untuk sekedar menggugah memori lama yang
pernah tinggal di jogja namun kini telah berpindah ruang hidupnya dan
untuk yang belum ke jogja supaya bisa semakin tergiur untuk mampir di
kota budaya ini tentu saja tak ketinggalan untuk mereka yang masih
bertahan di jogja supaya bisa mengenal malioboro tidak hanya sebagai
“pasar” cindramata tapi juga ada sejarah dan budaya serta keragaman di
wilayah kraton ini.
jogja yang penuh misteri, jogja yang
sepi. tak ada yang istimewa dari jogja kala itu selain satu-satunya
wilayah yang bebas dari intervensi belanda, tentu ini bukan tanpa alasan
karena sultan Hamangkubuwana 9 adalah teman sekolah Ratu belanda.
bahkan beredar gosip kalau ratu belanda kepincut dengan sultan ke
sembilan ini. tapi sebelum itu marilah arahkan pencarian sejarah kita
pada Sultan Hamangkubuwana 1. saat itu Hamangkubuwana 1 mengangkat
kapiten seorang Cina, Tan Jin Sing, pada tahun 1755 dan memiliki nama
jawa Setjodingrat dan tinggal di ndalem Setjodingratan. perlahan namun
pasti sekitar kawasan Setjodiningrat menjadi semacam komples pecinan.
ini bisa dilihat dari rumah-rumah toko yang menjual barang-barang
kelontong, emas dan pakaian.
hal ini juga ditunjang karena
tersingkirnya para pedagang tionghoa dari basis bisnis jogja kala itu di
wilayah kotagede. bahkan menurut AntonDjkarta yang saya kutip dari
blognya,
“Malioboro adalah kanal bisnis bagi kelompok Tionghoa yang dimasa lalu memiliki sejarah hubungan naik turun dengan kekuasaan Kesultanan Yogyakarta. Di Kotagede, kaum Tionghoa tidak diperbolehkan berdagang karena memang sudah ada mayoritas pebisnis pribumi seperti Kelompok Kalang dan Kelompok pedagan Muslim yang melingkar pada organisasi Muhammadijah. Di tengah kota kelompok Tionghoa ini menjadikan Malioboro sebagai daerah modal untuk mengembangkan bisnisnya. Perang Jawa tidak akan bisa lepas dari percaturan politik Tionghoa. Tokoh seperti Tumenggung Secodiningrat. Sejarah Secodiningrat adalah sejarah percampuran juga sejarah politik dan kebencian rasial. Politik Cinta-Benci yang selalu menandai sejarah kekuasaan Jawa-Mataram ini ternyata mendapatkan tempat dalam cerita jalan Malioboro. Di jaman Secodiningrat inilah jalan Malioboro menjadi saksi beberapa intrik keraton yang kemudian juga melibatkan ketidaksenangan Paku Alam terhadap peran Secodiningrat.”
sekitar tahun 1916 kawasan pecinan yang
berkembang di wilayah setjodiningratan yaitu sebelah timur kantor pos
besar, mulai menjadi basis bisnis menyaingi wilayah kotagede. apalagi
setelah dibangun pasar gedhe yang sekarang bernama pasar bringharjo dan
mulai beroprasi tahun 1926 geliat ekonomi di kawasan ini mulai beranjak
naik. padahal sebelumnya jalan ini hanyalah jalan biasa yang jarang
dijamah kecuali sebagai tempat lewat menuju keraton.
Kawasan Pecinan mulai meluas ke utara,
sampai ke Stasiun Tugu yang dibangun pada 1887 dan Grand Hotel de
Yogya (berdiri pada 1911, kini Hotel Garuda). Malioboro menjadi
penghubung titik stasiun sampai Benteng Rusternburg (kini Vredeburg)
dan Kraton. Rumah toko menjadi pemandangan lumrah di sepanjang
jalan ini. Karena itu, secara kultural, ruang Malioboro merupakan
gabungan dua kultur dominan, yakni Jawa dan Cina.
maliboro yang berarti jalan bunga
(mungkin untuk menghubungkan dengan pasar kembang disebelah utara)
sebelum menjadi pusat niaga hanyalah jalan luji kebon. perkembangan
malioboro selain ditunjang oleh bakat bisnis orang-orang tionghhoa juga
ditunjang oleh posisi yang stretegis dalm filosofi garis imajiner jogja.
muncul dan berdirinya bangunan-bangunan strategis juga berperan pada
perkembangan malioboro seperti pasar bringharjo, hotel grand jogja
hingga stasiun tugu.
hingga kini malioboro menjadi bagian tak
terpisahkan dari sejarah intrik kehidupan jogja (bisa di baca di tulisan
sebelumnya). selain sejarah intrik dagang, malioboro adalah saksi bisu
penangkapan soekarno sat agresi miiter 2 belanda, saksi pertempuran 6
jam. hingga kini di malioboro juga menjadi pusat dari pemerintahan jogja
dengan berdirinya kantor-kantor pemerintahan.
tapi yang jarang terlintas dalam
perkembangan sejarah jogja adalah dunia sastra. dari sinilah dunia
sastra jogja mulai mengembangkan taring. dalam Antologi Puisi Indonesia
di Yogyakarta 1945-2000 memberi judul “MALIOBORO” untuk buku tersebut,
uku yang berisi 110 penyair yang tinggal dan pernah tinggal di
yogyakarta selama kurun waktu lebih dari setengah abad.
selain itu malioboro memberi jejak
tersendiri pada dunia sastra indonesia pada umumnya maupun jogja pada
khususnya. kisah ini terlacak saat tahun 1970-an, Malioboro tumbuh
menjadi pusat dinamika seni budaya di Yogya. Malioboro menjadi
‘panggung’ bagi para seniman ‘jalanan’, dengan pusatnya senisono.
Mungkin kita masih ingat julukan Presiden Malioboro pada Umbu Landu
Paranggi cucu raja sumba, yang melahirkan muid-murid berkaliber
“monster” dalam dunia sastra (alm) Linus Suryadi dan Emha Ainun Najib
serta korys layun rampan, hingga ratusan pemuja umbu dalam lingkaran
komuniats PSK (persada studi klub) . Daya hidup seni jalanan ini
akhirnya mandek pada 1990-an setelah gedung Senisono ditutup
Warisan ‘para seniman ini di
Malioboro adalah ‘budaya lesehan’, yang lalu menjadi eksotisme dan
merupakan daya jual kekhasan warung-warung di Malioboro. Dalam konteks
budaya, bangunan-bangunan bergaya Indies Hindia Belanda, Jawa dan
Cina di kawasan ini mungkin masih menjadi peninggalan yang berarti,
di tengah munculnya sejumlah bangunan baru bergaya modern, seperti
Mal Malioboro.
malioboro adalah Sebuah jalan pada
satu kota adalah kumpulan kenangan yang tergabung secara kolektif bagi
penghuninya, namun secara umum saya lebih menikmati titik nol KM jogja
yang merupakan ujung selatan jaln malioboro, di situlah hingga kini
“budaya lesehan” para seniman masih terus berlanjut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar