kehancuran Kerajaan Majapahit dan mulai masuknya Islam di Nusantara. Banyak kerabat atau punggawa kerajaan yang tidak menerima kehadiran Islam, karena telah menganut Hindu. Saat itu di pulau Jawa telah muncul kerajaan Islam, yaitu Demak yang dipimpin oleh Sultan Trenggono dengan penasehat para Wali Sanga. Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Prabu Brawijaya sedang mengalami kemunduran dan kesempatan itu digunakan untuk memasukkan ajaran Islam di Majapahit dengan jalan menjodohkan putri Brawijaya dengan putra Demak, yaitu Adipati Terung.
Kemudian periode penyebaran Islam di Majapahit dimulai. Banyak kerabat dan punggawa kerajaan Majapahit yang meninggalkan kerajaan termasuk Ki Ageng Tunggul Wulung. Ki Ageng Tunggul Wulung pergi dari Majapahit dengan tujuh pengawal termasuk istrinya, yaitu Raden Ayu Gadhung Mlati, tidak ketinggalan Raden Sutejo dan Raden Purworejo yang bersifat kajiman (tidak kasat mata) yang selalu menyertai perjalanan Ki Ageng Tunggul Wulung. Di samping itu, perjalanan Ki Ageng Tunggul Wulung juga disertai oleh abdi dalem kinasih yang bernama Nyai Dakiyah.
Perjalanan Ki Ageng Tunggul Wulung menuju ke Barat dan tiba di Dusun Beji (Diro) di mana kemudian ia membuat pesanggrahan (kraton kecil) yang masih dapat ditemukan sisa-sisa peninggalan berupa patung pepethan lembu Andhini dan sapi Gumarang. Pada suatu malam Jumat Pon, Ki Ageng Tunggul Wulung memohon petunjuk kepada Yang Maha Agung di bawah pohon Timoho di dekat Sungai Progo. Ki Ageng Tunggul Wulung serta istri dan tujuh orang pengawalnya serta Nyai Dakiyah akhirnya mokswa (musnah atau hilang beserta raganya atau hilang tanpa bekas), demikian pula binatang peliharaan Ki Ageng, yaitu burung perkutut, burung gemak, macan gembong, macan kumbang, macan putih, nogo ijo, nogo ireng, dan ayam jago "wiring kuning".
Tempat mokswa Ki Ageng Tunggul Wulung tersebut kemudian dibuatkan nisan seperti layaknya makam, dan diyakini masyarakat banyak sebagai tempat yang keramat atau wingit (memiliki daya magis), sehingga banyak orang yang berziarah di "makam" ini.
Tradisi tayuban di wilayah ini dimulai dari seorang ledhek (penari perempuan) yang mencari penglaris agar bila menari ledhek tersebut mendapatkan banyak rezeki. Kemudian ledhek tersebut tirakat (laku prihatin) di kompiek makam Ki Ageng Tunggul Wulung, tetapi kemudian hilang tidak diketahui rimbanya. Masyarakat menyakini bahwa ledhek yang menghilang disukai oleh Ki Ageng Tunggul Wulung.
Pada perkembangan selanjutnya setiap Upacara Bersih Desa diadakan kenduri selamatan baik di makam maupun di rumah Juru Kunci yang kemudian dilanjutkan dengan tayuban dengan diiringi gendhing "Sekar Gadhung" dan sang ledhek menari tanpa diibing, karena menurut keyakinan yang ngibing adalah Ki Ageng Tunggul Wulung.
Upacara adat Tunggul Wulung atau Bersih Desa Sendang Agung dilaksanakan di lokasi "makam" Ki Ageng Tunggul Wulung, yaitu di Dusun Dukuhan XIII, Desa Sendang Agung, Kecamatan Minggir, Sleman. Selain itu, juga diadakan upacara di rumah Juru Kunci "makam" tersebut. Dalam kaitannya dengan prosesi upacara adat, sebenarnya ada juga tempat lain yang dapat disebutkan, yaitu Dusun Dero (Desa Sendang Agung, Minggir, Sleman) sebagai tempat awal sebelum dilakukan kirab menuju ke Dusun Dukuhan XIII.
Upacara adat secara umum dipimpin oleh Juru Kunci dalam hal penentuan waktu upacara, orang-orang yang terlibat, dan persiapan upacara. Khusus pemimpin kenduri, di makam, dipimpin oleh Juru Kunci dan di rumah Juru Kunci, dipimpin oleh Kaum atau Rois.
Peralatan yang diperlukan dalam penyelenggaraan upacara meliputi :
- Goci dan sloki, sebagai wadah minuman yang dipersembahkan bagi Ki Ageng Tunggul Wulung,
- Padi satu unting, sebagai lambang hasil panenan yang berlimpah,
- Gamelan laras slendro, untuk mengiringi tarian ledhek pada saat tayuban (Ladrang Sekar Gadhung),
- Selendang atau sampur, sebagai kelengkapan menari ledhek.
Adapun isi sesaji yang diperlukan sebagai pelengkap kenduri adalah:
- Tumpeng sekul wuduk, sebagai lambang kekuasaan manusia senantiasa di bawah Yang Maha Agung
- Lalapan
- Nasi golong, sebagai lambang gumolonging atau kebulatan tekad manembah kepada Yang Maha Agung
- Pisang raja setangkep
- Tukon pasar
- Ingkung "wiring kuning", dari ayam jago sebagai lambang manekung kepada Yang Maha Agung
- Kopi, arak, kinang, dan rokok cerutu
Kirab upacara adat Tunggul Wulung ini mempunyai prosesi tersendiri, yaitu:
1. Prajurit dan Dusun Dukuhan berjumlah 40 orang dengan manggalayuda,
2. Kelompok kesepuhan Dukuhan berjumlah 7 orang,
3. Para pemikul pusaka pemberian Ki Ageng Tunggul Wulung,
4. Klangenan Ki Ageng antara lain: perkutut, gemak, macan, ular, dan lain-lain,
5. Prajurit pembawa pusaka pengiring, diantaranya: prajurit dari Dusun Dukuhan XII berjumlah 30 orang yang dipimpin oleh seorang pandega (komandan) prajurit dengan membawa pedang-tameng,
6. Penabuh drum, simbal, dan trompet berjumlah 10 orang,
7. Para pemikul sesaji (dari RT/RW Tengahan X, XI, XII, dan Dukuhan serta dari tingkat desa dan kecamatan),
8. Kelompok Jathilan, dari Minggir II Jati Kebar,
9. Arak-arakan hasil bumi dengan dimuat dalam keseran yang dihias, dari Dukuhan X, XI, dan XII, Tengahan, Diro, petani sekitar Desa-desa se Kecamatan Minggir
10. Kelompok kesenian dari Brajan,
11. Para kepala desa dan punggawa kecamatan,
12. Kelompok kesenian Trengganon dari Parakan Sendang Sari,
13. Para kepala dusun Sendang Mulyo dan Sendang Agung yang berbusana kejawen lengkap,
14. Jathilan Jawa dari Kedung Prau Sendangrejo (Minggir) berbusana wayang orang lengkap,
15. Warga masyarakat dan tokoh masyarakat Dukuhan berbusana kejawen lengkap,
16. Jathilan Rapak dari Keliran,
17. Warga masyarakat pendherek dari Diro dan tokoh-tokoh masyarakat pembawa hasil bumi,
18. Jathilan dari Plembon, dan
19. Warga masyarakat umum.
Pada akhir upacara, biasanya diselenggarakan pagelaran wayang kulit dengan lakon cerita "Makukuhani" atau "Sri Mulih" atau "Sri Boyong" yang mengisahkan legenda Dewi Sri sebagai lambang kemakmuran agar terus bersemayam di dusun tersebut.

Upacara Adat Jodhangan Cerme

Adat Jodhangan Cerme

Dusun Srunggo, Desa Selopamioro Imogiri, Bantul INDONESIA

Desa Selopamioro memiliki berbagai kegiatan sosial dan seni budaya. Salah satu kegiatan budaya adalah Jodhangan. Upacara ini dilaksanakan di pelataran Goa Cerme di perbukitan Imogiri yang terletak di dusun atau Srunggo I dan Srunggo II. Upacara Jodhangan yang sudah berlangsung turun temurun. Sesuai tradisi, upacara tersebut dilaksanakan Ahad Pahing di bulan Besar (Dzulhijjah) menurut kalender Jawa.
Upacara diawali dengan menggunting buntal kemudian dilaksanakan kirab 18 jodhang di Balai desa Selopamioro menuju gua cerme sejauh 1 kilometer, dipikul dengan jalan kaki. Sebagian besar warga Srunggo, terutama yang mengikuti kirab, mengenakan busana jawa. Sebagai rangkaian upacara budaya, sebelumnya diadakan bersih desa yang mengandung makna menjauhkan warga Srunggo dari hal-hal yang sifatnya negatif, seperti hubungan antar warga yang tidak harmonis, lunturnya semangat untuk memajukan daerah dan sebagainya
Di dalam jodhang atau usungan itu berisi nasi beserta lauk pauk untuk kenduri, sayur mayur, buah-buahan serta padi yang sudah menguning. Seluruh isi jodhang itu melambangkan kemakmuran dari warga dua desa, Srunggo I dan II. Mereka bersyukur atas limpahan rahmat, berkat dan rejeki. Mereka juga memohon agar di tahun-tahun mendatang tetap mendapatkan limpahan rejeki, rahmat dan berkat Tuhan.
Selain jodhang buatan warga 18 RT di dua dusun Srunggo tersebut, ada satu jodhang besar yang dibuat secara khusus atas pesanan 15 warga di luar desa Srunggo. Mereka mempunyai ujub khusus yang berbeda-beda. Ada yang minta kepada Tuhan YME agar hasil panen padi miliknya hasilnya tetap bagus; ada yang berujub agar usahanya berhasil, diberi ketentraman lahir batin dan ada yang memohon kepada Tuhan agar penyakit yang diderita keluarganya segera sembuh.
Di jaman para Wali dulu, konon gua ini tempat bermusyawarah para tokoh Islam itu. Sebagian masalah yang menjadi bahan pembicaraan adalah bagaimana kiat-kiat para wali dalam memberikan ceramah dan syiar agar warga masyarakat dengan rela memeluk agama Islam.

Upacara Adat Grebeg Maulud

Garebeg Maulud

Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Yogyakarta INDONESIA 55122


Gerebeg atau grebeg mempunyai arti "suara angin". Garebeg merupakan salah satu adat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang untuk pertama kalinya diselenggarakan oleh Sultan Hamengku Buwana I. Upacara kerajaan ini melibatkan seluruh Kraton, segenap aparat kerajaan serta melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Secara formal, garebeg bersifat keagamaan yang dikaitkan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW serta kedua hari raya Islam (Idul Fitri dan Idhul Adha).
Garebeg secara politik juga menjabarkan gelar Sultan yang bersifat kemuslimatan (Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifatullah). Selama satu tahun terdapat tiga kali upacara garebeg yaitu Garebeg Mulud, Garebeg Besar, dan Garebeg Sawal yang diselenggarakan di kompleks Kraton dan lingkungan sekitarnya, seperti di Alun-alun Utara.
Garebeg Mulud diselenggarakan untuk memperingati hari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW yang jatuh tepat pada tanggal 12 Rabiulawal. Bulan Rabiulawal disebut juga bulan Mulud dalam kalender Jawa-Islam. Itulah sebabnya garebeg yang diselenggarakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, disebut Garebeg Mulud. Sebenarnya tanggal 12 Rabiulawal mempunyai dua arti penting dalam riwayat hidup Sang Nabi, karena diyakini oleh umat Islam bahwa Nabi Muhammad SAW lahir dan wafat pada tanggal dan bulan yang sama.
Tradisi memperingati hari lahir Sang Nabi ini baru tumbuh setelah agama Islam berkembang luas ke negara-negara lain di luar jazirah Arab. Hari lahir Nabi Muhammad SAW bukanlah hari raya resmi Islam, sebab Islam hanya mengenal dua hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Perayaan hari lahir Nabi Muhammad SAW sebagai upacara kerajaan ini dipelopori oleh Kesultanan Demak, dari zaman ke zaman dilestarikan oleh para raja Jawa yang kemudian dikenal sangat populer sebagai Garebeg Mulud.
Sebelum Garebeg Mulud diselenggarakan, terdapat beberapa kegiatan adat yang dilaksanakan dalam lingkungan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yaitu:
- Upacara Gladi Resik untuk kesiapan prajurit Kraton oleh Bupati Nayoko Kawedanan Ageng Prajurit,
- Upacara Numplak Wajik sebagai tanda permulaan pembuatan gunungan,
- Upacara Miyosipun Hajad Dalem sebagai puncak upacara dengan mengiring keluarnya Hajad Dalem yang berujud gunungan dari dalam Kraton ke Masjid Besar oleh Kyai Pengulu Kraton.
Selain Garebeg Mulud, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat juga menyelenggarakan Garebeg Mulud Dal yang terjadi setiap satu windu sekali, dan dilaksanakan secara istimewa dengan penuh kemegahan, serta lebih banyak mengungkapkan unsur-unsur kebudayaan lama identitas raja, kerajaan Jawa.
Dalam Garebeg Mulud Dal, Sultan hadir di Masjid Besar di tengah publik dengan memperlihatkan tradisi Kejawen yang penuh dengan unsur-unsur kebudayaan Jawa Kuno, berbagai macam pusaka Kraton yang sangat keramat sebagai pernyataan tradisional bahwa sultan dan Kasultanan Yogyakarta adalah ahli waris sah dari para raja dan kerajaan Jawa terdahulu. Juga menyatakan sikap tradisional sultan sebagai wakil dari suku bangsanya dalam memuliakan para leluhur.
Kehadiran Sultan di Masjid Besar ditujukan juga untuk melakukan kegiatan religius Islam yakni menendang tumpukan batu-bata yang ditempatkan di pintu terbuka di pagar tembok bagian selatan Masjid Besar. Hal ini merupakan tindakan simbolik yang melambangkan rakyat pada zaman Kasultanan Demak secara resmi telah meninggalkan agama Hindu�Budha untuk memeluk agama Islam. Upacara ini dilakukan hanya setiap delapan tahun sekali atau sekali dalam sewindu.
Gunungan Mulud Dal disebut sebagai Gunungan Kutug atau Gunungan Bromo. Di bagian puncak, diberi lubang untuk menampakkan sebuah anglo berisi bara yang membakar segumpal besar kemenyan, sehingga secara terus menerus mengepulkan asap tebal jika dihembus angin. Pajangannya berupa beraneka macam kue berwarna-warni hampir sama dengan pajangan Gunungan Lanang, bervariasi dengan Gunungan Wadon. Di bagian bawah, beralaskan kain banung tulak dan diletakkan tegak di atas sebuah nampan raksasa berkerangka kayu berukuran 2 x 1,5 m.

Upacara Adat Babat Dalan Giring

Babat Dalan Giring

Desa Giring, Kecamatan Paliyan, Gunung Kidul INDONESIA
 

Desa Giring merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Paliyan. Desa yang terletak di bagian selatan Kota Wonosari ini wilayahnya relatif dekat dengan jalan raya. Oleh karena itu, jaringan listrik sudah masuk hampir di semua wilayah Giring. Ada enam dusun yang ada di bawah Desa Giring, yaitu Bulu, Singkil, Pengos, Gunungdawa, Pulebener, dan Nasri. Mayoritas wilayah Desa Giring, merupakan tanah kering, dan sebagian berupa hutan, sedikit tanah sawah dengan variasi tanaman jagung, ubi kayu, kacang tanah, dan kedelai. Sebagian besar rumah tangga Desa Giring masih mengkonsumsi kayu bakar untuk keperluan dapurnya. Kebutuhan air dipenuhi dari sungai atau danau yang ada di desa tersebut.
Desa Giring mengingatkan adanya nama tokoh yang cukup dikenal. Dari cerita yang berkembang dalam masyarakat mengenai desa tersebut. Desa Giring memang terkait dengan beberapa peristiwa, seperti misalnya upacara Babat Dalan yang terkait dengan tokoh Ki Ageng Giring, yang dulu dikenal dengan nama Kyai Ageng Wonomenggolo, putra Majapahit Prabu Brawijaya IV.
Menurut cerita, dahulu di Giring dan Sada pernah terjadi wabah atau pagebluk. Para tokoh masyarakat kemudian berupaya mencari makam Ki Ageng Giring. Pada saat mencari makam tersebut, di sepanjang jalan mereka "mbabati" atau membersihkan jalan yang menuju ke lokasi makam. Sepanjang jalan mereka mendapati sebidang tanah yang bau wangi dan tulang/bangkai burung berceceran disekitarnya. Saat membuat jalan tersebut, ditemukan beberapa buah benda yaitu tutup kepala dan sebuah tongkat (diberi nama teken dan kethu) yang dipercayai bahwa benda tersebut milik Ki Ageng Giring.
Para pencari makam tadi melakukan semedi dan berjanji akan melakukan syukuran "ambengan" bila Desa Giring dan Sada dapat kembali seperti dulu tanpa pagebluk. Ki Ageng Giring secara kebetulan disemayamkan di Desa Sada.
Cerita tersebut mengandung ajaran kepada seseorang untuk "membersihkan jiwa dari hal-hal yang tidak baik", mengingat Ki Ageng Giring adalah murid Sunan Kalijaga. Dahulu masyarakat setempat melaksanakan upacara ini di masjid Sada dengan sarana upacara adalah "ringin kurung" harus diikat dengan janur, dan mereka membawa clathung (arit) untuk mengambil janur yang dipasang pada pohon kukun (yang ditanam oleh sesepuh Giring).
Sekitar tahun 1985, upacara Babat Dalan sudah tidak lagi diperhatikan oleh masyarakat setempat, khususnya Desa Giring. Kini upacara tersebut hanya diselenggarakan secara individual dengan membuat ambengan dan pengajian. Orang-orang dusun sendiri membawa ambengan, yaitu nasi di tenggok dan lawuhan (lauk pauk).
Upacara Babat Dalan diselenggarakan satu tahun sekali di Desa Giring dan Desa Sada, setelah petani panen padi yaitu pada hari Jumat kliwon pukul 15.00 WIB. Upacara ini diadakan pada hari tersebut karena ada hubungannya dengan saat utusan dari Kraton mencari tempat makamnya Ki Ageng Giring. Dahulu upacara tersebut dilaksanakan secara bersama-sama di Desa Giring, namun dalam perkembangannya, kedua desa masing-masing melaksanakan sendiri.
Tujuan utama diadakannya upacara ini untuk mengingatkan ajaran–ajaran Ki Ageng Giring yang terkandung dalam upacara Babat Dalan yaitu mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung, keprihatinan, dan keteguhan hati dalam keimanan. Selain itu, berkaitan pula dengan adanya kepercayaan supaya warga desa diberi keselamatan dan kesejahteraan dengan mengadakan upacara tradisional tersebut.
Pada hari Kamis Wage, dusun-dusun yang berada di wilayah Desa Giring, mengadakan malam tirakatan, dan pada pagi harinya, Jumat Kliwon, semua sesaji yang telah dipersiapkan dibawa ke balai desa tempat upacara.
Sesaji yang diperlukan dalam upacara Babat Dalan berupa:
- Abon–abon, yang berisi kemeyan, tembakau, kemmbang telon, dan sekedar uang,
- Jenang, dengan warna abang, abang-putih, baro-baro, moncowarno, pliringan, dan blowok
- Tumpeng, yaitu among-among, tempung asmpur, ambengan, nasi wudhuk-ingkung ayam, jadah woran, abon kelapa, pisang ayu, brakahan (polo kependhem, polo gumantung),
Setiap sesaji mempunya makna dan tujuan tertentu:
- Nasi liwet, untuk menghormati yang menjaga kelestarian luar dan dalam rumah masing–masing,
- Jenang merah putih, untuk menghormati terjadinya kedua wahyu dari ayah dan ibu,
- Jenang merah, untuk menghormati penguasa Sangkala yaitu Baginda Ambyah,
- Jenang baro–baro, untuk peringatan wahyu yang lahir bersama penetapan namun lain tempat,
- Jenang moncowarno, untuk memperingati kiblat empat lima yang ditempati,
- Jenang piringan, untuk memperingati sahabatnya Nyai Roro Kidul,
- Tumpeng Among, untuk memperingati malaikat pamomong semua warga masyarakat dan hak pemilikan semua warga,
- Tumpeng Sampur, untuk melambangkan saat menerima wahyu agar bisa sempurna dan lestari,
- Nasi Ambeng, untuk peringatan para arwah leluhur yang telah mendahului menghadap Yang Maha Agung,
- Nasi Memule, untuk peringatan semua yang ada di muka bumi dan di bawah langit,
- Nasi Tumpeng Batok Bolu, untuk peringatan yang berkewajiban menjaga sebelah pintu kiri luar dan dalam,
- Apem Goreng, permohonan ampun bilamana banyak kesalahan para arwah leluhur agar semua sukma yang masih di pintu neraka segera diterima disisi Yang Maha Agung,
- Nasi Tumpeng Alus, permohonan agar semua permintaan dikabulkan,
- Pisang Ayu, untuk mangayu–ayuning bawono murih raharjaning praja dalam arti semua keberadaan di muka bumi dari Yang Maha Agung wajib dilestarikan,
- Brakalan (polo kependem, polo rambat), untuk mengingatkan bahwa masa hidupnya Ki Ageng Giring adalah petani yang menanam jenis tanaman tersebut dan tidak lupa makan jenis makanan tadi, yang menggambarkan cara hidup sederhana.
Sebelum acara dimulai, pemimpin upacara membacakan satu per satu jenis sesaji, dan para pesertanya menyetujui dan membenarkannya. Tepat pukul 15.00 WIB, upacara dimulai dengan mengikrarkan ujub oleh sesepuh desa disertai dengan pembakaran kemenyan dan pembacaan mantra suci, yaitu pemusatan hati ke alam semedi menurut kepercayaan masing-masing. Setelah itu dilanjutkan dengan doa selamat.
Selesai doa selamat, semua sesaji yang berupa nasi dan lauk pauk dimakan bersama. Biasanya ada sisa nasi yang dibawa pulang, baik untuk keluarga yang tidak bisa ikut upacara, maupun untuk dikeringkan menjadi aking. Aking tersebut dicampur dengan benih padi agar ketika benih tersebut disebarkan di lahan, para warga akan memperoleh hasil panen yang baik, karena sudah mendapat berkah dari Ki Ageng Giring.