Gunungan Kutug Bromo

Kata gunungan dalam bahasa Jawa bermakna "gunung-gunungan", seperti gunung, menyerupai gunung. Gunungan adalah salah satu wujud sesajian selamatan (dalam bahasa Jawa disebut sajen wilujengan) yang khusus dibuat untuk disajikan dalam selamatan negara (dalam bahasa Jawa disebut Wilujengan Negari) setiap garebeg dan maleman atau selikuran.

Gunungan Kutug atau Gunungan Bromo Merupakan gunungan yang dibuat delapan tahun sekali yaitu tiap tahun Dal pada saat upacara Garebeg Mulud Dal. Bentuk gunungan ini agak mirip dengan gunungan wadon, tetapi di bagian puncaknya diberi lubang untuk menempatkan sebuah anglo berisi bara yang membakar segumpal besar kemenyan, sehingga secara terus-menerus mengepulkan asap tebal jika dihembus angin.

Pajangannya berupa beraneka macam kue berwarna-warni, hampir sama dengan pajangan pada gunungan lanang, bervariasi dengan gunungan wadon. Di bagian bawah beralaskan kain bangun tulak, dan diletakkan tegak di atas sebuah nampan raksasa berkerangka kayu berukuran 2 x 1,5 meter.

Gunungan Dharat

Kata gunungan dalam bahasa Jawa bermakna "gunung-gunungan", seperti gunung, menyerupai gunung. Gunungan adalah salah satu wujud sesajian selamatan (dalam bahasa Jawa disebut sajen wilujengan) yang khusus dibuat untuk disajikan dalam selamatan negara (dalam bahasa Jawa disebut Wilujengan Negari) setiap garebeg dan maleman atau selikuran.

Salah satu gunungan dalam upacara garebeg. Gunungan ini pada bagian puncaknya berhamparkan kue besar berbentuk lempengan yang berwarna hitam, dan sekelilingnya ditancapi dengan sejumlah besar kue ketan berbentuk lidah yang disebut ilat-ilatan (ilat = lidah). Gunungan ini diletakkan tegak diatas sebuah nampan raksasa berkerangka kayu, dan diberi alas kain bangun tulak. Di bawah nampan dipasang dua batang kayu atau bambu panjang sebagai alat pemikul.

Gunungan Lanang

Kata gunungan dalam bahasa Jawa bermakna "gunung-gunungan", seperti gunung, menyerupai gunung. Gunungan adalah salah satu wujud sesajian selamatan (dalam bahasa Jawa disebut sajen wilujengan) yang khusus dibuat untuk disajikan dalam selamatan negara (dalam bahasa Jawa disebut Wilujengan Negari) setiap garebeg dan maleman atau selikuran.

Gunungan Lanang pada bagian puncak disebut mustaka (kepala), ditancapi kue terbuat dari tepung beras yang disebut badheran karena bentuknya seperti ikan badher. Badheran dihias dengan lima kalungan bunga melati yang di ujungnya beruntaikan bunga kantil.

Bagian mustaka dipasang melingkar rapat sejumlah rangkaian kue tepung beras yang berbentuk bola-bola kecil disebut bendul. Di bawahnya dipasang melingkar rapat satu rangkaian telur asin. Di seluruh bagian batang tubuh, dipasangi ratusan kacang panjang, bagian pucuknya diberi sebuah kue berbentuk cincin terbuat dari ketan yang disebut kucu dan setiap kucu digantungi sebuah kue berbentuk segitiga yang disebut upil-upil.

Seluruh batang tubuh gunungan lanang, selain dipasangi ratusan kacang panjang, juga diberi sejumlah besar rangkaian lombok atau cabe merah yang besar-besar, dan diberi sembilan buah telur rebus dan sembilan buah telur asin. Setiap gunungan lanang diletakkan tegak lurus diatas sebuah nampan raksasa berkerangka kayu dengan ukuran  2 x 1,5 meter.

Nampan ini selain dipasangi sebuah gunungan juga masih diberi hiasan berupa dua belas nasi tumpeng dengan lauk pauknya yang diberi wadah empat bungkusan daun pisang. Di samping itu masih diberi empat buah kelapa muda dan sepasang daun muda serta alas kain bangun tulak atau bango tulak. Di keempat penjuru nampak, digantungkan empat kalung rangkaian bunga melati.

Gunungan Wadon

Kata gunungan dalam bahasa Jawa bermakna "gunung-gunungan", seperti gunung, menyerupai gunung. Gunungan adalah salah satu wujud sesajian selamatan (dalam bahasa Jawa disebut sajen wilujengan) yang khusus dibuat untuk disajikan dalam selamatan negara (dalam bahasa Jawa disebut Wilujengan Negari) setiap garebeg dan maleman atau selikuran.

Gunungan Wadon mempunyai bentuk seperti gunung dengan bagian puncak yang terlalu lancip. Juga mirip dengan payung terbuka. Bagian mustaka dihampiri kue besar berbentuk lempengan dengan warna hitam yang sekelilingnya ditancapi sejumlah besar kue berbentuk daun. Sekeliling tepinya ditancapi lidi-lidi bambu panjang, diberi kue ketan berbentuk seperti paruh burung betet, yang disebut betetan.

Bagian bawah tubuh berupa penyangga berbentuk kerucut terbalik yang dibuat dari sejumlah besar pelepah daun pisang. Selain itu diberi kue berbentuk lingkaran besar terbuat dari ketan berwarna coklat yang besar disebut wajik. Disamping itu diberi aneka macam kue kecil-kecil serta buah-buahan.

Gunungan wadon diletakkan tegak diatas sebuah nampan raksasa berkerangka kayu dengan ukuran kurang lebih 2 x 1,5 meter dengan diberi alas kain bangun tulak atau bango tulak. Di keempat penjuru nampan, digunakan potongan kain kuning.

Upacara Adat Bersih Desa Giwangan

Bersih Desa Giwangan

Kelurahan Giwangan, Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta INDONESIA

Giwangan merupakan salah satu kelurahan yang terletak di wilayah Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta. Sebagian besar penduduk Kelurahan Giwangan ini bekerja di luar sektor pertanian, dan lahan pertanian semakin lama semakin sempit. Meskipun demikian, terdapat upacara adat yang justru diselenggarakan dalam nuansa pertanian sebagai warisan turun temurun dari leluhur mereka yang bekerja sebagai petani. Upacara di daerah pinggiran Kota Jogja ini disebut Bersih Desa Giwangan.
Awalnya, upacara Bersih Desa ini dilaksanakan setelah masa panen padi tiba. Pada perkembangannya, kegiatan tradisional tersebut kini diselenggarakan pada bulan Besar (tahun Jawa) satu tahun satu kali. Untuk harinya, tidak terpaku pada hari-hari tertentu, hanya saja tidak pada hari pasaran Pon (pasaran Jawa) karena merupakan hari pantangan. Masyarakat percaya bahwa hari pasaran Pon merupakan hari meninggalnya Panembahan Senopati. Tempat pelaksanaan upacara pada waktu dulu dilaksanakan di Pendopo, tetapi karena kemajuan jaman tempat semakin terbatas maka pelaksanaan tempat upacara dilakukan di tempat Rois atau Kaum.
Tujuan dari penyelenggaraan upacara ini adalah sebagai ungkapan syukur kepada Yang Maha Agung karena masyarakat Giwangan telah diberi keselamatan selama satu tahun dan juga permohonan akan keselamatan dan kesejahteraan pada tahun–tahun yang akan datang semoga tidak terdapat bencana atau aral melintang yang berat di wilayah Giwangan.
Bersih Desa Giwangan ini diawali dengan berbagai macam persiapan. Diantaranya adalah dengan melaksanakan kerja bakti di lingkungan masing-masing warga. Kemudian juga dilakukan pembenahan jalan-jalan dan gang-gang kampung agar tampak lebih bersih dan rapi. Di samping itu, juga dipersiapkan arena kesenian yang akan digelar pada saat yang bersamaan dengan upacara Bersih Desa. Persiapan-persiapan tadi kebanyakan dikerjakan oleh kaum lelaki, baik tua maupun muda.
Sedangkan bagi para perempuan, mereka mempersiapkan nasi ambengan yang digunakan untuk kenduri. Sebagian juga mempersiapkan tumpeng dan sesaji lainya yang akan dibagikan pada masyarakat setelah selesai kenduri. Adapun sesaji yang dipergunakan adalah:
- Nasi Gurih, sebagai persembahan kepada para leluhur,
- Ingkung, sebagai lambang manusia ketika masih bayi dan sebagai lambang kepasrahan pada Yang Maha Agung,
- Jajan Pasar, sebagai lambang agar masyarakat mendapat berkah,
- Pisang Raja, sebagai lambang harapan agar mendapat kemuliaan dalam masa kehidupan,
- Nasi Ambengan, sebagai ungkapan syukur atas rezeki dari Yang Maha Agung,
- Jenang, berupa jenang merah putih (lambang bapak dan ibu) dan jenang palang (penolak marabahaya),
- Tumpeng, berupa tumpeng lanang (lambang Yang Maha Agung) dan tumpeng wadon (lambang penghormatan pada leluhur) yang ukurannya lebih kecil, dan
- Ketan Kolak Apem, untuk memetri pada dhanyang yang ada di wilayah Giwangan.
Pelaksanaan upacara ini dari masing–masing warga membawa nasi ambengan menuju rumah Rois untuk diikutkan dalam kenduri, sementara uba rampe yang lain telah dipersiapkan di rumah Rois. Setelah semua berkumpul, Rois kemudian membaca doa; setelah selesai dilakukan makan bersama dengan pembagian ingkung dan tumpeng kepada warga yang hadir dalam kenduri. Bagi yang tidak memakan di tempat, sesaji tersebut dapat dibawa pulang untuk dimakan bersama keluarga sebagai sarana pembawa berkah. Dulu, kenduri dilakukan siang hari tetapi pada saat sekarang ini dilaksanakan pada malam hari dilanjutkan dengan pementasan hiburan dan diakhiri dengan pertunjukkan wayang kulit dengan lakon Tumuruning Dewi Sri dimaksudkan untuk menghormati Dewi Sri sebagai dewi padi.

Upacara Adat Becekan

Becekan

Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman INDONESIA

Upacara adat tradisional Becekan disebut juga Dandan Kali atau Memetri Kali, yang berarti memelihara atau memperbaiki lingkungan sungai, berupa upacara meminta hujan pada musim kemarau yang berlangsung di Kelurahan Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman.
Air sungai sangat penting bagi penduduk setempat untuk keperluan pertanian. Konon sesudah diadakan upacara biasanya segera turun hujan sehingga tanah menjadi becek maka lalu disebut becekan. Becek diartikan juga sebagai sesaji berujud daging kambing yang dimasak gulai. Dusun yang melaksanakan upacara ini antara lain: Dusun Pagerjurang, Dusun Kepuh dan Dusun Manggong.
Penyelenggaraannya dibagi menjadi beberapa tahap: Pertama, memetri sumur di Dusun Kepuh (di kawasan itu hanya dusun ini yang memiliki sumur); Kedua, upacara Becekan dilakukan di tengah-tengah Sungai Gendol; Ketiga upacara khusus di masing-masing dusun.
Upacara ini dimaksudkan untuk berdoa memohon hujan kepada Sang Maujud Agung agar tanah menjadi subur, sehingga warga menjadi sehat, aman, selamat dan sejahtera. Waktu penyelenggaraan, menggunakan pranotomongso yaitu pada mongso kapat dan harinya Jumat Kliwon, jika pada mongso kapat tidak terdapat Jumat Kliwon diundur pada mongso kalimo, sebab hari itu dianggap keramat.
Upacara ini dipimpin oleh seorang modin dan diikuti oleh warga ketiga dusun. Perlu diketahui bahwa seluruh rangkaian acara ini harus dilakukan/diikuti oleh kaum laki-laki dan sesaji sama sekali tidak boleh disentuh oleh wanita serta kambing untuk sesaji harus kambing jantan.
Adapun tujuan dari penyelenggaraan berbagai prosesi selamatan tersebut konon adalah untuk berdoa memohon keselamatan dan kelimpahan rejeki kepada Sang Maujud Agung serta memberi sedekah kepada makhluk halus penghuni Merapi agar tidak mengganggu penduduk, damai dan terbebas dari marabahaya, sehingga tercipta satu harmoni antara manusia dan lingkungan alam.

Upacara Adat Bersih Desa Sendang Agung

Bersih Desa Sendang Agung

Desa Sendang Agung, Kecamatan Minggir, Sleman INDONESIA

Sendang Agung adalah sebuah desa yang terletak di wilayah Kecamatan Minggir, Sleman. Di desa ini, terdapat sebuah upacara adat yang memusatkan "pemujaan" kepada tokoh Ki Ageng Tunggul Wulung, yang dipercayai sebagai leluhur dari Kerajaan Majapahit. Upacara adat tersebut dikenal dengan nama upacara Tunggul Wulung atau Bersih Desa Sendang Agung yang penyelenggaraannya, selain pemujaan kepada leluhur, terkait juga dengan keberhasilan panen raya penduduk setempat.
Upacara adat Bersih Desa ini secara umum memang untuk meminta keselamatan dan kesejahteraan kepada Yang Maha Agung. Namun dalam kenyataannya, masyarakat masih kuat mempercayai "kekuatan gaib", termasuk arwah nenek moyang atau leluhur. Masyarakat akan merasa tenang setelah melakukan upacara adat tersebut karena dengan demikian mereka akan memperoleh keselamatan dan "kekuatan" yang dianggap melebihi kekuatan diri sendiri. Yang penting adalah bahwa masyarakat harus mengadakan upacara walaupun hanya sederhana, sebab kalau sampai tidak menjalani upacara orang akan merasa khawatir atas keselamatannya.
Tujuan lain yang umum dikenal dan dilakukan oleh masyarakat Desa Sendang Agung adalah, sebagai berikut:
- Terpadunya rasa keutuhan dan persatuan warga,
- Kebersihan lingkungan dapat terjamin,
- Kondisi desa dan masyarakat diberikan ketentraman lahir batin,
- Terhindar dan bencana alam, dan
- Terhindar dari serangan hama, sehingga dapat diberikan hasil yang berlimpah.
Tujuan-tujuan tersebut diperoleh secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Penyebaran di antara masyarakat sendiri berlangsung secara gethok tular (dari mulut ke mulut). Berkaitan dengan waktu pelaksanaan, bulannya dapat ditentukan sendiri, hanya saja harinya ditetapkan pada hari Jumat Pon yang dipercaya sebagai hari yang dikeramatkan oleh Ki Ageng Tunggul Wulung. Selain itu, panen rendhengan (musim penghujan) ikut menentukan waktu pelaksanaan upacara. Sebagai pelengkap unsur upacara adat, diadakan tarian tradisional Tayub dan minuman arak.
Upacara adat Tunggul Wulung atau Bersih Desa Sendang Agung ini dimulai dari zaman kehancuran Kerajaan Majapahit dan mulai masuknya Islam di Nusantara. Banyak kerabat atau punggawa kerajaan yang tidak menerima kehadiran Islam, karena telah menganut Hindu. Saat itu di pulau Jawa telah muncul kerajaan Islam, yaitu Demak yang dipimpin oleh Sultan Trenggono dengan penasehat para Wali Sanga. Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Prabu Brawijaya sedang mengalami kemunduran dan kesempatan itu digunakan untuk memasukkan ajaran Islam di Majapahit dengan jalan menjodohkan putri Brawijaya dengan putra Demak, yaitu Adipati Terung.
Kemudian periode penyebaran Islam di Majapahit dimulai. Banyak kerabat dan punggawa kerajaan Majapahit yang meninggalkan kerajaan termasuk Ki Ageng Tunggul Wulung. Ki Ageng Tunggul Wulung pergi dari Majapahit dengan tujuh pengawal termasuk istrinya, yaitu Raden Ayu Gadhung Mlati, tidak ketinggalan Raden Sutejo dan Raden Purworejo yang bersifat kajiman (tidak kasat mata) yang selalu menyertai perjalanan Ki Ageng Tunggul Wulung. Di samping itu, perjalanan Ki Ageng Tunggul Wulung juga disertai oleh abdi dalem kinasih yang bernama Nyai Dakiyah.
Perjalanan Ki Ageng Tunggul Wulung menuju ke Barat dan tiba di Dusun Beji (Diro) di mana kemudian ia membuat pesanggrahan (kraton kecil) yang masih dapat ditemukan sisa-sisa peninggalan berupa patung pepethan lembu Andhini dan sapi Gumarang. Pada suatu malam Jumat Pon, Ki Ageng Tunggul Wulung memohon petunjuk kepada Yang Maha Agung di bawah pohon Timoho di dekat Sungai Progo. Ki Ageng Tunggul Wulung serta istri dan tujuh orang pengawalnya serta Nyai Dakiyah akhirnya mokswa (musnah atau hilang beserta raganya atau hilang tanpa bekas), demikian pula binatang peliharaan Ki Ageng, yaitu burung perkutut, burung gemak, macan gembong, macan kumbang, macan putih, nogo ijo, nogo ireng, dan ayam jago "wiring kuning".
Tempat mokswa Ki Ageng Tunggul Wulung tersebut kemudian dibuatkan nisan seperti layaknya makam, dan diyakini masyarakat banyak sebagai tempat yang keramat atau wingit (memiliki daya magis), sehingga banyak orang yang berziarah di "makam" ini.
Tradisi tayuban di wilayah ini dimulai dari seorang ledhek (penari perempuan) yang mencari penglaris agar bila menari ledhek tersebut mendapatkan banyak rezeki. Kemudian ledhek tersebut tirakat (laku prihatin) di kompiek makam Ki Ageng Tunggul Wulung, tetapi kemudian hilang tidak diketahui rimbanya. Masyarakat menyakini bahwa ledhek yang menghilang disukai oleh Ki Ageng Tunggul Wulung.
Pada perkembangan selanjutnya setiap Upacara Bersih Desa diadakan kenduri selamatan baik di makam maupun di rumah Juru Kunci yang kemudian dilanjutkan dengan tayuban dengan diiringi gendhing "Sekar Gadhung" dan sang ledhek menari tanpa diibing, karena menurut keyakinan yang ngibing adalah Ki Ageng Tunggul Wulung.
Upacara adat Tunggul Wulung atau Bersih Desa Sendang Agung dilaksanakan di lokasi "makam" Ki Ageng Tunggul Wulung, yaitu di Dusun Dukuhan XIII, Desa Sendang Agung, Kecamatan Minggir, Sleman. Selain itu, juga diadakan upacara di rumah Juru Kunci "makam" tersebut. Dalam kaitannya dengan prosesi upacara adat, sebenarnya ada juga tempat lain yang dapat disebutkan, yaitu Dusun Dero (Desa Sendang Agung, Minggir, Sleman) sebagai tempat awal sebelum dilakukan kirab menuju ke Dusun Dukuhan XIII.
Upacara adat secara umum dipimpin oleh Juru Kunci dalam hal penentuan waktu upacara, orang-orang yang terlibat, dan persiapan upacara. Khusus pemimpin kenduri, di makam, dipimpin oleh Juru Kunci dan di rumah Juru Kunci, dipimpin oleh Kaum atau Rois.
Peralatan yang diperlukan dalam penyelenggaraan upacara meliputi :
- Goci dan sloki, sebagai wadah minuman yang dipersembahkan bagi Ki Ageng Tunggul Wulung,
- Padi satu unting, sebagai lambang hasil panenan yang berlimpah,
- Gamelan laras slendro, untuk mengiringi tarian ledhek pada saat tayuban (Ladrang Sekar Gadhung),
- Selendang atau sampur, sebagai kelengkapan menari ledhek.
Adapun isi sesaji yang diperlukan sebagai pelengkap kenduri adalah:
- Tumpeng sekul wuduk, sebagai lambang kekuasaan manusia senantiasa di bawah Yang Maha Agung
- Lalapan
- Nasi golong, sebagai lambang gumolonging atau kebulatan tekad manembah kepada Yang Maha Agung
- Pisang raja setangkep
- Tukon pasar
- Ingkung "wiring kuning", dari ayam jago sebagai lambang manekung kepada Yang Maha Agung
- Kopi, arak, kinang, dan rokok cerutu
Kirab upacara adat Tunggul Wulung ini mempunyai prosesi tersendiri, yaitu:
1. Prajurit dan Dusun Dukuhan berjumlah 40 orang dengan manggalayuda,
2. Kelompok kesepuhan Dukuhan berjumlah 7 orang,
3. Para pemikul pusaka pemberian Ki Ageng Tunggul Wulung,
4. Klangenan Ki Ageng antara lain: perkutut, gemak, macan, ular, dan lain-lain,
5. Prajurit pembawa pusaka pengiring, diantaranya: prajurit dari Dusun Dukuhan XII berjumlah 30 orang yang dipimpin oleh seorang pandega (komandan) prajurit dengan membawa pedang-tameng,
6. Penabuh drum, simbal, dan trompet berjumlah 10 orang,
7. Para pemikul sesaji (dari RT/RW Tengahan X, XI, XII, dan Dukuhan serta dari tingkat desa dan kecamatan),
8. Kelompok Jathilan, dari Minggir II Jati Kebar,
9. Arak-arakan hasil bumi dengan dimuat dalam keseran yang dihias, dari Dukuhan X, XI, dan XII, Tengahan, Diro, petani sekitar Desa-desa se Kecamatan Minggir
10. Kelompok kesenian dari Brajan,
11. Para kepala desa dan punggawa kecamatan,
12. Kelompok kesenian Trengganon dari Parakan Sendang Sari,
13. Para kepala dusun Sendang Mulyo dan Sendang Agung yang berbusana kejawen lengkap,
14. Jathilan Jawa dari Kedung Prau Sendangrejo (Minggir) berbusana wayang orang lengkap,
15. Warga masyarakat dan tokoh masyarakat Dukuhan berbusana kejawen lengkap,
16. Jathilan Rapak dari Keliran,
17. Warga masyarakat pendherek dari Diro dan tokoh-tokoh masyarakat pembawa hasil bumi,
18. Jathilan dari Plembon, dan
19. Warga masyarakat umum.
Pada akhir upacara, biasanya diselenggarakan pagelaran wayang kulit dengan lakon cerita "Makukuhani" atau "Sri Mulih" atau "Sri Boyong" yang mengisahkan legenda Dewi Sri sebagai lambang kemakmuran agar terus bersemayam di dusun tersebut.