Ramayana konon kabranya
diambil dari ceritera yang benar-benar pernah terjadi di daratan India. Saat
itu daratan India dikalahkan oleh India Lautan yang juga disebut tanah
Srilangka atau Langka, yang dalam pewayangan disebut Alengka. Tokoh Rama adalah
pahlawan negeri India daratan, yang kemudian berhasil menghimpun kekuatan
rakyat yang dilukiskan sebagai pasukan kera pimpinan Prabu Sugriwa. Sedang
tanah yang direbut penguasa Alengka dilukiskan sebagai Dewi Sinta (dalam bahasa
Sanskerta berarti tanah). Dalam penjajahan oleh negeri lain, umumnya segala
peraturan negara dan budaya suatu bangsa akan mudah berganti dan berubah
tatanan, yang digambarkan berupa kesucian Sinta yang diragukan diragukan.
Maka setelah Sinta dibebaskan, ia lantas pati
obong, yang artinya keadaan negeri India mulai dibenahi, dengan merubah
peraturan dan melenyapkan kebudayaan si bekas penjajah yang sempat berkembang
di India. sebenarnya diambil dari ceritera yang benar-benar terjadi di daratan
India. Saat itu daratan India dikalahkan oleh India Lautan yang juga disebut
tanah Srilangka atau Langka, yang dalam pewayangan disebut Alengka. Tokoh Rama
adalah pahlawan negeri India daratan, yang kemudian berhasil menghimpun
kekuatan rakyat yang dilukiskan sebagai pasukan kera pimpinan Prabu Sugriwa.
Sedang tanah yang direbut penguasa Alengka dilukiskan sebagai Dewi Sinta (dalam
bahasa Sanskerta berarti tanah). Dalam penjajahan oleh negeri lain, umumnya
segala peraturan negara dan budaya suatu bangsa akan mudah berganti dan berubah
tatanan, yang digambarkan berupa kesucian Sinta yang diragukan diragukan. Maka
setelah Sinta dibebaskan, ia lantas pati obong, yang artinya keadaan negeri
India mulai dibenahi, dengan merubah peraturan dan melenyapkan kebudayaan si
bekas penjajah yang sempat berkembang di India.
Dalam khazanah kesastraan Ramayana Jawa Kuno,
dalam versi kakawin (bersumber dari karya sastra India abad VI dan VII yang
berjudul Ravanavadha/kematian Rahwana yang disusun oleh pujangga Bhatti dan
karya sastranya ini sering disebut Bhattikavya) dan versi prosa (mungkin
bersumber dari Epos Walmiki kitab terakhir yaitu Uttarakanda dari India),
secara singkat kisah Ramayana diawali dengan adanya seseorang bernama Rama,
yaitu putra mahkota Prabu Dasarata di Kosala dengan ibukotanya Ayodya. Tiga
saudara tirinya bernama Barata, Laksmana dan Satrukna. Rama lahir dari isteri
pertama Dasarata bernama Kausala, Barata dari isteri keduanya bernama Kaikeyi
serta Laksmana dan Satrukna dari isterinya ketiga bernama Sumitra. Mereka hidup
rukun.
Sejak remaja, Rama dan Laksmana berguru kepada
Wismamitra sehingga menjadi pemuda tangguh. Rama kemudian mengikuti sayembara di
Matila ibukota negara Wideha. Berkat keberhasilannya menarik busur pusaka milik
Prabu Janaka, ia dihadiahi putri sulungnya bernama Sinta, sedangkan Laksmana
dinikahkan dengan Urmila, adik Sinta.
Setelah Dasarata tua, Rama yang direncanakan
untuk menggantikannya menjadi raja, gagal setelah Kaikeyi mengingatkan janji
Dasarata bahwa yang berhak atas tahta adalah Barata dan Rama harus dibuang
selama 15 (lima belas) tahun. Atas dasar janji itulah dengan lapang dada Rama
pergi mengembara ke hutan Dandaka, meskipun dihalangi ibunya maupun Barata
sendiri. Kepergiannya itu diikuti oleh Sinta dan Laksmana.
Namun kepergian Rama membuat Dasarata sedih dan
akhirnya meninggal. Untuk mengisi kekosongan singgasana, para petinggi kerajaan
sepakat mengangkat Barata sebagai raja. Tapi ia menolak, karena menganggap
bahwa tahta itu milik Rama, sang kakak. Untuk itu Barata disertai parajurit dan
punggawanya, menjemput Rama di hutan. Saat ketemu kakaknya, Barata sambil
menangis menuturkan perihal kematian Dasarata dan menyesalkan kehendak ibunya,
untuk itu ia dan para punggawanya meminta agar Rama kembali ke Ayodya dan naik
tahta. Tetapi Rama menolak serta tetap melaksanakan titah ayahandanya dan tidak
menyalahkan sang ibu tiri, Kaikeyi, sekaligus membujuk Barata agar bersedia naik
tahta. Setelah menerima sepatu dari Rama, Barata kembali ke kerajaan dan
berjanji akan menjalankan pemerintahan sebagai wakil kakaknya
Banyak cobaan yang dihadapi Rama dan Laksmana,
dalam pengembaraannya di hutan. Mereka harus menghadapi para raksasa yang
meresahkan masyarakat disekitar hutan Kandaka itu. Musuh yang menjengkelkan
adalah Surpanaka, raksesi yang menginginkan Rama dan Laksmana menjadi suaminya.
Akibatnya, hidung dan telinga Surpanaka dibabat hingga putus oleh Laksmana.
Dengan menahan sakit dan malu, Surpanaka mengadu kepada kakaknya, yaitu Rahwana
yang menjadi raja raksasa di Alengka, sambil membujuk agar Rahwana merebut
Sinta dari tangan Rama.
Dengan bantuan Marica yang mengubah diri menjadi
kijang keemasan, Sinta berhasil diculik Rahwana dan dibawa ke Alengka.
Burung Jatayu yang berusaha menghalangi, tewas
oleh senjata Rahwana. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Jatayu
masih sempat mengabarkan nasib Sinta kepada Rama dan Laksmana yang sedang
mencarinya.Dalam mencari Sinta, Rama dan Laksamana berjumpa pembesar kera yang
bernama Sugriwa dan Hanuman. Mereka mengikat persahabatan dalam suka dan duka.
Dengan bantuan Rama, Sugriwa dapat bertahta kembali di Kiskenda setelah
berhasil mengalahkan Subali yang lalim. Setelah itu, Hanuman diperintahkan
untuk membantu Rama mencari Sinta. Dengan pasukan kera yang dipimpin Anggada,
anak Subali, mereka pergi mencari Sinta.
Atas petunjuk Sempati, kakak Jatayu, mereka
menuju ke pantai selatan. Untuk mencapai Alengka, Hanuman meloncat dari puncak
gunung Mahendra. Setibanya di ibukota Alengka, Hanuman berhasil menemui Sinta
dan mengabarkan bahwa Rama akan segera membebaskannya. Sekembalinya dari
Alengka, Hanuman melapor kepada Rama. Strategi penyerbuan pun segera disusun.
Atas saran Wibisana, adik Rahwana yang membelot ke pasukan Rama, dibuatlah
jembatan menuju Alengka. Setelah jembatan jadi, berhamburanlah pasukan kera
menyerbu Alengka. Akhirnya, Rahwana dan pasukannya hancur. Wibisana kemudian
dinobatkan menjadi raja Alengka, menggantikan kakaknya yang mati dalam
peperangan. Yang menarik dan sampai saat ini sangat populer di Jawa, adalah
adanya ajaran tentang bagaimana seharusnya seseorang memerintah sebuah kerajaan
atau negara dari Rama kepada Wibisana, yang dikenal dengan sebutan ASTHABRATA.
Setelah berhasil membebaskan Sinta, pergilah Rama
dan Sinta serta Laksmana dan seluruh pasukan (termasuk pasukan kera) ke Ayodya.
Setibanya di ibukota negera Kosala itu, mereka disambut dengan meriah oleh
Barata, Satrukna, para ibu Suri, para punggawa dan para prajurit, serta seluruh
rakyat Kosala. Dengan disaksikan oleh mereka, Rama kemudian dinobatkan menjadi
raja.
Pada akhir ceritera, ada perbedaan mencolok
antara dua versi Ramayana Jawa Kuno. Untuk versi kakawin dikisahkan, bahwa
Sinta amat menderita karena tidak segera diterima oleh Rama karena dianggap
ternoda. Setelah berhasil membersihkan diri dari kobaran api, Sinta
diterimanya. Dijelaskan oleh Rama, bahwa penyucian itu harus dilakukan untuk
menghilangkan prasangka buruk atas diri isterinya. Mereka bahagia.
Sedangkan di dalam versi prosa, menceritakan
bagaimana Rama terpengaruh oleh rakyatnya yang menyangsikan kesucian Sinta.
Disini Sinta yang sedang mengandung di usir oleh Rama dari istana. Kelak Sinta
melahirkan 2 (dua) anak kembar yaitu Kusha dan Lawa. Kemudian kisah ini diahiri
dengan ditelannya Sinta oleh Bumi.
Kisah Ramayana mempunyai banyak versi dengan
berbagai penyimpangan isi cerita, termasuk di India sendiri. Penyebarannya
hampir di seperempat penduduk dunia atau minimal di Asia Tenggara. Sedangkan di
Indonesia, diketahui sekitar 7 – 8 abad yang lalu, walau sesungguhnya di
Indonesia dapat ditemukan jauh lebih dini yaitu sebelum abad 2 Sebelum Masehi.
Ramayana dari asal kata Rama yang berarti
menyenangkan; menarik; anggun; cantik; bahagia, dan Yana berarti pengembaraan.
Cerita inti Ramayana diperkirakan ditulis oleh Walmiki dari India disekitar
tahun 400 SM yang kisahnya dimulai antara 500 SM sampai tahun 200, dan
dikembangkan oleh berbagai penulis. Kisah Ramayana ini menjadi kitab suci bagi
agama Wishnu, yang tokoh-tokohnya menjadi teladan dalam hidup, kebenaran,
keadilan, kepahlawanan, persahabatan dan percintaan, yaitu: Rama, Sita,
Leksmana, Sugriwa, Hanuman, Wibisana. Namun disini, kami informasikan tentang
Ramayana versi Jawa.
Di zaman Mataram Kuno saat Prabu Dyah Balitung
(Dinasti Sanjaya) bertahta, telah ada kitab sastra Ramayana berbahasa Jawa Kuno
(Jawa Kawi), tidak menginduk pada Ramayana Walmiki, lebih singkat, memuat
banyak ajaran dan katanya berbahasa indah. Di awal abad X sang raja membuat candi
untuk pemujaan dewa Shiwa, yaitu Candi Prambanan (candi belum selesai sampai
wafatnya raja yang, maka dilanjutkan oleh penggantinya yaitu Prabu Daksa) yang
sekaligus menjadi tempat ia dikubur, dengan relief Ramayana namun berbeda
dengan isi cerita Ramayana dimaksud.
Ramayana Jawa Kuno memiliki 2 (dua) versi, yaitu
Kakawin dan Prosa, yang bersumber dari naskah India yang berbeda, yang
perbedaan itu terlihat dari akhir cerita. Selain kedua versi itu, terdapat yang
lain yaitu Hikayat Sri Rama, Rama Keling dan lakon-lakon.
Cerita Ramayana semakin diterima di Jawa, setelah
melalui pertunjukan wayang (wayang orang, wayang kulit purwa termasuk
sendratari). Tapi ia kalah menarik dengan wayang yang mengambil cerita
Mahabharata, karena tampilan ceritanya sama sekali tidak mewakili perasaan kaum
awam (hanya pantas untuk kaum Brahmana dan Satria) walau jika dikaji lebih
mendalam, cerita Ramayana sebenarnya merupakan simbol perjuangan rakyat merebut
kemerdekaan negerinya.
Bahwa cerita Ramayana tidak bisa merebut hati
kaum awam Jawa seperti Mahabharata, antara lain disebabkan:
Ceritanya dipenuhi oleh lambang-lambang dan
nasehat-nasehat kehidupan para bangsawan dan penguasa negeri, yang perilaku dan
tindakannya tidak membaur di hati kaum awam;
Ramayana adalah raja dengan rakyat bangsa kera
yang musuhnya bangsa raksasa dengan rakyat para buta breduwak dan siluman;
Kaum awam memiliki jalan pikiran yang relatif
sangat sederhana, dan berharap pada setiap cerita berakhir pada kebahagiaan.
Yang menarik sampai saat ini di Indonesia (Jawa)
adalah adanya suatu ajaran falsafah yang terdapat di Ramayana, yaitu ajaran
Rama terhadap adik musuhnya bernama Gunawan Wibisana yang menggantikan
kakaknya, Rahwana, setelah perang di Alengka. Ajaran itu dikenal dengan nama
Asthabrata, (astha yang berarti delapan dan brata yang berarti ajaran atau
laku). yang merupakan ajaran tentang bagaimana seharusnya seseorang memerintah
sebuah negara atau kerajaan. Ajaran dimaksud yang juga dapat dilihat dalam
Diaroma gambar wayang di Museum Purnabakti TMII (1994 M), yaitu :
Bumi : artinya sikap pemimpin bangsa harus meniru
watak bumi atau momot-mengku bagi orang jawa, dimana bumi adalah wadah untuk
apa saja, baik atau buruk, yang diolahnya sehingga berguna bagi kehidupan
manusia;
Air : artinya jujur, bersih dan berwibawa, obat
haus air maupun haus ilmu pengetahuan dan haus kesejahteraan;
Api : artinya seorang pemimpin haruslah pemberi
semangat terhadap rakyatnya, pemberi kekuatan serta penghukum yang adil dan
tegas;
Angin : artinya menghidupi dan menciptakan rasa
sejuk bagi rakyatnya, selalu memperhatikan celah-celah di tempat serumit
apapun, bisa sangat lembut serta bersahaja dan luwes, tapi juga bisa keras
melebihi batas, selalu meladeni alam;
Surya : artinya pemberi panas, penerangan dan
energie, sehingga tidak mungkin ada kehidupan tanpa surya/matahari, mengatur
waktu secara disiplin;
Rembulan : artinya bulan adalah pemberi kedamaian
dan kebahagiaan, penuh kasih sayang dan berwibawa, tapi juga mencekam dan
seram, tidak mengancam tapi disegani.
Lintang : artinya pemberi harapan-harapan baik
kepada rakyatnya setinggi bintang dilangit, tapi rendah hati dan tidak suka
menonjolkan diri, disamping harus mengakui kelebihan-kelebihan orang lain;
Mendung : artinya pemberi perlindungan dan
payung, berpandangan tidak sempit, banyak pengetahuannya tentang hidup dan
kehidupan, tidak mudak menerima laporan asal membuat senang, suka memberi
hadiah bagi yang berprestasi dan menghukum dengan adil bagi pelanggar hukum.
Prof. Dr. Porbatjaraka, seorang ahli sejarah dan
kebudayaan Jawa, setelah membaca kitab Ramayana Jawa Kuna Kakawin, memberi
komentar : “Ini merupakan peninggalan leluhur Jawa, yang sungguh adiluhung,
cukup untuk bekal hidup kebatinan”. Dalam cakupan luas, pengaruh Ramayana
terhadap filsafat hidup Jawa dapat diketahui dari Sastra Jendra, Sastra Cetha
dan Asthabrata.
Sari dari Sastra Jendra adalah ilmu/ajaran
tertinggi tentang keselamatan, mengandung isi dan nilai Ketuhanan Yang Maha
Esa. Namun karena ilmu ini bersifat sangat rahasia (tidak disebarluaskan secara
terbuka karena penuh penghayatan bathin yang terkadang sulit diterima umum
secara rasional), maka tidak mungkin disebar-luaskan secara terbuka. Sebelum
seseorang menyerap ilmu ini ia harus mengerti terlebih dahulu tentang mikro dan
makro kosmos, sehingga yang selama ini dipaparkan termasuk melalui wayang,
hanyalah kulitnya saja. Sastra Cetha (terang) adalah berisi ajaran tentang
peran, sifat dan perilaku raja. Sedangkan Asthabrata telah diuraikan tersebut
diatas.
Kisah Ramayana muncul dalam banyak versi, yaitu
antara lain di Vietnam, Kamboja, Laos, Burma, Thailand, Cina, Indonesia maupun
di India (tempat asal cerita) sendiri. Menurut Dr.Soewito S. Wiryonagoro, di
Indonesia sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) versi, yaitu Ramayana Kakawin, yang
terlukis dalam relief-relief di dinding candi seperti candi Lorojonggrang
Prambanan dan Candi Penataran, dan yang berkembang di masyarakat dalam wujud
cerita drama.(wayang kulit, sandiwara dan film).
Ramayana dari asal kata Rama =
menyenangkan/menarik/anggun/cantik/bahagia dan Yana berarti pengembaraan., yang
kisah tersebut ditulis Walmiki dari India sekitar tahun 400 Sebelum Masehi,
berbahasa Sanskerta, yang selanjutnya dikembangkan oleh penulis-penulis lain,
sehingga minimal juga ada 3 (tiga) kisah Ramayana versi India.
Di jaman Mataram kuna, saat Prabu Balitung
(dinasti Sanjaya) memerintah, telah ada kitab sastra Ramayana dalam bahasa Jawa
Kuna (Kawi), yang ternyata tidak menginduk pada Ramayana dari Walmiki.
Rame ing pamrih pener
Sepi ing gawe ngiwa
Lajeng tansah pados guru ngilmu
Lambaran kuwating batos
Anggladi piwulanging donya gede
Tatag titis tutus temen ben tinemu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar