Pesan Penting Sri Sultan Hamengkubuwono IX

12 April yang lalu adalah peringatan 100 tahun hari lahir Sri Sultan HB IX yang dirayakan oleh (sebagian) warga Jogja, khususnya para abdi dalem dan keluarga dan kerabat Sultan yang sekarang. Banyak acara digelar dari orasi budaya oleh HB X, seminar ilmiah, acara konser musik, hingga ritual jalan kaki mengelilingi kraton yang sering dikenal dengan istilah “mubeng beteng”.
Sri Sultan HB IX, yang masyhur dengan ucapannya “saya memang berpendidikan di Barat, tapi saya tetap lah orang Jawa” ini, memang sosok pemimpin yang dilahirkan Indonesia yang pantas diteladani. (Mohon dicatat, saya bicara tentang HB IX saja, bukan sebelum dan sesudahnya). Asalnya dari Jogja asli, namun terlibat secara penuh dalam rangka perjuangan kemerdekaan RI dari Belanda, sekaligus menjadi tokoh nasional. Pernah menjadi wakil presiden, tapi juga sebagai tokoh dunia karena sering berhasil memimpin perundingan internasional, dan sukses! Pendek kata, HB IX bukanlah tokoh lokal, namun meng-Indonesia sekaligus mendunia.
Bisa dikatakan, HB IX termasuk founding father Negara Kesatuan Republik Indonesia bersama Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan lainnya. Sosok yang semacam ini bisa jadi sudah barang langka kalau melihat stok politisi Indonesia masa kini yang ada di kabinet maupun di parlemen.
Peringatan 1 abad Sri Sultan HB IX ini memang menemukan momen yang pas berkaitan dengan geger soal keistimewaan DIY yang masih dibahas Jakarta. Dalam berbagai acara peringatan di atas tadi, memang banyak hikmah yang disampaikan oleh anaknya, yaitu HB X, soal “jangan mengkultuskan ayah saya” maupun soal keteladanan kepemimpinan yang mengayomi.
Tapi jika ditilik lebih jujur lagi, kaitannya dengan keistimewaan DIY yang sedang ramai dibicarakan, Sri Sultan HB IX pernah dengan tegas mengatakan bahwa sebenarnya jabatan Sultan dengan jabatan Gubernur itu memang harus dipisahkan. Jelas ini sikap dan pendirian yang tegas dari sosok yang paham betul dengan arti NKRI, demokrasi, etika publik, tanpa harus melepaskan tradisi lokal. Beliau berujar sebagai berikut (Majalah TEMPO, 17 Oktober 1987):
“……..”Gelar Sultan Hamengku Buwono akan tetap ada turun-temurun,” ujar Hamengku Buwono IX di Padang, bulan lalu. Hanya saja, menurut ancer-ancer Sultan, fungsinya tidak perlu sebagai kepala daerah, seperti dijamin UU no. 3 tahun 1950 tentang Daerah Istimewa Yogyakarta, melainkan sebatas sebagai kepala keluarga Kasultanan dengan tugas melestarikan keraton dan peran budayanya.”
Jika memang kita, warga Ngayogyakarta Hadiningrat, meneladani HB IX, tentu mestinya jujur dalam bersikap. Bahwa ternyata memang wacana soal penetapan sultan sebagai gubernur itu jelas mengingkari amanat HB IX sendiri.

Tidak ada komentar: